DUA ratus ekor cucak rawa, dua ratus lima puluh ekor poksay,
murai batu, hwabie serta 50 ekor burung pameran berkumpul di
Taman Ade Irma, Cirebon. Pantai berlumpur itu sejak pukul 7 pagi
jadi meriah. Sementara hotel dan penginapan di kota mencatat
tamu secara luar biasa dari Surabaya, Madiun, Semarang, Solo,
Yogya, Temanggung, Pekalongan, Bandung, Bogor, Tasikmalaya,
Medan dan Jakarta.
Ini terjadi menjelang hari Natal tahun lalu. Untuk pertama
kalinya kota udang itu menyelenggarakan kontes burung tingkat
nasional meskipun pengikutnya hanya Jawa dan Medan saja. Lebih
dari itu, inilah rupanya juga untuk pertama kalinya kontes
diselenggarakan di tepi pantai, melawan deru ombak, suara angin
dan sengatan matahari. Entah merupakan eksperimen, atau karena
kegoblokan panitlanya.
Tidak kurang dari satu juta rupiah disediakan panitia untuk
melicinkan pertarungan burun itu. Dua belas orang juri asal
Surabaya, Madiun, Semarang, Yogya, Solo, Tegal, Pekalongan,
Bogor dan Tasikmalaya, sibuk memasang kupingnya. Panas yang
muncrat dari sang surya tidak saja menyenangat burung-burung,
juga agaknya sedikit mengganggu konsentrasi para juri. Apalagi
kadang-kadang mereka lupa pada kupingnya lalu saling pasang
omong sesamanya.
Itu bung Effendi dari Surabaya segera menyatakan bahwa tempat
pertarungan sebenarnya tidak memenuhi syarat. Perlombaan nyaris
saja berantakan. "Seharusnya untuk perlombaan semacam ini di
tempat yang banyak pepohonan, bukan di pantai yang panas,"
ujarnya Panitia kelihatannya memang kurang persiapan. Tetapi
untunglah para juri akhirnya berhasil juga menetapkan 22 ekor
cucak rawa, 12 ekor dari masing-masing jenis burung berhak masuk
ke babak final. Adapun burung-burung pameran semua dinyatakan
sebagai finalis, karena pesertanya terlalu sedikit.
Anak Bini & Asisten
Tidak kurang dari 2 ribu penonton berada di pantai hari itu.
Mereka membayar karcis masuk seharga Rp 50 dan parkiran mobil
dua kali harga biasanya. Dari tampang mereka lebih jelas lagi
kelihatan bahwa pemilik burung umumnya orang-orang berada.
Lihatlah para pemilik burung dari luar kota. Selain membawa
burung, mereka juga membawa anak bini dan asisten-asistennya
buat mengawasi burung-burung.
Rakyat setempat yang jarang mendengar kicau cucak rawa -- karena
ia hampir merupakan identitas golongan kaya --
berbondong-bondong datang. Mereka berdiri dan mondar-mandir
sambil memasang telinga -- karena tidak disediakan tempat duduk.
Adapun para pemilik burung rupa-rupanya sudah tidak sabaran
lagi, tidak biasa dengan matahari yang tak ramah itu. Mereka
cepat jengkel dan tegang, apalagi babak final lama baru dimulai.
Untung muncul Arsyad dari Bogo itu, menghibur penonton dengan
memamerkan kemahirannya menirukan cucak rawa. Awod -- seorang
peranakan Arab dari Cirebon tak mau kalah. Ia ikut nimbrung
menyuarakan suara perkutut. Pukul 3 sore kemudian baru para
finalis dipertarungkan. Burung-burung itu dipajang di arena
sementara juri yang berseragam batik menunjukkan kepinterannya
menilai.
Menjelang magrib diputuskan para pemenang. Medali emas, trophy
dan sebuah tv jatuh pada "Palapa" burung milik Engky dari
Surabaya. Hadiah kedua dan ketiga jatuh pada "Ancal" dan
"Bintang" juga milik Engky. Hadiah harapan pada "Bintang" milik
Dede Sunaryo dan "Kilat" milik Buntaran. Keduanya dari Bandung.
Ini jenis cucak rawa. Jenis poksay, hwabie dan burung pameran
juga diberikan hadiah, tapi tampaknya pertarungan itu tidak
terlalu spektakuler, karena hadiahnya hanya radio kaset, piala
dan piagam.
Yang paling mengesankan panitia tentunya bukan siapa
pemenangnya. Tetapi biaya penyelenggaraan tertutup, karena uang
masuk dari berbagai lubang ternyata Rp 1.337.500.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini