CALYPSO memang yang terbaik di Tanjung Pinang, Riau. Kapal
motor milik Abba alias Abbah (56 tahun) itu pernah membawa
rombongan KSAL Laksamana Walujo Sugito menginspeksi proyek
pangkalan AL Natuna di Tanjung Uban. Tapi seminggu setelah acara
pembesar dari Jakarta tersebutusai,Calypso kena perkara. Dia
ditahan, atau "ditahan semena-mena" menurut kata Hanjoyo Putro
SH, seorang ahli hukum di Tanjung Pinang, ole tugas Bea Cukai.
Tuduhannya: Calypso, sebagai barang impor, telah masuk ke sini
secara menyelundup. Tanpa dibayar bea-masuk atau pajak impor
semestinya.
Calypso diimpor dari mana, itulah soalnya. Pihak BC menagih bea
masuk, pajak, pungutan impor lain dan denda koreksi sekitar Rp
10 juta dari kantong Abba untuk Calypso. Abba menolak. Karena,
katanya, Calypso bukan barang impor seperti dituduhkan BC. "Ah,
itu 'kan hanya ulah petugas BC saja," kata Abba kepada TEMPO.
Sebenarnya, lanjutnya menjelaskan, kapal motor itu milik
anaknya, Tjety. Tapi berhubung "ada pihak tertentu yang mau
menekan dan memeras," katanya, Abba terpaksa turun tangan
sendiri.
Semua Beres
Karena Abba tetap bersikeras tak mau melayani tagihan BC, urusan
Calypso telah dipegang kejaksaan. "Perkara ya perkaralah," ujar
Abba menantang. Abba memang bukan sembarangan di kawasan
Kepulauan Riau sana. Dia pengusaha berbagai bidang: perkapalan,
ekspor-impor, kontraktor sampai perhotelan. Siapa tak mengenal
dia? Abba pernah duduk di kursi saksi dalam perkara korupsi di
Subdolog Tanjung Pinang. Dia waktu itu ditanya ini dan itu oleh
hakim sekitar keikut-sertaannya dalam mengganyang 300 ton beras
yang raib dari gudang.
Dalam pembicaraan umum soal kredit-kredit BRI yang bocor dari
pintu belakang, nama Abba pun ada di sana. Demikian pula dalam
pembicaraan kasus jual-beli kapal-kapal eks pengungsi Vietnam.
Abba berhasil mengait salah satu kapal-tunda dan melegonya di
Jambi. Keuntungannya dalam bisnis kapal eks pengungsi tersebut,
menurut sumber TEMPO. sampai Puluhan juta rupiah.
Kini soal Calypso. Abba geleng kepala. "Sebenarnya tak perlu
diributkan," katanya. Dia merasa memiliki sejumlah dokumen untuk
Calypso, yang dikeluarkan resmi oleh pejabat negara: pas tahunan
yang dikeluarkan Syahbandar Tanjung Pinang, surat ukur dan
sertifikat kesempurnaan. Semua telah beres sejak April tahun
lalu. Dua mesin Calypso, Mercury masing-masing 200 PK, menurut
Abba hanyalah barang bekas dari feri Yala Ekspres I yang
dibelinya di dalam negeri dengan harga Rp 1 juta.
Sedangkan badan kapal dengan perlengkapan mewah itu dibuktikan
pemiliknya sebagai buatan dalam negeri. Ada surat keterangan
tukang, Si Kim, yang membangun Calypso di pabrik lokal dengan
biaya Rp 900 ribu. lah, bagaimana dapat dikatakan Calypso
sebagai hasil selundupan? Begitu tauke Tanjung Pinang ini
menantang BC.
Pihak BC ternyata tak memandang sebelah mata pun dokumen yang
disodorkan Abba -- walaupun semuanya dikeluarkan oleh sesama
pejabat negara. "Di sini 'kan Tanjung Pinang -- apa sih yang tak
dapat disulap?" kata seorang peabat di Kantor BC. Lihat saja.
Dua dokumen yang dikeluarkan pada tanggal yang sama, 21 April
1978, ternyata menerangkan satu hal yang berbeda: sertifikat
kesempurnaan menyatakan Calypso dijalankan dengan motor Mercury,
sedangkan surat ukurnya menyebut merek Johnson. Padahal
sertifikat semestinya dikeluarkan berdasarkan surat ukur.
BC sendiri tak percaya kalau motor Mercury dari Calypso itu
dibeli Abba dari bekas feri Yala Ekspres -- seperti kwitansi
jual-beli yang disodorkan pemiliknya. Sebab, menurut pejabat BC,
bagi feri Yala Ekspres I hanya pernah dijinkan memasukkan motor
Johnson. Jadi bagaimana mungkin Yala Ekspres menjual motor
Mercury? Apalagi Mercury pada Calypso menurut penelitian BC
tidak tampak seperti barang bekas.
Ketidakberesan dapat dibuktikan lagi oleh BC setelah meneliti
badan kapal yang panjang 8,8 m, lebar 2,3 m dan isi 1,01 m3
itu. Jika Abba dengan keterangan dari galangan kapal Si Kim
menyatakan Calypso dibuat di Tanjung Pinang itu juga, dapat
dibuktikan lain. Coba, galangan kapal mana di situ yang dapat
membuat badan kapal dari bahan fibreglass? Tak satu pun.
Galangan milik Kam Lim-pun, satu-satunya galangan kapal yang
mampu melapisi badan kapal dengan fibreglass, tak mungkin dapat
membuat Calypso yang terbikin dari bahan sintetis sepenuhnya
itu. Apalagi - galangan Si Kim diragukan iin industrinya.
Dengan bukti-bukti ketidakberesan itu saja Kepala Inspeksi BC
setempat, Martono Sukastowo, masih juga tak mampu 'menodong'
segala macam bea-masuk, pajak impor dan denda koreksi dari
Abba. Itulah sebabnya perkara tauke serta usaha ini diserahkan
ke kejaksaan. Abba tidak takut. Sambil berkata "perkara ya
perkaralah," dia meyerahkan urusannya kepada advokat Hanjoyo
Putro SH.
Di tangan pengacara ini urusan Abba jadi tidak sederhana -- tak
hanya menunggu bagaimana kejaksaan dan pengadilan membereskannya
kelak. Sebab pengacara tersebut mempersoalkan
kesewenang-wenangan petugas BC menindak Aba dan Calypsonya.
Pertama, menurut Hanjoyo, petugas BG telah main seret saja dari
tambatannya di belakang rumah si pemilik.
Mestinya, menurut ahli hukum ini, jika sesuatu barang --
katakanlah eks impor telah lolos dari daerah kewenangan BC,
tentu hanya dapat diurus oleh polisi atau jaksa. Apalagi Calypso
diseret begitu saja dari tambatannya oleh petugas BC 27 Nopember
lalu tanpa sepotong surat perintah, apalagi berita acara
penyitaan. Baru, 8 Desember berikutnya, petugas BC sempat
menyerahkan Daftar Penahanan Barang-Barang Sementara kepada
Tjety, anak Abba. Dalam surat penahanan yang ditandatangani oleh
Pungut Suadi itu -- tanpa stempel dinas sebagaimana layaknya
surat resmi -- disebutkan pula: penahanan hanya berdasarkan
"perintah lisan Kasi P2 " (Kepala Seksi Pemberantasan
Penyelundupan) saja.
Hanjoyo tak dapat menerima cara kerja BC yang dianggapnya
acak-acakan. Sebab tak jelas yang menahan Calypso itu "pribadi
petugas BC atau instansinya?" Setidaknya, katanya, telah terjadi
"perampasan" oleh petugas BC secara sewenang-wenang. "Main asal
sergap saja."
Apa kata pejabat BC? Seorang dari P2 menjawab enak: "Cara
penahanan begitu 'kan sudah biasa di sini? Mau apa lagi? " Oo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini