Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Islam Untuk Macam-macam Orang

Diskusi panel tentang dakwah di lingkungan perkotaan di Balai Kota DKI, tgl 27-30 Des 1978 dan ditutup oleh gubernur H. Tjokropanolo tgl 4 jan 1979. (ag)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kota besar bukanlah sesuatu yang mandeg, tapi tumbuh, lalu menyodorkan kenyataan. Yakni, bahwa manusia ternyata bermacam-macam. Jenis warna kulitnya bisa satu, juga agamanya. Namun toh perbedaan-perbedaan yang nampak biasanya membingungkan mereka yang berniat menyiarkan ajaran agama. Sebab seperti umumnya bangsa Indonesia, mereka mungkin belum siap menghadapi sebuah kota besar sebagai bagian hidupnya. Apalagi di kalangan agama manapun selalu terdapat kecenderungan untuk menilai perbedaan sebagai sesuatu yang harus "dibereskan." Sebab itu menarik juga menyaksikan diskusi panel tentang Da'wah di Lingkungan Perkotaan di Balai Kota DKI. Diskusi berlangsung antara 27 sampai 30 Desember 1978, dan ditutup oleh Gubernur H. Tjokropranolo 4 Januari yang baru lalu. Penyelenggaraannya KODI, Koordinator Da'wah Islam di pemerintahan DKI, bersama Majlis Ulama DKI dan Kanwil Departemen Agama setempat. KODI bukan baru kali ini saja menyelenggarakan forum yang dihadiri wakil berbagai kelompok pemuka agama yang swasta maupun pejabat pemerintah, kyai yang aktif maupun tokoh yang lebih banyak di bidang penelitian, dan juga kalangan muda. Dari situ nampak: makin lama toh orang makin dipaksa melihat lapangan. Dan lapangan da'wah itu kali ini terutama dibagi dalam dua kelompok kalangan 'elite' dan kalangan 'bawahan' -- meskipun untuk itu agaknya dibutuhkan data yang lebih akurat, seperti diakui para pembicara sendiri. Lewat Telepon Drs. H. Effendi Zarkasyi misalnya Direktur Penerangan Departemen Agama, atau H. Kosim Nurzeha dari Dinas Pembinaan Mental TNI/AD, mencoba menggambarkan kalangan 'elite' itu dengan gambaran garis besar. Kalangan ini umumnya berkemampuan materiil dan oleh latar belakang pendidikan mereka yang baik, biasanya sekolah non agama, bersifat kritis dan laimnya sekular. "Orang tidak bisa secara mudah bertemu dengan mereka, karena biasanya mereka memang sibuk," kata Effendi Zarkasyi. Rumah mereka besar, pagar pekarangannya tinggi, mereka bisa memiliki kehidupan privat yang lain sama sekali dari tetangga di sebelah -- dan berhubungan ke luar hanya dengan orang-orang tertentu, lewat telepon. Nah. Dari pintu sebelah mana seorang juru da'wah akan masuk? Padahal mereka juga bisa sangat membutuhkan hidup kerohanian. Sebagai orang-orang yang "bekerja dengan otak dan tangan," mereka mislnya membuthkan "makanan hati". Lebih-lebih, seperti dikatakan Nureha, kalangan elite yang dekat-dekat dengan kebangsawanan atau kultur pribumi cenderung menyukai aspek mistik meskipun keduanya juga mengingatkan bahwa argumentasi yang kuat dan "logis", juga perlu dipunyai seorang mubaligh untuk kalangan ini. Di sini pendekatan individuil yang luwes, sambil tetap mengingat harga diri dan posisi mereka, dikatakan sangat efektif. Lebih-lebih bila mereka tidak atau belum menyediakan waktu untuk menjadi anggota kelompok pengajian misalnya. Adapun dalam hal pelayanan da'wah di tingkat bawah, diskusi menunjukkan kemauan menggeserkan tekanan ajaran: dari yang "melulu agama" kepada yang sosial. Bukan hal baru memang: bahwa da'wah tidak hanya berarti khotbah atau pengajian melainkan juga amal baik kepada sesama. Tetapi diskusi kelihatan serius benar bicara tentang ini: perlunya menjadikan problim kemiskinan, yang meliputi kira-kira 60% warga Jakarta, sebagai tugas pokok da'wah atau bahkan titik tolaknya. H. Sudjoko Prasodjo, Direktur Lembaga Studi Ilmu Kemasyarakatan, menukilkan tabel-tabel tentang penambahan angkatan kerja remaja, kesempatan pendidikan, dan tersedianya lapangan kerja -- yang menunjukkan kadar besar dari pengangguran. Kegiatan da'wah tidak dapat berlepas tangan tentu saja -- apa lagi bila mereka sendiri menyatakan bagian terbesar penganggur tersebut adalah kaummuslimin, yang perlu dilepaskan lebih dahulu beban hidupnya untuk membuka kalbu dan mempermudah melaksanakan ibadah. Dan dalam hal itu "metode da'wah konvensionil sudah tidak memadai," kata Sudjoko. Sebab, satu-satunya jalan yang kiranya harus mulai dirmts lalah: merombak sikap mental remaja dari 'pencari kerja' kepada 'pencipta lapangan kerja'. Dan itu memang tak mudah. Tetapi Dr. Suparman Sumahamijaya, penganjur pertama sikap wiraswasta itu, sudah tentu harus mengajak hadirin untuk menempuh jalan yang memang harus dimulai itu. Dengan pokok-pokok pikirannya yang diterangkannya hari itu, ia misalnya menganjurkan untuk menghindari kemungkinan memberikan pengajaran yang bersifat fatalistis atau pun "pasrah" -- yang biasanya justru merupakan "hiburan kaum miskin". Lalu menggantinya dengan yang bersifat penumbuhan kepercayaan diri sendiri kesadaran tentang pentingnya ikhtiar, tahan uji dan semacamnya. Dipandang Keliru Itu yang mengenai materi ajaran. Yang mengenai teknik bantuan kepada obyek da'wah tingkat bawah, buku kesimpulan diskusi merumuskan keinginan yang hidup dari para peserta. Misalnya: perlunya dibentuk lembaga-lembaga bantuan untuk menemukan lapangan kerja, atau mengembangkan pekerjaan yang sudah ada. Juga bantuan perlindungan hukum. Badan-badan da'wah, selanjutnya, bisa secara koordinatif mengusahakan bantuan yang bersifat materi -- bersama dengan santunan para hartawan yang bertindak sebagai "wali" atau pembimbing mereka. Semuanya baru merupakan daftar keinginan, memang. Tapi berbeda dari yang sudah-sudah, kini sudah lebih jelas sasaran maupun pelaksanaannya. Yang terutama penting ialah bahwa perbincangan ini dilakukan oleh orang-orang yang memang bergerak di bidangnya. Lewat berbagai forum dari waktu ke waktu, orang memang kelihatan mulai saling faham. Bahkan KH E. Z. Muttaqien, Rektor Universitas Islam Bandung, dalam berbicara tentang da'wah terhadap kelompok masyarakat Islam yang "keliru" dalam penghayatan agama, mengajak para da'i untuk bertolak dari "prinsip kekitaan": menganggap orang yang dipandang keliru tersebut sebagai "kita" juga. Bukan pertama kali menghadapi mereka dengan orientasi kekuasaan atau "hardikan", misalnya. Apa lagi terhadap kaum yang tidak dianggap keliru -- meskipun soal "penyimpangan" seperti itu, yang di sini baru disinggung cara menghadapinya secara umum dan bukan kasus-kasusnya, bisa membutuhkan pembicaraan tersendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus