SEBUAH kota besar bukanlah sesuatu yang mandeg, tapi tumbuh,
lalu menyodorkan kenyataan. Yakni, bahwa manusia ternyata
bermacam-macam. Jenis warna kulitnya bisa satu, juga agamanya.
Namun toh perbedaan-perbedaan yang nampak biasanya membingungkan
mereka yang berniat menyiarkan ajaran agama. Sebab seperti
umumnya bangsa Indonesia, mereka mungkin belum siap menghadapi
sebuah kota besar sebagai bagian hidupnya. Apalagi di kalangan
agama manapun selalu terdapat kecenderungan untuk menilai
perbedaan sebagai sesuatu yang harus "dibereskan."
Sebab itu menarik juga menyaksikan diskusi panel tentang Da'wah
di Lingkungan Perkotaan di Balai Kota DKI. Diskusi berlangsung
antara 27 sampai 30 Desember 1978, dan ditutup oleh Gubernur H.
Tjokropranolo 4 Januari yang baru lalu. Penyelenggaraannya KODI,
Koordinator Da'wah Islam di pemerintahan DKI, bersama Majlis
Ulama DKI dan Kanwil Departemen Agama setempat.
KODI bukan baru kali ini saja menyelenggarakan forum yang
dihadiri wakil berbagai kelompok pemuka agama yang swasta maupun
pejabat pemerintah, kyai yang aktif maupun tokoh yang lebih
banyak di bidang penelitian, dan juga kalangan muda.
Dari situ nampak: makin lama toh orang makin dipaksa melihat
lapangan. Dan lapangan da'wah itu kali ini terutama dibagi dalam
dua kelompok kalangan 'elite' dan kalangan 'bawahan' -- meskipun
untuk itu agaknya dibutuhkan data yang lebih akurat, seperti
diakui para pembicara sendiri.
Lewat Telepon
Drs. H. Effendi Zarkasyi misalnya Direktur Penerangan Departemen
Agama, atau H. Kosim Nurzeha dari Dinas Pembinaan Mental TNI/AD,
mencoba menggambarkan kalangan 'elite' itu dengan gambaran garis
besar. Kalangan ini umumnya berkemampuan materiil dan oleh latar
belakang pendidikan mereka yang baik, biasanya sekolah non
agama, bersifat kritis dan laimnya sekular. "Orang tidak bisa
secara mudah bertemu dengan mereka, karena biasanya mereka
memang sibuk," kata Effendi Zarkasyi. Rumah mereka besar, pagar
pekarangannya tinggi, mereka bisa memiliki kehidupan privat yang
lain sama sekali dari tetangga di sebelah -- dan berhubungan ke
luar hanya dengan orang-orang tertentu, lewat telepon. Nah. Dari
pintu sebelah mana seorang juru da'wah akan masuk?
Padahal mereka juga bisa sangat membutuhkan hidup kerohanian.
Sebagai orang-orang yang "bekerja dengan otak dan tangan,"
mereka mislnya membuthkan "makanan hati". Lebih-lebih, seperti
dikatakan Nureha, kalangan elite yang dekat-dekat dengan
kebangsawanan atau kultur pribumi cenderung menyukai aspek
mistik meskipun keduanya juga mengingatkan bahwa argumentasi
yang kuat dan "logis", juga perlu dipunyai seorang mubaligh
untuk kalangan ini. Di sini pendekatan individuil yang luwes,
sambil tetap mengingat harga diri dan posisi mereka, dikatakan
sangat efektif. Lebih-lebih bila mereka tidak atau belum
menyediakan waktu untuk menjadi anggota kelompok pengajian
misalnya.
Adapun dalam hal pelayanan da'wah di tingkat bawah, diskusi
menunjukkan kemauan menggeserkan tekanan ajaran: dari yang
"melulu agama" kepada yang sosial.
Bukan hal baru memang: bahwa da'wah tidak hanya berarti khotbah
atau pengajian melainkan juga amal baik kepada sesama. Tetapi
diskusi kelihatan serius benar bicara tentang ini: perlunya
menjadikan problim kemiskinan, yang meliputi kira-kira 60% warga
Jakarta, sebagai tugas pokok da'wah atau bahkan titik tolaknya.
H. Sudjoko Prasodjo, Direktur Lembaga Studi Ilmu Kemasyarakatan,
menukilkan tabel-tabel tentang penambahan angkatan kerja remaja,
kesempatan pendidikan, dan tersedianya lapangan kerja -- yang
menunjukkan kadar besar dari pengangguran.
Kegiatan da'wah tidak dapat berlepas tangan tentu saja -- apa
lagi bila mereka sendiri menyatakan bagian terbesar penganggur
tersebut adalah kaummuslimin, yang perlu dilepaskan lebih dahulu
beban hidupnya untuk membuka kalbu dan mempermudah melaksanakan
ibadah. Dan dalam hal itu "metode da'wah konvensionil sudah
tidak memadai," kata Sudjoko. Sebab, satu-satunya jalan yang
kiranya harus mulai dirmts lalah: merombak sikap mental remaja
dari 'pencari kerja' kepada 'pencipta lapangan kerja'. Dan itu
memang tak mudah.
Tetapi Dr. Suparman Sumahamijaya, penganjur pertama sikap
wiraswasta itu, sudah tentu harus mengajak hadirin untuk
menempuh jalan yang memang harus dimulai itu. Dengan pokok-pokok
pikirannya yang diterangkannya hari itu, ia misalnya
menganjurkan untuk menghindari kemungkinan memberikan pengajaran
yang bersifat fatalistis atau pun "pasrah" -- yang biasanya
justru merupakan "hiburan kaum miskin". Lalu menggantinya dengan
yang bersifat penumbuhan kepercayaan diri sendiri kesadaran
tentang pentingnya ikhtiar, tahan uji dan semacamnya.
Dipandang Keliru
Itu yang mengenai materi ajaran. Yang mengenai teknik bantuan
kepada obyek da'wah tingkat bawah, buku kesimpulan diskusi
merumuskan keinginan yang hidup dari para peserta. Misalnya:
perlunya dibentuk lembaga-lembaga bantuan untuk menemukan
lapangan kerja, atau mengembangkan pekerjaan yang sudah ada.
Juga bantuan perlindungan hukum.
Badan-badan da'wah, selanjutnya, bisa secara koordinatif
mengusahakan bantuan yang bersifat materi -- bersama dengan
santunan para hartawan yang bertindak sebagai "wali" atau
pembimbing mereka.
Semuanya baru merupakan daftar keinginan, memang. Tapi berbeda
dari yang sudah-sudah, kini sudah lebih jelas sasaran maupun
pelaksanaannya. Yang terutama penting ialah bahwa perbincangan
ini dilakukan oleh orang-orang yang memang bergerak di
bidangnya. Lewat berbagai forum dari waktu ke waktu, orang
memang kelihatan mulai saling faham. Bahkan KH E. Z. Muttaqien,
Rektor Universitas Islam Bandung, dalam berbicara tentang da'wah
terhadap kelompok masyarakat Islam yang "keliru" dalam
penghayatan agama, mengajak para da'i untuk bertolak dari
"prinsip kekitaan": menganggap orang yang dipandang keliru
tersebut sebagai "kita" juga. Bukan pertama kali menghadapi
mereka dengan orientasi kekuasaan atau "hardikan", misalnya. Apa
lagi terhadap kaum yang tidak dianggap keliru -- meskipun soal
"penyimpangan" seperti itu, yang di sini baru disinggung cara
menghadapinya secara umum dan bukan kasus-kasusnya, bisa
membutuhkan pembicaraan tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini