Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Agar Rubella Tak Merajalela

Kelainan akibat rubella pada janin tak bisa disembuhkan. Vaksin menjadi satu-satunya cara mencegah kelainan kompleks ini.

13 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YUNELLIA Bhakti masih mengingat dengan jelas peristiwa yang ia alami sepuluh tahun silam. Kala itu, dokter memberi kabar bahwa ia hamil. Tapi kabar gembira itu langsung pupus karena sang dokter mengatakan ia sedang terserang virus rubella. "Rasanya ingin hilang saja dari muka bumi ini," kata perempuan yang akrab disapa Inel itu, Rabu pekan lalu.

Ia merasa sedih dan putus asa karena, dari informasi yang ia peroleh, virus yang juga dikenal dengan nama campak Jerman itu dapat membuat janin cacat permanen dan tak bisa disembuhkan. Perkembangan bayi yang terserang virus itu pun akan jauh tertinggal dari anak-anak seusianya. "Saya minta digugurkan saja, tapi dokter menolak," ujarnya.

Inel dan suami akhirnya memutuskan membiarkan janin di kandungannya hidup dan berkembang. Oktober 2007, bayi itu lahir ke dunia dan dinamai Nadhif. Sebelum Inel menaruh Nadhif di pangkuan untuk pertama kali, perawat yang mengantar bayinya mengatakan ada bintik-bintik hitam di wajah si bayi. "Ini kesedihan pertama setelah melahirkan," tuturnya.

Dokter yang menangani Nadhif mengatakan, dari pemeriksaan stetoskop, jantung sang bayi bising, yang berarti ada gangguan. Dokter menyarankan Inel segera memeriksakan anaknya ke dokter jantung. Belum lagi diperiksa, Inel mendapati ada bercak putih di mata Nadhif. "Saya makin lemas," katanya.

Inel kian sedih saat Nadhif diperiksa intensif. Dokter jantung mengatakan ada kebocoran di jantung anak itu dan penyempitan di paru-paru. Dokter mata menjelaskan, dua mata Nadhif menderita katarak bawaan. Sedangkan dari hasil pemeriksaan darah, hati Nadhif diketahui tak berfungsi baik. Adapun dokter saraf menyebutkan Nadhif menderita mikrosefali dan, dari tes pendengaran, ia dinyatakan tuli berat. "Rasanya ingin terjun ke jurang saja," ucap Inel. 

Karena serangkaian masalah ini, Nadhif sejak bayi harus menjalani banyak terapi. Ia mesti mengkonsumsi obat untuk memperbaiki masalah hatinya, kataraknya diangkat dan matanya ditanami lensa permanen, serta telinganya dipasangi alat bantu dengar. Ia juga mengikuti terapi wicara, latihan penglihatan, dan harus banyak belajar untuk mengatasi ketinggalan, seperti kemampuan motoriknya yang lebih lambat dibanding teman-teman seusianya. "Saya yang ngajarin dia saja capek, apalagi anaknya," ujar Inel. Tapi Inel bersyukur anaknya lahir selamat dan kini bisa mengatasi ketinggalannya.

Masalah serupa pernah dialami Atika Suciati. Hanya, ia tak sempat membesarkan anak keduanya yang meninggal tak lama setelah dilahirkan. "Setelah lahir, tubuhnya membiru dan ia meninggal," katanya. Dari pemeriksaan pada kehamilan berikutnya, Tika baru tahu bahwa pada kehamilan sebelumnya ia terinfeksi rubella dan toksoplasma. Dia menduga anak keduanya meninggal karena infeksi ini.

Pada ibu hamil, infeksi rubella bisa sangat berbahaya. Virus ini dapat menyebabkan bayi lahir mati dan sindrom rubella bawaan (congenital rubella syndrome) pada janin. Sindrom ini menyebabkan kecacatan, di antaranya katarak; tuli; kelainan jantung, hati, dan paru-paru; serta keterlambatan tumbuh kembang, seperti dialami Nadhif. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 100 ribu bayi di dunia lahir dengan sindrom rubella bawaan per tahun.

Di Indonesia, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, angka kematian bayi baru lahir (neonatal) adalah 19 dari 1.000 kelahiran hidup. Kelainan bawaan mempunyai kontribusi cukup besar sebagai penyebab kematian neonatal. Adapun data WHO Wilayah Asia Tenggara (SEARO) tahun 2010 menyatakan prevalensi kelainan bawaan di Indonesia adalah 59,3 per 1.000 kelahiran hidup.

Data pasti penderita sindrom rubella bawaan di Indonesia tak ada. Tapi, menurut data Riset Kesehatan Dasar 2007, ada 1,4 persen bayi baru lahir usia 0-6 hari dan 18,1 persen bayi baru lahir usia 7-28 hari meninggal karena kelainan bawaan. "Sebagian penyebabnya adalah rubella," ucap Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi.

Untuk mencegah kecacatan lebih banyak terjadi, pemerintah berencana memasukkan vaksin rubella ke program Imunisasi Dasar Lengkap mulai tahun ini. Vaksin tersebut akan diberikan kepada anak-anak mulai usia 9 bulan sampai 15 tahun. Vaksin rubella (R) ini akan dicampur dengan vaksin campak (measles/M), yang selama ini sudah masuk program imunisasi dasar. Sebagai tahap perkenalan, pemberian vaksin ini akan dilakukan di Pulau Jawa pada Agustus mendatang. "Dilanjutkan di seluruh Indonesia pada 2018," kata Jane.

Menurut dia, virus rubella menular antarmanusia dan bisa menyerang anak-anak serta orang dewasa. Gejalanya mirip campak, tapi jauh lebih ringan, seperti demam yang kurang dari 38,5 derajat Celsius, ruam merah, radang selaput mata (konjungtivitis), dan mual. Pada orang dewasa, terutama perempuan, virus rubella juga memicu artritis dan nyeri sendi selama 3-10 hari.

Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Didi Danukusumo menuturkan, rubella menjadi berbahaya jika menginfeksi ibu hamil. Penyebabnya, virus yang bersarang di badan ibu ini akan menular pada janin. Akibatnya, bayi bisa lahir dengan cacat bawaan, menderita sindrom rubella bawaan, atau bahkan lahir mati. Tingkat keparahan kelainan ini ditentukan oleh kapan ibu terserang rubella. "Makin muda usia kehamilannya, makin parah tingkat kelainannya," ujar Didi.

Kalau serangan virus terjadi pada trimester pertama kehamilan, kemungkinan bayi menderita sindrom rubella bawaan mencapai 90 persen. Sebab, saat itu, kata Didi, sedang dibentuk sistem organ tubuh janin, seperti saraf otak dan tulang belakang. Jika dalam tahap ini ada virus yang menjangkiti, pembentukan sistem organ tersebut jadi terganggu. Akibatnya, kemungkinan menderita sindrom lebih besar. 

Namun, jika terserangnya di atas usia kehamilan tersebut, kemungkinan menderita sindrom lebih kecil. "Misalnya kalau usia kehamilan sudah 36 minggu, mungkin enggak apa-apa karena proses pembentukan janin sudah selesai," tutur dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta, ini.

Jika sudah terinfeksi, menurut Didi, tak ada antivirus yang bisa mengatasi rubella. Maka, bila sudah tahu terserang rubella, mau tak mau ibu hamil harus mempersiapkan mental untuk merawat anak yang lahir dengan kemungkinan cacat. Tapi, masalahnya, belum semua wanita tahu tentang informasi rubella ini. Kebanyakan dari mereka tak melakukan pencegahan sebelumnya agar tak diserang rubella saat hamil. "Kita tidak akan mendapatkan anak cacat hanya dengan melakukan imunisasi sederhana," katanya.

Grace Melia, salah satu orang tua yang anaknya menderita sindrom rubella bawaan, mengatakan, selain melindungi anak yang divaksin, imunisasi akan membantu melindungi ibu hamil. Sebab, sebagian ibu hamil yang menderita rubella tertular dari anak yang dekat dengannya. "Ada teman saya, guru, yang tertular oleh muridnya," tutur pendiri Rumah Ramah Rubella ini.

Karena imunisasi ini program pemerintah, orang tua tak perlu mengeluarkan biaya. Selain karena tidak tahu, kata dia, banyak orang enggan divaksin karena urusan dana. "Vaksin rubella mahal. Kalau gratis, alhamdulillah," ujarnya.

Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus