Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengail Suara di Dunia Maya

Tarik-menarik suara dalam pemilihan kepala daerah tak hanya terjadi di lapangan, tapi juga di media sosial. Para pemilih mengambang menjadi target utama.

13 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ismail Fahmi menunjukkan layar laptop berisi sebaran cuitan di Twitter selama kampanye pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Di layar terpampang empat kelompok meski pilkada DKI, yang akan berlangsung pada 15 Februari 2017, hanya diikuti tiga pasangan calon. "Yang satu ini sama sekali tidak terafiliasi kepada salah satu pasangan calon. Mereka tak dibayar dan sangat independen," ucap doktor sains informatika lulusan Universitas Groningen, Belanda, ini kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Menurut dia, kelompok keempat itu memiliki keterikatan dalam satu ideologi. Mereka bukan hanya penduduk DKI Jakarta, tapi juga dari daerah lain. Topik cuitan mereka lebih banyak mengulas pasangan calon inkumben ketimbang pasangan lain. Konotasinya cenderung negatif. Sementara kubu pasangan inkumben juga terlihat aktif dalam menyerang dua pasangan calon lain, kubu yang diserang cenderung defensif. Para pendukung dua pasangan calon itu lebih banyak membahas program mereka sendiri.

Peta sebaran dukungan ini merekam dengan jelas akun Twitter di kubu masing-masing. Semua ini berkat penggunaan perangkat lunak bernama Drone Emprit, merujuk pada nama burung lambang microblogging Twitter. Perangkat lunak ini berfungsi memonitor dan menganalisis percakapan di media online dan media sosial. Hanya, di mana posisi para pemilih mengambang yang belum menentukan pilihan tak terdeteksi. "Karena mereka diam. Yang pasti, mereka di luar empat kelompok ini," ucap Ismail, yang juga peneliti Drone Emprit.

Riuhya suara pro-kontra terhadap pasangan calon kepala daerah di media sosial tak bisa dihindari. Media sosial dianggap sebagai sarana efektif menebar gagasan dan visi-misi. Diskusi, perdebatan, bahkan saling tuding secara frontal begitu bebas terjadi. "Selama pilkada, terjadi pertempuran di media sosial. Senjatanya adalah informasi," kata Enda Nasution, konsultan komunikasi digital dan media sosial, Rabu pekan lalu.

Sayangnya, Enda menuturkan, dalam perang itu tak ada yang peduli soal akurasi informasi dan kelayakan sumbernya. Yang penting, informasi itu bisa digunakan menyerang bahkan menjatuhkan lawan. Di antara perang itu terdapat penonton pasif. Mereka itulah para pemilih mengambang yang belum menentukan sikap. Persentasenya cukup besar dan mereka rentan terpapar informasi keliru. Mereka pada akhirnya bisa saja terseret ke salah satu kelompok tertentu. "Itulah tujuan perang informasi dan opini untuk mempengaruhi calon pemilih mengambang ini," ucap co-founder Suvarna.id ini.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Agus Abdul Rahman, mengatakan berseliwerannya informasi di media sosial, yang terkadang tergolong berita palsu, secara sadar ataupun tak sadar dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap isu yang beredar. "Sikap dan perilaku seseorang merupakan bentukan dari berbagai faktor," kata Agus melalui surat elektronik kepada Tempo, dua pekan lalu. Pengaruh faktor tersebut sebagian disadari, sebagian lain tidak. Sebagian melalui proses pertimbangan rasional, ada pula yang tidak.

Menurut Agus, mengutip psikolog Amerika Serikat, Kenneth J. Gergen, yang karyanya berkaitan dengan teori social constructionism, sikap dan perilaku manusia merupakan produk interaksi sosial. Media sosial merupakan salah satu sarana terjadinya interaksi sosial itu. "Dengan kata lain, sikap dan perilaku pemilih dalam pilkada dipengaruhi oleh informasi yang didapatnya. Dan proses ini bisa saja terjadi secara tidak disadari," ucapnya.

Namun, Agus menambahkan, pengaruh apa pun terhadap seseorang dimediasi oleh karakteristik orang tersebut. "Hasilnya tidak akan sama pada tiap individu," katanya.

Penggunaan media sosial oleh para politikus untuk mendekati konstituen mulai populer sejak Barack Obama sukses menggunakan Facebook guna memenangi pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2008. Semua kandidat presiden di Negeri Abang Sam kini memiliki pasukan digital sebagai bagian dari tim sukses mereka. Ted Cruz, misalnya, melakukan live streaming melalui Periscope. Hillary Clinton dan Jeb Bush memanfaatkan Twitter untuk memaparkan programnya. Bernie Sanders sukses mendapatkan dua juta "like" di Facebook. Atas prestasinya itu, Sanders dinobatkan The New York Times sebagai "raja media sosial".

Presiden Amerika Serikat Donald Trump pun memanfaatkan media sosial dalam kampanyenya. Bahkan ia dianggap sebagai "dewa media sosial". Trump sukses menggaet perhatian dunia dengan melemparkan isu kontroversial. Dia pula kandidat pertama yang mengoptimalkan algoritma Google News. Bagi Trump, yang dikenal gagap teknologi dan di meja kerjanya tak ada komputer—seperti yang pernah dikisahkan sekretarisnya—cara ampuh untuk mendominasi diskusi di media sosial bukan dengan memberi informasi, melainkan melakukan provokasi.

Inilah kejelian pasukan digital Trump yang tak dimiliki para pesaingnya. "Algoritma memungkinkan adanya personifikasi," kata Ismail.

Ketika seseorang menyukai satu berita tertentu, katakanlah mengenai sepak terjang Trump, lantas mengklik berita tersebut, Google selanjutnya akan menampilkan berita-berita mengenai kiprah Trump. Hal itu terjadi di Google News. Hal serupa berlaku dengan algoritma di Facebook, yang terlihat di news feed. Semua berjalan secara otomatis menggunakan data historis dan dianalisis machine learning dengan artificial intelligence.

Hanya, menurut Enda, membanjirnya informasi yang seragam bukan tanpa masalah. "Seolah-olah kita berada di satu ruang dengan informasi yang itu-itu saja, sehingga tidak bisa menerima pendapat dari orang yang tak sepaham," ucapnya.

Ini yang disebut efek echo chamber. Buntutnya dapat terjadi friksi. Di Facebook, kata dia, ketika ada orang yang tak sejalan dengan pandangan politik pemilik akun, ia dapat dengan mudah dihapus dari daftar pertemanan. Padahal perbedaan pandangan bagus untuk proses demokrasi.

Di layar laptop Ismail terlihat titik-titik berwarna merah, biru, hijau, dan kuning, yang merepresentasikan dukungan terhadap ketiga pasangan calon di pilkada DKI. Ia menjelaskan, dari pola yang ada, tampak tiap kelompok tidak berinteraksi. Artinya, isu yang dilontarkan melalui Twitter hanya dapat dilihat para pengikut pemilik akun tersebut. Pesan yang di-retweet pun hanya berputar di jaringan mereka sendiri. Meski mereka berteriak keras soal memberi dukungan kepada calon tertentu atau menyerang pasangan calon lain, cuitan itu hanya dapat dibaca kalangan mereka sendiri. "Ini kelemahan lain dari echo chamber," ucapnya.

Pemanfaatan Big Data, volume data yang besar baik data yang terstruktur maupun tidak terstruktur, juga turut menentukan kesuksesan menggaet suara pemilih. Di Amerika Serikat, ketersediaan data mengenai profil setiap penduduknya sudah sangat lengkap sehingga petugas kampanye dapat memberikan informasi yang tepat kepada tiap individu. "Semisal seseorang benci kepada imigran, yang dikampanyekan adalah Donald Trump tidak suka imigran. Akhirnya, orang itu diajak memilih Trump," kata Enda.

Di Indonesia, hal seperti itu belum bisa dilakukan lantaran belum tersedia data memadai. Walhasil, pesan kampanye masih bersifat populis dan masif. Seperti menebar jala, berapa jumlah ikan yang terangkut tidak bisa diprediksi.

Firman Atmakusuma (Science, Vice)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus