Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat: Di Atas Mahkamah Itu Tuhan

13 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agenda pulang kampung Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat ke Semarang, Kamis tiga pekan lalu, berantakan. Mendarat di Bandar Udara Ahmad Yani dengan penerbangan pertama pagi itu, ia dijadwalkan mengisi kuliah umum di Universitas 17 Agustus 1945 beberapa jam kemudian. Namun panggilan telepon dari Jakarta memaksanya balik kanan. Seorang jurnalis meminta klarifikasi kabar Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap seorang hakim konstitusi.

Malam harinya di Jakarta, Arief baru mendapat kepastian soal penangkapan Patrialis Akbar. Patrialis diduga menerima suap untuk mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2009-2011 itu juga diduga membocorkan draf putusan uji materi pembahasan undang-undang tersebut sehingga sampai di tangan Basuki Hariman, importir daging yang diduga menyogoknya. "Aduh, kami salah lagi," kata Arief, 61 tahun. Ini adalah kedua kalinya Arief merasakan kehilangan sejawat yang dicokok KPK setelah Akil Mochtar dalam perkara suap sengketa pemilihan kepala daerah pada 2013.

Senin pekan lalu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyatakan Patrialis melakukan pelanggaran etik berat. Sehari kemudian, Mahkamah mengabulkan satu dari empat tuntutan pemohon uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu Pasal 36-E ayat 1, yang memungkinkan impor daging sapi murah dari India.

Arief menerima wartawan Tempo Anton Aprianto, Reza Maulana, dan Raymundus Rikang di ruang kerjanya pada Kamis dua pekan lalu. Ia mengatakan Patrialis menghancurkan citra Mahkamah Konstitusi, yang dibangun perlahan setelah kasus Akil Mochtar. "Masalah ini muncul ketika kepercayaan masyarakat sudah pulih," kata Arief. Dalam wawancara lanjutan lewat sambungan telepon, Rabu pekan lalu, guru besar hukum tata negara Universitas Diponegoro ini menjamin putusan Mahkamah tak dipengaruhi oleh kasus Patrialis.

Apa dasar putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan?

Putusan Mahkamah prinsipnya memperhatikan kepentingan nasional supaya masyarakat Indonesia terlindungi. Impor hewan dan produk olahannya harus dilakukan dengan asas kehati-hatian serta cuma bisa terlaksana ketika bencana alam dan pasokan dalam negeri kurang. Impor juga harus memperhatikan standar kesehatan Badan Kesehatan Dunia, WHO, dan lembaga pengawas ternak dalam negeri wajib menyeleksi kembali kualitas kesehatan hewan ternak itu.

Suap ke Patrialis Akbar tak mempengaruhi keputusan itu?

Sama sekali tidak berpengaruh. Pak Patrialis juga tak pernah mempengaruhi hakim lain. Bahwasanya dalam rapat permusyawaratan hakim ada perbedaan sikap, itu wajar karena hakim adalah sosok imparsial dan otonom. Juga tidak ada dissenting opinion dalam putusan kasus itu.

Tapi kami mendapat informasi Patrialis mencoba mempengaruhi hakim lain. Apa penjelasan Anda?

Saya tak pernah melihat dan mendengar Pak Patrialis mempengaruhi hakim lain. Saya yang tahu jalannya rapat permusyawaratan sehingga bisa mengamati apakah seorang hakim dipengaruhi atau tidak. Saya sendiri tak dipengaruhi hakim lain dalam pengambilan putusan itu. Yang jadi masalah, kok, drafnya bisa keluar.

Mengapa bisa bocor?

Kelihatannya itu dilakukan Patrialis secara personal, tapi saya tak bisa mengkonfirmasi isinya karena baru membaca informasi yang beredar di media massa.

Anda mengetahui isi dokumen yang bocor itu?

Saya tak tahu bentuk dan isinya. Namun draf final putusan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan sudah jadi pada 19 Januari lalu. Lalu menjadi rahasia negara sampai putusan resmi dibacakan di persidangan (Selasa, 7 Februari 2017). Cuma sembilan hakim, seorang panitera, dan seorang panitera pengganti yang tahu isi drafnya.

Kami mendapat kabar draf itu menyatakan tuntutan dikabulkan sebagian, seperti putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, Patrialis mengambil keuntungan dengan mudah?

Hal itu mirip istilah yang dipakai Pak Mahfud Md. ketika skandal Akil mencuat. Istilahnya menembak di atas kuda.

Kasus ini membuat aktivis antikorupsi menggalang petisi mendesak Anda mundur. Apa pembelaan Anda?

Kesalahan saya apa? Penangkapan Patrialis, siapa pun pemimpinnya, pasti bisa terjadi karena faktor individu. Bahkan kami sudah membangun sistem kontrol yang sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Kenapa saya harus mundur?

Anda dinilai gagal memperbaiki MK sehingga skandal suap di MK terulang.

Kasus Akil terjadi saat kepemimpinan Pak Mahfud Md. sampai era Akil sendiri. Ketika kasus Pak Arsyad Sanusi, bekas hakim konstitusi yang tersandung masalah etik pada 2011, apakah ada desakan Pak Mahfud mundur? Enggak ada. Dua kasus itu membuat institusi ini menjadi lebih berpengalaman.

Perubahan apa yang terjadi di MK sejak Akil ditangkap?

Ada Dewan Etik yang menjaga hakim-hakim Mahkamah setiap hari. Mereka adalah figur yang independen dan bebas intervensi. Terdiri atas tiga orang, yang diketuai Abdul Mukthie Fadjar, guru besar Universitas Brawijaya dan mantan hakim konstitusi. Kami juga punya nota kesepahaman dengan KPK yang mengajari soal antikorupsi dan gratifikasi. Tatkala masih ada perilaku culas, itu tergantung pribadi yang bersangkutan.

Salah satu hasil kerja Dewan Etik adalah teguran lisan soal katebelece Anda kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono, April tahun lalu. Apa reaksi Anda?

Saya terima dengan ikhlas putusan Dewan Etik, meski antara pertimbangan dan amarnya tidak klop.

Benarkah Anda menitipkan kerabat Anda kepada Widyo?

Pak Widyo akan menjadi guru besar dan harus ada penilaian dari guru besar pada karya ilmiahnya. Beliau meminta saya menilai, lalu laporannya saya masukkan ke amplop tertutup. Namun, karena saya tak boleh ke Kejaksaan Agung, saya titipkan ke rekan asisten saya dari Jember yang jadi jaksa di Trenggalek. Mereka kebetulan main ke kantor karena minta saya menjadi narasumber diskusi ilmiah di Jember. Saya tak kenal jaksa Trenggalek ini. Semula dia takut mengantar, jadi minta dikenalkan saja. Lantas, saya menulis ke Pak Widyo bahwa ini jaksa yang baik, tolong membina anak ini. Sesudah begitu, saya disalahkan Dewan Etik dan bikin geger.

Saat itu publik juga sudah mendesak Anda mundur.

Saya sudah berkonsultasi dengan Dewan Etik dan kolega sesama guru besar, perlukah saya mundur karena kasus katebelece ini. Mereka menjawab tidak perlu. Khususnya, Dewan Etik mengatakan putusan mereka tak sampai di situ dan kasus tersebut untuk pelajaran bagi saya dan hakim lainnya di masa depan. Bila Dewan Etik minta, saya langsung mengundurkan diri.

Kasus itu mempengaruhi kinerja Anda?

Saya jadi lebih berhati-hati dalam meneken surat, termasuk saat seorang anggota staf yang minta surat rekomendasi untuk studi di luar negeri. Saya minta persetujuan Dewan Etik dulu. Setelah mereka membolehkan, baru saya meneken.

Apa saja pembenahan yang belum tuntas di lembaga ini?

Rekrutmen hakim. Idealnya, yang menjadi hakim konstitusi adalah orang yang merasa hidupnya sudah selesai. Artinya, merasa cukup dari sisi materi dan kekuasaan. Misalnya, saya bisa saja setiap hari berkomentar di depan pers dengan harapan popularitas saya naik dan suatu hari pindah kantor ke Istana Presiden atau Wakil Presiden. Itu berarti belum selesai dengan urusan kekuasaan.

Patrialis seharusnya sudah khatam dengan kekuasaan?

Kenyataannya bisa ditangkap KPK, berarti dalam hidupnya ada yang belum "selesai". Gaji hakim konstitusi Rp 78 juta per bulan cukup atau tidak, tergantung orangnya. Di Jakarta, mau sekali makan ratusan ribu sampai Rp 5 juta juga ada. Jangan ikut bermewah-mewah kalau plafon gaji hanya segitu.

Anda merasa sudah puas dengan karier Anda?

Begitu saya menjadi profesor dan dekan, hidup saya sudah paripurna. Gaji saya sekarang Rp 125 juta per bulan, naik lebih dari dua kali lipat dibanding di kampus. Sekarang bisa naik mobil berpelat RI-9. Terpilih sebagai Ketua MK adalah bonus luar biasa, sehingga saya cuma bisa bersyukur.

Ada yang pernah mencoba menyogok Anda?

Tidak pernah. Saya tidak akan menjawab orang yang menelepon dari nomor yang tak dikenal dan tak mengenalkan diri saat mengirim pesan.

Seberapa dekat Anda dengan Patrialis?

Saya cuma bertemu dengan dia dalam dinas-dinas dan rapat. Sebelum ada operasi tangkap tangan, dia tak ada masalah, cuma memang makin religius. Dia sering mengingatkan saya: ini menurut syariat Islam harus seperti ini, ini, ini, Profesor. Saya akui pemahaman agama saya lebih rendah dibanding Pak Patrialis.

Patrialis pernah mengajak Anda bermain golf?

Saya tak bisa bermain golf, bisanya main benthik (permainan tradisional dengan dua batang kayu berbeda ukuran), ha-ha-ha….

Dewan Etik menyidang Patrialis lima kali sebelum tertangkap KPK. Anda tak berusaha mengingatkan dia?

Saya tak boleh mengingatkan, cuma mengimbau. Sembilan hakim konstitusi kedudukannya kolektif kolegial. Sebagai ketua, saya hanya berperan agar kolega saya bisa bersidang dengan baik. Beda dengan presiden atau menteri yang bisa memerintah bawahannya.

Apa pesan yang sering Anda sampaikan kepada Patrialis?

Harus hati-hati. Kita ini menjalankan hukum disinari oleh sinar ketuhanan. Jalankan tugas dengan pengingat itu, sehingga bila mau main-main membuat aturan, namanya dosa. Pesan ini juga sering saya sampaikan ke hakim lain.

Bagaimana respons Patrialis?

Patrialis dan kawan-kawan hakim lain menyadari hal itu. Kami mengingat pesan ini ketika deadlock dalam pembahasan, sehingga semua hakim jadi berhati-hati dalam pengambilan putusan.

Anda merasa dikhianati Patrialis?

Ada perasaan dikhianati secara pribadi dan hampir semua hakim merasakan hal yang sama. Sebab, peristiwa itu terjadi di tengah usaha kami membangun sistem. Kepercayaan publik pada MK, menurut riset terbaru, telah meningkat dari 15 persen menjadi 70 persen sejak kasus Akil. Masalah ini muncul ketika kepercayaan masyarakat telah pulih. (Kepada Tempo pada 27 Januari lalu, Patrialis mengaku dizalimi karena tak pernah menerima uang dari Basuki Hariman.)

Putusan Majelis Kehormatan menyatakan Patrialis melakukan pelanggaran berat. Itu sesuai dengan dugaan Anda?

Majelis sudah bekerja menurut jalurnya. Pun saya telah menindaklanjuti rekomendasi mereka dengan mengirimkan surat penghentian sementara Pak Patrialis kepada Presiden. Surat saya serahkan pada Selasa pekan lalu.

Apa yang Anda sampaikan kepada Presiden?

Kalau bisa, Presiden segera memilih hakim pengganti karena Mahkamah segera mengadili sengketa pemilihan kepala daerah. Kesegeraan itu jangan sampai mengurangi kualitas dan integritas hakim yang terpilih.

Apa jawaban Presiden?

Presiden menyadari situasi tersebut dan berjanji segera membentuk panitia seleksi yang memilih pengganti Pak Patrialis secara terbuka dan transparan, sehingga tak terjadi kekosongan hakim konstitusi terlalu lama.

Bagaimana jika Presiden memilih bekas politikus?

Tidak jadi masalah. Sumber rekrutmen hakim konstitusi meminta syarat negarawan dan minimal pendidikan doktor. Tak ada jabatan lain di Indonesia yang syaratnya seberat itu. Orang baik bisa dari partai, akademikus, pengusaha, aktivis, juga wartawan. Kalau memenuhi syarat, semua bisa jadi hakim konstitusi.

Faktanya, Patrialis dan Akil Mochtar berlatar belakang partai politik?

Itu kebetulan. Ada juga hakim konstitusi bekas politikus yang bagus, misalnya Pak Hamdan Zoelva dan Pak Mahfud Md. Kita harus adil menilai orang. Bisa juga akademikus perilakunya lebih busuk daripada politikus. Ini faktor manusia.

Anda setuju dengan usul larangan bekas politikus melamar jadi hakim konstitusi?

Tak perlu. Lihat Pak Hamdan dan Pak Mahfud, integritas mereka tak perlu diragukan.

Saat penunjukan Patrialis empat tahun lalu, banyak kritik karena dia mengumbar remisi ke koruptor saat jadi menteri. Apa tanggapan Anda?

Saya mendengar kabar ini, tapi proses seleksi Patrialis ada di luar sana. Bila Presiden sudah menunjuk dan melantik, kami menerima saja. Kami tak berhak berkomentar, apalagi menolak keputusan itu.

Mahkamah Konstitusi punya pakta integritas?

Sebelum lembaga lain punya, Pak Jimly Asshiddiqie, Ketua MK 2003-2008, sudah membuat pakta itu. Sekarang kami sedang memperbaiki manajemen perkara, dari pendaftaran sampai putusan. Ada celah yang harus kami tutup.

Apa celahnya?

Ada waktu jeda beberapa hari sejak rapat permusyawaratan hakim sampai putusan dibacakan. Jeda itu adalah perintah konstitusi agar pihak yang beperkara mendapat panggilan yang layak. Hakim nakal bisa memanfaatkan jeda ini untuk bertemu dengan pihak beperkara dan menjual putusan.

Mengapa celah ini tak ditutup, misalnya dengan revisi undang-undang?

Tak bisa karena undang-undang sudah mengatakan begitu. Apakah kemudian putusan langsung dibacakan tanpa pemanggilan yang layak pada pihak beperkara? Enggak benar juga karena melawan undang-undang.

MK dituding tak etis karena pernah mengadili nasibnya sendiri lewat pembatalan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Bagaimana itu?

Tak etis bagaimana? Kan, tidak ada badan peradilan lain yang bisa mengadili kami. Kalau ada, kami turunkan malaikat. Jadi di atas Mahkamah itu Tuhan.

Alasan ini yang membuat MK tak mau diawasi Komisi Yudisial?

Kami tak alergi dengan pengawasan. Tapi kami sudah dijaga Dewan Etik setiap hari. Jangan dikira Dewan Etik ini lembaga internal. Mereka adalah orang eksternal yang dipilih oleh panitia seleksi yang independen dengan menimbang integritas pribadi. Lagi pula, dalam sistematika konstitusi, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24 huruf A, Komisi Yudisial pada huruf B, barulah Mahkamah Konstitusi huruf C. Jadi secara gamblang KY diperuntukkan mengawasi institusi di atasnya, yakni MA.

Di Amerika Serikat, mahkamah agung hanya mengadili perkara tertentu yang benar-benar berkaitan dengan hak dasar warganya. Sedangkan MK terkesan kurang selektif dalam mengadili perkara. Mengapa demikian?

Karena konstitusinya berbeda. Amerika Serikat negara individualis dan liberalis yang konstitusinya hanya mengatur hak masyarakat dan hubungan antarlembaga. Masalah lain, seperti ekonomi dan agama, tidak diatur. Konstitusi Indonesia mengatur semua aspek kehidupan. Maka semua aspek bisa masuk ke sini untuk diuji.

Berapa kasus yang disidangkan MK per tahun?

Sekarang 130-140 kasus per tahun. Meningkat dari 20-30 kasus pada 2013. Tapi saya mencatat hanya 10 persen yang dikabulkan.

Artinya, kualitas undang-undang kita buruk?

Jangan bilang begitu. Ini menunjukkan hak konstitusional warga yang meningkat, sehingga sadar akan pasal-pasal yang merugikannya. Hanya, legal standing mereka lemah, sehingga banyak yang ditolak. Misalnya, ada politikus yang menggugat Undang-Undang Partai Politik. Lha, seharusnya mereka perjuangkan itu saat membahasnya di DPR.

Siap menghadapi banjir gugatan di pemilihan kepala daerah serentak 2017?

Kami hanya menerima perselisihan yang selisih jumlah suaranya tipis, misalnya 2-2,5 persen, tergantung jumlah penduduknya. Aturan dari Undang-Undang Pemilu itu membantu mengurangi perkara yang harus kami periksa. Pada pilkada 2015, masuk 151 gugatan dan cuma 9 yang diuji karena faktor signifikansi selisih hasil suara.

Arief Hidayat

Tempat dan tanggal lahir:
Semarang, 3 Februari 1956

Pendidikan:
- S-1: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (1980)
- S-2: Fakultas Hukum Universitas Airlangga (1984)
- S-3: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (2006)

Karier:
- Ketua Mahkamah Konstitusi (2015-2017)
- Hakim Mahkamah Konstitusi (2013-2018)
- Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (2008-2013)
- Guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (sejak 2008)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus