Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Akhir Kisah Tukang Gigi

Setelah puluhan tahun berpraktek, tukang gigi dari suku Hupei terancam gulung tikar. Selain persaingan, karena peraturan pemerintah yang baru.

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada sebuah bangunan bercat putih yang kusam. Pintunya kelabu dan berdebu. Lantainya lebih rendah dari badan Jalan KH Mas Mansyur, Jakarta Barat, yang padat. Di jendela kacanya ada tulisan: "Tjoen Pao Tukang Gigi". Bagi orang yang baru ompong, alias bukan pelanggan, tulisan bercat merah itu tak terlalu membantu mereka dalam menemukan lokasi kios yang mirip warung Tegal tersebut. Kerap kali gerobak barang parkir di depannya dan menghalangi tulisan di kaca tersebut. Berdiri sejak 1960-an, kejayaan tempat ini jelas sudah lewat.

Di dalam kios, hal itu lebih terlihat. Pada dindingnya tergantung sejumlah dokumen berpigura kayu: surat izin, surat keterangan, dan tanda daftar perusahaan. Semua kertasnya sudah kumal dan kecokelatan hingga beberapa bagian susah dibaca. Kursi "pasien" yang dilengkapi tempat berkumur juga tampak uzur. Sudut-sudut kursi berwarna hijau itu berubah jadi kecokelatan. Bor pemahat untuk membuat gigi telah tua pula. Belum dipensiunkan, tapi tak banyak lagi kerjanya. Hampir sepekan bor itu tak berdesing karena tak ada pesanan.

"Penghasilan merosot jauh, apalagi setelah Pak Tjandra meninggal dua tahun lalu. Untuk makan saja tak cukup," kata Rami, yang sudah bekerja membuat gigi palsu di kios itu sejak Maret 1980. Tjandra alias Tjang Sie Tju adalah anak lelaki Tjoen Pao, wanita suku Hupei Tionghoa, yang namanya menjadi merek kios ini. Satu hal yang Rami ingat tentang Nyonya Tjoen adalah kakinya yang kecil, karena sengaja dibebat agar tak berkembang (bagian dari tradisi Tionghoa lama yang dikenal sebagai "Teratai Emas").

Orang-orang Hupei seperti Nyonya Tjoen memang terkenal memiliki keahlian membuat gigi palsu. Mereka berbeda dengan orang-orang dari suku Hakka yang pada masa lalu menjadi kuli perkebunan dan kemudian menjadi pedagang kelontong; atau orang Hinghoa, yang berfokus pada bidang perdagangan dan perbengkelan (Tionghoa di Pusaran Politik, Benny G. Setiono).

Di Jalan Mas Mansyur atau Jembatan Lima itu saja ada beberapa orang Hupei yang jadi tukang gigi. Mereka buka praktek sejak 1960-an, bahkan ada yang sudah menjadi tukang gigi sejak zaman Jepang. "Keahlian ini kami dapat secara turun-temurun," kata Ping Cen, 81 tahun, pemilik kios Tukang Gigi Tjong Tek Sin, yang diambil dari nama suaminya.

Meski sudah kepala delapan, Ping masih aktif membuat gigi palsu. Terkadang ia dibantu Lanlan, putri bungsunya. Harga termurah satu gigi buatannya Rp 75 ribu. "Kalau mahal-mahal, orang kagak mau," kata Ping sambil tertawa. Saat itulah terlihat giginya yang lengkap dan rapi. Setua ini belum ompong? "Enak aja," kata dia sambil memegang gigi atasnya dan, "plop", gigi palsu itu pun copot. Beberapa detik kemudian, plop kedua berbunyi, ketika ia mencopot gigi palsu bawah. Ping ompong total. Gigi palsunya itu merupakan karya dia sendiri dan Lanlan.

Di Jakarta, tukang gigi keturunan Hupei juga masih bisa dijumpai di Jalan Raya Jatinegara Barat. Dalam satu deret kita bisa menjumpai Tukang Gigi Bandung, Tukang Gigi Indah, dan Tukang Gigi Makmur. Yang terakhir ini dulu bernama Tukang Gigi Jung Hwa. Menurut Jayadi, pembuat gigi di tempat itu, Jung mendirikan kios ini pada 1927. Jayadi sendiri "baru" bergabung pada 1975.

Pria 64 tahun itu punya ruang kerja yang luasnya tak sampai enam meter persegi. Di tempat berdinding krem kusam ini, ia berdesakan dengan lemari, kursi "pasien", meja untuk membuat gigi, wastafel buat mencuci perabotan, dan rak untuk menyimpan berbagai cetakan gigi yang sudah tak terpakai. "Dulu ruangannya luas, tapi kemudian terpangkas pelebaran jalan," kata bapak tiga anak ini. Ia tak membutuhkan lagi ruang besar karena pekerjaannya kini juga tak banyak. Pelanggan tak datang tiap hari. Beda dengan di masa jaya, saat sehari ia bisa mendapat 5-6 pesanan.

Ping Cen bahkan lebih dari sepekan ini tak punya "pasien". Padahal, beberapa tahun lalu, dalam sehari ia bisa menangani 4-5 pelanggan. Dengan order yang minim, jelas usaha ini tak lagi menarik. Saat ini ongkos per gigi buatan berkisar Rp 75-250 ribu. Itu pun meski masih bisa ditawar. Kalau sepekan hanya ada satu pelanggan, dalam satu bulan mereka paling banter mengumpulkan Rp 1 juta. Turunnya omzet ini karena kini bermunculan tukang gigi baru.

Sembari duduk di kursi plastik hijau, ibu enam anak ini menceritakan persaingan tukang gigi sekarang. Mereka yang muncul belakangan itu berani memberi layanan ekstra. Tak hanya membuat gigi palsu, mereka juga antara lain memasang behel, kawat, dan gigi permanen serta menambal gigi. Para pelanggan memilih para pendatang baru karena praktek seperti itu tak akan dilakukan oleh Ping Cen dan rekan-rekannya. "Itu pekerjaan dokter, kami tak mau tangani," kata Ping. "Kami murni bikin gigi palsu lepasan." Yang dimaksud lepasan adalah gigi buatan yang tidak ditanam permanen dalam gusi, tapi bisa dicopot sewaktu-waktu seperti gigi Ping.

Tak sekadar menjadi pesaing, kehadiran tukang gigi dengan layanan all in itu juga menjadi godam yang siap meremukkan usaha Rami dan kawan-kawan. Gara-gara banyak tukang gigi memberi pelayanan di luar kewenangan dan merugikan kesehatan banyak orang, pemerintah pun memutuskan mencabut izin semua tukang gigi.

September tahun lalu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengeluarkan peraturan yang mencabut kewenangan tukang gigi untuk membuat dan memasangkan gigi palsu. Peraturan yang diundangkan pada 30 September 2011 ini berlaku enam bulan kemudian. Artinya, per 30 Maret lalu, 75 ribu tukang gigi se-Indonesia tak boleh lagi "unjuk gigi". "Pelayanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi dan mulut, hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan," kata Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Dedi Kuswenda, dua pekan lalu.

Menurut pemerintah, ahli yang kompeten mengurus gigi adalah lulusan akademi teknik gigi atau fakultas kedokteran gigi. Nah, kepada profesi inilah nanti tukang gigi bekerja sama setelah mereka mendapat pembinaan. "Tak boleh lagi tukang gigi praktek mandiri," kata Dedi. Masalahnya, sebagian besar dokter gigi lebih senang memesan gigi palsu ke pembuat gigi modern yang bersertifikat dibanding tukang gigi turun-temurun ini.

Peraturan ini memang muncul karena banyak tukang gigi yang berpraktek melebihi kewenangannya. Dedi memberi sejumlah contoh kecerobohan mereka, seperti memasang gigi tiruan lepasan tanpa mencabut akar gigi sehingga gusi bernanah.

Jayadi sebenarnya sudah tahu lama soal penertiban tukang gigi, jauh sebelum kemunculan tukang gigi yang melebihi kewenangan. Hal itu ia ketahui dari upaya pemerintah menghapus secara bertahap perizinan tukang gigi. "Kalau mau tetap berkecimpung di dunia gigi, sekolahkan anak jadi dokter gigi," kata dia menirukan ungkapan yang pernah didengarnya dari pejabat pemerintah sekian tahun silam. Imbauan itu yang diwujudkan Jayadi. Kini Cintya, anak sulungnya, menjadi dokter gigi. Demikian pula Yuliana, anak Jung Hwa. Regenerasi serupa itu juga dilakukan mendiang Tjandra. Ladiana, salah seorang anaknya, kini masih kuliah di fakultas kedokteran gigi.

Tapi tak semua bisa membaca tanda-tanda zaman. Lanlan tidak seberuntung Cintya dan Ladiana, yang bisa kuliah di kedokteran gigi. "Kami tak terima kalau ditutup," kata putri bungsu Ping Cen itu.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus