Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuh Sukma Ayu tergolek lemas di ruang rawat intensif (ICU) Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan. Ia tak bisa mengacung-acungkan tinju seperti "Rohaye", gadis tomboy yang ia perankan dalam sebuah sinetron. Di ruang itu, nasib Sukma sepenuhnya bergantung pada beberapa utas selang yang terhubung ke mesin pemacu jantung dan pernapasan. Di luar, keluarga, kerabat, penggemar, dan kolega sesama artis yang terus berdatangan hanya bisa menyampaikan simpati sekaligus doa.
Hingga akhir pekan lalu, Sukma, 24 tahun, sudah belasan hari koma. Menurut pihak rumah sakit, artis belia itu mengalami perdarahan berat pada rongga subarachnoid?ruang antara penampang otak dan tulang kepala. Dokter menduga, perdarahan terjadi akibat kebocoran pembuluh darah yang menggelembung di pangkal otak Sukma.
Di dunia kedokteran, kelainan pembuluh darah seperti ini disebut aneurisme. Ini adalah sejenis kelainan bawaan lahir atau keturunan. Sejak lahir, penderita aneurisme punya bagian pembuluh darah yang tak normal. Seharusnya, pembuluh darah manusia punya tiga lapisan: luar, tengah, dan dalam. Lapisan tengah, disebut lapisan otot, adalah yang paling tebal. Pada penyandang aneurisme, justru lapisan tengah inilah yang absen.
Aneurisme bisa terjadi di sembarang tempat, dari ujung kepala hingga kaki. Biasanya, aneurisme terjadi di sekitar pembuluh darah yang bercabang. Tapi yang paling sering dan berbahaya adalah aneurisme di sekitar otak (intracerebral aneurysm) dan aneurisme pada aorta dekat jantung (aortic aneurysm).
Karena terus-menerus dialiri darah, seiring perjalanan usia, bagian pembuluh yang tipis menggelembung hingga mirip balon. Ukurannya bervariasi. Pada kasus "aneurisme raksasa" (giant aneurysm), diameter benjolannya bisa mencapai tujuh sentimeter. Makin besar pelebaran, makin tipis dinding pembuluh darahnya. Persis balon yang ditiup terlalu besar, aneurisme pun makin rawan bocor, bahkan pecah.
Nah, kebocoran atau pecahnya aneurisme inilah yang selalu jadi sumber malapetaka. Saat aneurisme di sekitar otak pecah, darah akan menyembur ke materi otak, memenuhi rongga kepala dan mencemari cairan perendam otak (cerebrospinal fluid). Pada saat yang sama, bilik otak akan kekurangan pasokan darah dan oksigen. Jika aneurisme di dekat jantung bocor, darah dari jantung bisa membanjiri rongga dada dan rongga perut. Akibatnya, bilik-bilik jantung kekeringan. Jika ini yang terjadi, elmaut hampir pasti menjemput.
Kalaupun tak sampai pecah, ibarat bom waktu, aneurisme tetap menyimpan bahaya. Pelebaran pembuluh darah bisa menekan dan mengikis jaringan di dekatnya. Bila aneurisme muncul di dekat tulang, tulang akan menipis. Bila berdekatan dengan tenggorokan, tenggorokan akan tertekan, saluran napas pun tersumbat.
Bahaya lain mengintip di rongga aneurismenya sendiri. Di sini darah mudah menggumpal. Gumpalan yang disebut trombus ini sangat rapuh dan mudah menyerpih. Jika tersebar, serpihan ini bisa menyumbat pembuluh darah di berbagai tempat.
Masalah jadi makin pelik karena, selama dindingnya belum bocor, aneurisme tak menunjukkan gejala apa pun. "Jangankan awam, dokter pun tak pernah tahu apakah dirinya punya aneurisme atau tidak," kata Eka J. Wahjoepramono, ahli bedah otak di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Lippo Karawaci.
Gejala aneurisme baru muncul saat dinding aneurisme mulai bocor atau ada darah merembes. Kasus aneurisme di pangkal otak, misalnya, kalau rembesannya masih kecil, pasien hanya merasakan sakit kepala yang kerap disertai mual atau muntah. Gejala ini sangat umum. Maklum, sakit kepala adalah gejala seribu satu macam penyakit. Wajar saja, banyak pasien mengira hanya terkena migrain. Tahu-tahu, dalam hitungan jam atau hari, ia pingsan atau bahkan koma.
Karena bersifat bawaan, menurut Eka, upaya mencegah aneurisme nyaris mustahil. Paling banter, orang hanya bisa mewaspadai beberapa faktor pemicu pecahnya pembuluh darah. Kebiasaan merokok dan menenggak minuman beralkohol bisa jadi pemicu pecahnya aneurisme. Pasalnya, rokok dan alkohol bersifat stimulan dan bisa memicu pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi). "Orang minum alkohol itu mukanya suka merah. Itu tanda vasodilatasi," kata Eka.
Orang juga harus ekstrahati-hati ketika mau berolahraga, menahan rasa sakit, atau bahkan mengejan saat buang air besar. "Ada beberapa pasien yang koma saat orgasme," tutur Eka.
Hal lain, tak mungkin meramal kapan pecahnya aneurisme. Jika aneurisme telanjur pecah, masihkah ada peluang selamat? "Tergantung banyak hal," kata Gary L. Bernardini, ahli saraf dari Cornell University Medical Center. Di negara semaju Amerika saja, hanya 50 persen pasien aneurisme yang bertahan hidup. Peluang untuk pulih antara lain sangat bergantung pada ukuran kebocoran dan letak aneurisme. Prinsipnya, semakin kecil kebocoran, semakin di luar letak aneurismenya, semakin mudah pula operasinya. Artinya, peluang pulih pun semakin besar.
Di sisi lain, menurut Bernardini, ketepatan waktu (timing) pembedahan bisa juga mencegah komplikasi. Golden time-nya saat pasien masih sadar atau maksimum lima hari sejak kebocoran pembuluh darah. Jika kebocoran bisa dijepit atau disumbat lebih awal, peluang komplikasi seperti perdarahan ulang atau pengerutan jaringan otak bisa ditekan. Sebaliknya, semakin lama operasi tertunda, semakin besar peluang komplikasinya. Pada kasus terburuk, gara-gara keterlambatan operasi ini, kematian bisa saja menimpa pasien yang mestinya berisiko rendah.
Untuk keperluan prognosis aneurisme, ada skala khusus yang biasa jadi acuan ahli bedah saraf. Skala dari I sampai V ini ditentukan berdasarkan tingkat kesadaran pasien saat tiba ke rumah sakit. Pada skala I sampai II, pasien masih sadar, meskipun menderita sakit kepala ringan hingga berat atau kejang pada leher. Risiko kematiannya, menurut Bernardini, hanya empat persen. Sebaliknya, pada skala IV sampai V?ditandai gangguan kesadaran hingga koma?peluang kematiannya menjadi sekitar 50 persen.
Asal terdeteksi dan dihentikan lebih awal, menurut Eka, aneurisme sebenarnya tak harus berakhir dengan kematian. Berkat kemajuan teknologi, diagnosis dan operasi aneurisme kini tak terlalu sulit. Asal saja, orang peduli merawat kemulusan pembuluh darahnya. Pemeriksaan magnetic resonance angiography (MRA), misalnya, bisa memetakan dengan persis posisi aneurisme. Jika sudah tahu punya aneurisme, pasien harus segera menjalani operasi. Meskipun, saat pemeriksaan, ia bisa jadi tak merasakan gejala apa pun. "Asal tidak terlambat, operasi aneurisme tidak sulit. Peluang kesuksesannya 99 persen," tutur Eka. Memang, asal tidak terlambat, dan juga punya uang untuk membayar.
Jajang Jamaludin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo