Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah terpilihnya Jenderal (Purnawirawan) Wiranto sebagai calon presiden yang menang dalam konvensi Partai Golkar pada dini hari 21 April 2004, ada sekurang-kurangnya tiga calon presiden sementara ini yang memegang dukungan yang nyata. Yang pertama Megawati Soekarnoputri, sebagai "presiden dalam tugas" dengan dukungan dari PDI Perjuangan. Yang kedua Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai the shooting star yang didukung partai kecil tapi punya dukungan simpatisan yang luas di luar partai tersebut. Dan yang ketiga Wiranto, sebagai calon yang punya dukungan yang meyakinkan dari Partai Golkar.
Calon dari partai lainnya punya dukungan yang terlalu kecil dan belum terlihat kemungkinan koalisi di antara mereka untuk menjagokan seorang calon presiden dengan dukungan yang memenuhi syarat. Tulisan ini tidak membahas perimbangan kekuatan, tapi bermaksud melihat hubungan calon-calon potensial dengan prospek kehidupan demokrasi dalam politik Indonesia di masa depan.
Munculnya dua tokoh dengan latar belakang militer saat ini rupa-rupanya bukanlah suatu kebetulan. Keinginan publik akan pemerintahan yang efektif dirasakan tidak terpenuhi secara memuaskan oleh pemerintahan Presiden Megawati, meskipun hal ini dapat dijelaskan dengan berbagai sebab. Kalau diajukan tiga macam masalah nasional sebagai test question untuk kinerja pemerintahan sekarang dan masa mendatang, dapatlah disebutkan bahwa ketiga masalah itu adalah pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) dalam birokrasi pemerintahan, penyelesaian krisis ekonomi Indonesia, dan konflik-konflik di daerah.
Selama masa pemerintahan Megawati, konflik Ambon diandaikan relatif terselesaikan dengan perdamaian Malino I, sementara Malino II belum sanggup membereskan konflik Poso secara tuntas. Namun darurat militer di Aceh masih juga tetap berjalan dan tak dapat tidak mengingatkan orang akan daerah operasi militer (DOM) yang diberlakukan oleh pemerintahan Soeharto di provinsi tersebut. KKN rupanya tidak teratasi sama sekali dan berjalan dengan cara yang semakin terbuka dengan angka-angka penyelewengan uang yang semakin astronomis. Nilai rupiah menjadi lebih stabil terhadap dolar, tapi harga-harga kebutuhan pokok tidak menjadi lebih murah.
Tidaklah mengherankan kalau Wiranto berkata dalam acara konvensi Partai Golkar bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah strong leader atau pemimpin yang kuat. Istilah itu jelas merujuk pada preferensi untuk mengembalikan suatu pemerintahan yang efektif, yang memang amat dibutuhkan saat ini, khususnya menghadapi ketiga masalah nasional yang sudah dikemukakan di atas. Pemberantasan KKN dalam birokrasi membutuhkan seorang pemimpin yang kuat, dengan komitmen yang tak tergoyahkan pada pemerintahan bersih, disertai keberanian untuk menghadapi musuh politik yang semakin banyak kalau impunitas terhadap para koruptor kakap dihapus secara radikal. Isu pemimpin yang kuat ini menjadi menarik untuk kalangan politik karena pemerintah Presiden Megawati dianggap tidak terlalu efektif dan kekurangan sense of crisis dalam menghadapi beberapa keadaan gawat, seperti pengeboman, penggusuran rumah penduduk, wabah demam berdarah, atau masalah banjir di Jakarta.
Namun klaim untuk pemerintahan yang efektif dan pemimpin yang kuat bukanlah hal baru. Klaim itu juga sudah terdengar semenjak awal Orde Baru, yang juga lahir dari krisis politik yang luas. Harga yang harus dibayar ketika itu, beberapa perkara penting dalam demokrasi harus ditunda perwujudannya demi pemerintahan yang efektif. Maka partisipasi politik dibatasi, baik melalui penciutan jumlah partai, penciptaan massa mengambang, penerapan hak recall terhadap para legislator, maupun melalui pelarangan oposisi politik. Kebebasan menyatakan pendapat dikekang lewat lembaga perizinan seperti surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan praktek pembredelan yang meluas. Demikian pula ekspresi politik melalui demonstrasi mengalami kekangan yang besar dan para pelakunya dengan mudah ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan tanpa pengadilan. Sebaliknya, pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan politik oleh penguasa dibiarkan saja tanpa dibawa ke pengadilan.
Dalam jargon Orde Baru, semua pembatasan hak demokrasi ini ditolerir karena pembatasan itu dianggap perlu demi stabilitas politik yang menjadi prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi. Pada saat sekarang, motif yang kurang-lebih sama mencuat dalam jargon strong leadership. Masalahnya: apa yang kita pahami dengan istilah itu? Kalau dengan istilah itu hanya dimaksudkan kesanggupan untuk mencapai target-target politik yang telah ditetapkan, tanpa peduli terhadap biaya politik dan biaya sosial yang dibawanya, motif ini harus dihadapi secara kritis. Seperti kita ketahui, kemampuan untuk mencapai target sudah merupakan keunggulan militer karena menjadi bagian dari etos kelompok ini. Seluruh latihan dikonsentrasikan pada identifikasi sasaran dan penciptaan syarat-syarat mencapai sasaran. Secara sederhana, etos militer pada dasarnya bersifat target oriented. Menembak tepat sasaran adalah kepandaian yang amat dipujikan.
Dalam kaitan dengan demokrasi, kecenderungan di atas sering dibenarkan, dengan mengatakan bahwa pembatasan hak-hak demokratis itu dibutuhkan agar pembangunan ekonomi dan penciptaan keamanan dimungkinkan dan rakyat dapat hidup dengan tenteram dalam keadaan tidak miskin dan tanpa terancam. Logikanya, pemerintahan untuk rakyat harus didahulukan, sekalipun buat "sementara waktu" pemerintahan oleh rakyat dan pemerintahan dari rakyat harus dikorbankan sedikit. Asumsi-asumsi paham developmentalisme Orde Baru mulai terdengar kembali. Dalam acara Selamat Pagi Indonesia yang disiarkan oleh sebuah stasiun televisi pada suatu pagi 20 April lalu, seorang anggota Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Mahadi Sinambela, dan guru besar ilmu politik Universitas Indonesia, Prof. Maswadi Rauf, bersepakat bahwa demokrasi tidak begitu cocok dengan rakyat yang masih miskin. Ke mana larinya asumsi ini sudah dapat diperkirakan. Rakyat harus cukup makmur lebih dulu, barulah demokrasi dapat diterapkan. Selama rakyat belum makmur, demokrasi bisa ditunda dulu pelaksanaannya dan pemerintahan otoriter dapat dibenarkan asalkan efektif.
Argumen ini dapat membawa akibat yang menyesatkan. Pertama, kemiskinan dalam argumen di atas dipahami sebagai lack of income (kekurangan pendapatan), bukannya lack of capability (kurangnya kemampuan), sebagaimana dimaksudkan oleh Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi 1998. Orang-orang menjadi miskin pertama-tama karena kemampuan yang ada padanya tidak mendapat kesempatan untuk diwujudkan, termasuk kesempatan untuk menciptakan pendapatan. Seterusnya, penciptaan kesempatan itu barulah dimungkinkan kalau ada demokrasi yang mendorong keberanian orang untuk mencoba dan menyatakan kemampuannya. Studi ahli ekonomi ini pun membuktikan dengan data empiris dan historis bahwa negara demokratis dengan sistem multipartai yang efektif lebih mampu mengatasi ancaman bahaya kelaparan (sekalipun pertumbuhan ekonominya lebih rendah) dibandingkan dengan negara otoriter dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sebabnya, mengatasi kemiskinan bagi suatu pemerintahan demokratis akan memberikan kepercayaan rakyat kepadanya sebagai insentif politik. Di pihak lain, membiarkan kelaparan terjadi akan mengundang kritik dan serangan dari oposisi politik.
Sebaliknya, suatu pemerintahan otoriter telah memberangus oposisi politik lebih dulu, dan tidak merasa mendapat insentif apa pun kalau berusaha mengatasi kelaparan, dan tidak mendapat sanksi apa pun kalau membiarkan kelaparan terjadi. Berbagai contoh dikemukakan Sen dengan gamblang, yang karena keterbatasan ruang tak dapat dikutipkan di sini.
Bukunya, Development as Freedom (1999), barangkali merupakan studi yang paling penting dan paling berhasil pada masa sekarang ini tentang hubungan antara demokrasi dan pembangunan. Ucapan Sen dalam kaitan ini sudah menjadi peribahasa dalam studi pembangunan: kelaparan bukanlah kekurangan makanan, melainkan kekurangan demokrasi.
Kedua, kita sudah punya pengalaman panjang selama tiga dasawarsa bahwa mengajukan klaim pemerintahan untuk rakyat, sambil membatasi pemerintahan oleh rakyat dan dari rakyat, pada akhirnya merupakan suatu klaim yang membunuh dirinya sendiri (self-defeating political claim). Tanpa kontrol dari rakyat melalui perwakilannya dan melalui oposisi politik, suatu rezim dengan mudah melupakan tujuan untuk rakyat ini karena, sekalipun dia mengabaikannya, dia tidak mendapat sanksi apa pun dari oposisi politik, yang sudah ditiadakan. Konsentrasi kekayaan, praktek KKN yang melembaga, sistem lisensi yang merugikan pertanian rakyat dan menghancurkan lingkungan hidup, serta monopoli dalam perdagangan dapat berkembang dengan leluasa dan mengabaikan tujuan pemerintahan untuk rakyat, justru karena absennya pemerintahan dari rakyat dan pemerintahan oleh rakyat. Penundaan hak-hak demokrasi yang diniatkan untuk diberlakukan bagi keadaan darurat politik dengan hak-hak istimewa yang amat besar pada penguasa kemudian memperkuat dan melestarikan dirinya terus-menerus selama tiga dasawarsa, karena absennya oposisi politik dan lemahnya kontrol demokratis terhadap pemerintahan, yang akhirnya menyebabkan pemerintahan itu sendiri kehilangan keefektifannya.
Ketiga, mengikuti Amartya Sen, pemerintahan demokratis dan pemerintahan yang efektif bukanlah dua perkara yang bertentangan, melainkan saling mengandaikan. Dalam terapannya di Indonesia saat ini seakan-akan terlihat bahwa dalam suasana demokratis yang baru dinikmati beberapa tahun semenjak reformasi 1998, muncul kembali godaan untuk sedikit mengorbankan demokrasi demi kembalinya pemerintahan yang efektif. Godaan ini jelas merugikan kalau kita mencoba berpikir dengan tenang. Suatu pemerintahan yang kurang efektif dapat segera digantikan oleh suatu pemerintahan yang lebih efektif kalau ada pemilihan umum yang demokratis yang dapat membentuk suatu pemerintahan baru. Sebaliknya, hilangnya demokrasi akan jauh lebih sulit dipulihkan karena tiadanya demokrasi itu sendiri sudah menyebabkan pemilihan umum yang diadakan akan tetap dijalankan secara tidak demokratis dan, dengan demikian, pemerintahan yang tidak demokratis jauh lebih mudah melestarikan dirinya dibandingkan dengan suatu pemerintahan yang tidak efektif tapi demokratis.
Dengan demikian, perhitungan apa pun yang dilakukan tentang presiden dan calon presiden yang baru sebaiknya menyertakan kalkulasi tentang prospek demokrasi dalam berhadapan dengan strong-man/woman politics. Pemerintahan yang efektif adalah syarat yang mencukupi (sufficient condition) untuk memperoleh legitimasi, asalkan pemerintahan yang demokratis sudah dijamin lebih dulu sebagai syarat mutlak (necessary condition) untuk legitimasi yang dibutuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo