Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Perempatan itu

Kemacetan yang sellau terjadi di suatu perempatan jalan di jakarta mencerminkan keadaan indonesia. ada pertumbuhan ekonomi, tapi birokrasi pemerintahan tak cepat menampung pertumbuhan itu. juga anarki.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA adalah sebuah perempatan di bagian timur Jakarta. Itulah yang terpikir oleh saya pada suatu hari. Saya kenal betul tempat itu. Jika Anda datang dari stasiun bis Pulogadung menuju ke barat, ke arah Pasar Senen, Anda juga akan mengenalnya. Nama jalan itu Jalan Perintis Kemerdekaan. Persimpangan yang memotongnya adalah jalan ke wilayah baru Kelapa Gading di ujung utara dan ke Rawamangun di ujung selatan. Bagi yang tak tinggal di Jakarta, lupakan saja detail itu. Yang penting adalah ini pada tiap hari kerja ketika hari mencapai titik Jam 7 pagi, dari keempat arah itu puluhan - atau ratusan - serentak kendaraan berjejal. Sebuah kemacetan dahsyat terjadi. Klakson berteriak-teriak. Orang berteriak-teriak. Di bis-bis orang merengut, cemas, berkenngat. Di sedan-sedan bagus orang juga merengut tapi tak berkeringat, setelah menutupi diri dari seluruh konstelasi deru campur debu itu dengan kaca riben. Yang aneh adalah bahwa lampu lalu lintas perempatan itu nonmal. Tak ada setrum mati. Tapi rupanya orang-orang tak sabar. Juga para sepeda motor yang, seperti kuda kecil yang lapar, melontarkan diri ke depan. Lampu menyala merah di depan mereka, tapi siapa peduli? Bukankah orang dari sebelah sana juga melanggarnya? Yang aneh adalah jarang sekali ada polisi di sana. Yang sering saya lihat adalah sejumlah satpam, dengan pakaian seragam mereka yang putih-biru gagah - tapi hanya punya sedikit wibawa. Kadang saya lihat seorang anggota ABRI mencoba turun tangan. Pernah saya lihat sejumlah kondektur bis - demi kelancaran sumber rezeki mereka sendiri - jadi sukarelawan. Ada sekali seorang pemuda, di tengah kekacauan itu, terjun jadi panitia tunggal penertiban. Yang mengharukan ialah bahwa ada yang mematuhinya, meskipun lebih banyak yang tidak. Hasilnya tetap: khaos itu tetap merajalela. "Indonesia, Indonesia," gumam seorang kenalan saya yang baru saja pulang dari hidup di luar negeri, pada suatu hari. "Inilah contoh Indonesia," katanya. Saya, yang hampir tiap pagi menyaksikan kekalangkabutan itu dengan kekesalan yang mulai tumpul, meradang juga mendengar cemooh itu. "Tiap orang yang baru pulang dari luar negeri omong seperti bouwheer!" sembur saya. Teman saya terdiam, agak kaget oleh kekasaran saya. Saya juga terdiam, tak jadi melancarkan polemik, tak jadi mengemukakan sebuah pleidoi buat tanah air, tak jadi berapi-api bilang bahwa Indonesia itu lain dari yang lain (politiknya, lho, Dik, budayanya, lho, filsafat ekonominya, lalu lintasnya, potongan sopirnya, cara teriak satpamnya, dst., dst.). Singkatnya, saya terdiam, dan diam - biarpun cuma 15 menit - adalah suatu kans untuk menelan ludah & berpikir kembali. Barangkali teman itu benar: perempatan kacau itu adalah sebuah contoh Indonesia. Persisnya, sebuah contoh dari kait-berkaitnya persoalan di hadapan kita. Setelah saya perhatikan, salah satu sumber problem adalah lampu lalu lintas dari sebelah utara. Wama hijau untuk kendaraan dari arah itu teramat singkat: cuma 15 detik. Tiap kali hijau itu "byar", cuma tiga mobil yang berkesempatan jalan. Rupanya, lampu ini dipasang sewaktu daerah di sebelah utara itu masih sepi. Padahal, Kelapa Gading mungkin sebuah contoh eksplosi kelas menengah baru: dan kelas menengah berarti mobil, tak Deduli merknva. Walhasil, dari wilayah yang 4 tahun lalu senyap itu kini menderu ratusan kendaraan bermotor - dan lampu lalu lintas itu pun tak memadai lagi. Kesimpulan: ada pertumbuhan ekonomi, tapi birokrasi pemerintahan tak cepat menampung pertumbuhan itu. Tak ada peninjauan kembali lampu-lampu lalu lintas. Tak ada penghitungan kembali jumlah unaa polisi yang dilokasikan ke satu tempat, meskipun wilayah berubah. Dan tak seorang pun tahu, kepada siapa harus mengadu. Dan di situ agaknya yang terjadi bukanlah kebutuhan akan "debirokratisasi", tapi mungkin kebutuhan sebuah birokrasi yang bekerja. Tapi bila kita perhatikan lebih jauh, ada problem lain yang tampak: kemacetan dahsyat terjadi karena pada saat sejumlah orang melanggar aturan, orang lain pun akan melanggarnya. Dan bila hal itu terjadi, anarki yang timbul pun akan mengenai hampir siapa saja, dengan derajat berbeda-beda. Tapi kenapa orang tak sadar juga akan hal itu? Jawabnya, mungkin: ini suatu scarcity syndrom, suatu sindrom kelangkaan. Kita sudah terbiasa dengan suplai yang terbatas, pada saat jumlah orang bertambah. Hasilnya adalah siapa-cepat-siapa-dapat. uga di perempatan jalan itu terjadi semacam paralelisme dua asas. Yang pertama adalah asas siapa-kuat-boleh-ambil-jalan: dan prahoto pun dengan mudah mengintimidasi bemo. Yang kedua adalah asas biarkecil-asal-banyak: sepeda-sepeda motor itu, dengan persatuan dan kesatuan dan kenekatan, bisa menghentikan arus mobil, apalagi bila itu Mercy dan BMW, catnya yang takut lecet dan penumpangnya takut dikeroyok. Lalu di mana sang regulator? Siapa? Anggota ABRI itu, atau anak muda mencoba swakelola itu? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus