MASJID Kebon Jeruk itu menyembulkan kubah bulan bintang di tengah rimbunan gedung kota. Dan jauh sebelum Ramadan tiba, di masjid Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, ini sudah ramai dengan jemaah, yang lazimnya berkumpul menjelang magrib. Usai salat magrib, lebih dari seribu kepala dihela ingatannya ke pahala dan siksa. Mereka berdikir, mengingat Allah. "Ini hanya cara berdakwah, menegakkan syiar Islam. Ini bukan aliran," kata Haji Firdaus, 56 tahun. Ia selain pengurus sekaligus guru di masjid itu. Tetapi yang berbicara di mimbar itu tak mesti dia saja. Kalau ada tamu datang ber-khuruj dari luar negeri, silakan naik ke mimbar. Ia boleh bertablig: menyeru manu sia berbuat kebajikan, dalam kisar iman, Islam, dan ihsan. Kamis malam itu, misalnya, Mustafa Kamal, amir (pimpinan) dari 5 tamu dari Malaysia, berpidato tentang iman. Setahun lalu, ada 11 tamu dari Pakistan, dipimpin oleh Fadlul Hadi. Di masjid itu mereka berbicara hal yang sama. Dan kesulitan bahasa bukan soal, karena ada penerjemah. Usai khotbah, kemudian di Jloor diizinkan pecah. Jemaah lalu membentuk kelompok. Ada yang melingkar, atau hanya berdua duduk bersila di lantai. Lutut bersentuh lulut - memecah soal dari hati ke hati, sambil melepas pandan. Ada juga yang bebas mendiskusikan pidato tadi. Sebutan anta (anda) dan ana (saya) acap pula terdengar. Dan kalau mahabah alias cinta itu sudah berpaut - tak cuma karena Allah - kemudian dipadu lagi dengan makan bersama di satu nampan. Nasi dan lauk dituang, dihabiskan oleh sejumlah orang. Apakala di sudut sana ada seorang berpeci putih (plus berjenggot lebat) meraup sesuap nasi, lalu ia menaruh di tangan kawan yang segera menyuapnya. Itulah emosi persaudaraan yang kental daripada rasa jijik. Di sudut lain, seorang berjubah gamis hitam, tafakur ke lantai dengan kepala ditekuk. "Itu model dakwah kami," kata Sigit dan Iqbal. Mereka mahasiswa Fakultas Sara dan Fakultas Matematika 8 Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. "Kami ingin menerapkan kembali metode dakwah Nabi. Kita umat muslim harus khuruj," tambahnya. Yang mereka tiru, konon, itu dilakukan Nabi Muhammad saw., 15 abad lalu. Sederhana, dan persaudaraan dipilin di antara kaum Muhajirin (emigran) dan Anshar (penolong) di Masjid Nabi, Madinah. "Dakwahnya masih, tapi tiap problem bisa dipecahkan bersama, jadi efisien," tutur Topan Nerotra, seorang mahasiswa dari Cirebon, kepada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO. Syahdan, pada 1881 Muhammad Ilyas, seorang syaikh di New Delhi (India) membangkitkan kembali dakwah model Nabi itu, berbentuk Jamaah Tabligh. Model ini sekarang menyebar ke 158 negara, dengan jumlah jemaah kira-kira sudah 27 juta. Di Muangthai ada setengah juta jemaah. Dan makan bersama dalam satu nampan itu sejak empat tahun lalu sudah dipraktekkan ke tengah bocah yang belajar di masjid. Sedangkan di Malaysia, yang begitu mencolok di Perkampungan Darul Arqam (pengikutnya penganut Suni tetapi anehnya "diserang" Partai PAS pimpinan Yusuf Rawa). Di Indonesia amir-nya adalah Haji Ahmad Zulfakar. Harap diketahui, meski di sini ada pimpinan atau amir, itu bukan berbentuk organisasi. Jemaahnya baru 15 ribu, dan tersebar di seantero kota. Di Jakarta, selain yang di Kebon Jeruk, disusul di Masjid Al-Mukarramah, Tanjungpriok. Dan khusus untuk kaum Hawa, mereka berkumpul di Masjid Al-Muttaqin, Ancol. Bersama 12 anggotanya, Ahmad Zulfakar pekan lalu khuruj ke sebuah masjid dan Pesantren Darul Arqam, Kampung Gombara, Ujungpandang. "Dakwahnya positif, karena menekankan perlunya persatuan dan kesatuan umat Islam," kata K.H. Abdul Djabbar Ashiry, 72 tahun. "Tidak ada yang berbau politis, apalagi mempertentangkan suatu ajaran," tambah pimpinan pesantren itu pada Erwin Patandjengi dari TEMPO. "Kami sama sekali memang tidak berniat politik," tutur Ahmad Zulfakar. "Kita ini jemaah masjid. Mana ada masjid berwujud organisasi dalam arti berstruktur. Kami berdiri di atas dan untuk semua golongan." Menurut dia, karena semua kegiatan berorientasi ke masjid, maka itulah cara yang mencontoh ke Sunah Rasul. Mereka tidak boleh bicara golongan. "Kalau ada anggota begitu, maka kasarnya kami pecat," ujar Zulfakar, yang tak mau dipotret itu. Pembicaraan memang menghindari khilafiyah. Kecuali soal iman, salat, ilmu, akhlak, keikhlasan, atau kemanusiaan. "Kami juga bukan jemaah tarekat," kata Zulfakar. Dia kuatir, lalu jadi golongan itu tadi. Karena tarekat juga golongan. "Orang tarekat banyak yang keliru. Eksklusif. Mereka tertutup dalam menjalankan agama. Padahal, Nabi juga berdagang," tuturnya lagi. Soal dinamai Jamaah Tabligh "Itu sebutan orang. Biarlah, meski kami tak memberi nama begitu," ujarnya. Tapi nama itu sudah terebak di mancanegara. Kalau ada pertemuan, ijtima, internasional di Tunggu, Bangladesh (Januari) atau di Raiwand, Pakistan (November), nama itu masih jadi sebutan. Khuruj mengacu ke ayat 100 surat al-Nisa' (Wanita). Allah menjanjikan pahala bagi muslim yang keluar rumah alias khurui untuk berhijrah ke Allah dan Rasul-Nya. Karena hijrah itu esensinya berdakwah, itu harus berulang sekarang. "Semacam napak tilas Sunah Rasul," kata Haji Qamaruzzaman Jazuli, 47 tahun. Dan seperti kedua mahasiswa tadi, bagi setiap anggota jemaah, khuruj diharuskan. Itu dilakukan, misalnya, 4 bulan dalam seumur hayat, 40 hari dalam setahun, atau 3 hari dalam sebulan. Biayanya diatur sendiri. Penentuan jumlah hari terserah pada tiap anggota. Tapi supaya teratur, itu dijadwal melalul masjid. Tugas amir dan pembantunya, antara lain, mengatur jadwal khuruj itu. Dan pimpinan setiap regu juga disebut amir. Keputusan amir regu (biasanya 7 hingga 15 orang) mengikat. Biar doktor, kalau sudah anggota, harus patuh pada amir-nya, meski misalnya penarik becak. Selain amir, ada mudallil alias penunjuk jalan, yang lazimnya orang setempat. Ber-khuruj itu boleh di dalam atau di luar negeri. Dakwah tetap dari masjid ke masjid. Tujuannya, menurut Haji Qamar - pernah ke Pakistan, India, Bangladesh, Singapura ada tiga. Yaitu: menyempurnakan niat, memperbaiki jiwa, dan meluruskan niat. "Dengan khuruj, kita dapat menghayati nilai-nilai hakikat Islam yang sebenarnya," kata Haji Qomar. Segala pengalaman khun itu lalu dilaporkan ke amir, dalam sebuah acara yang disebut musyawarah. "Ketika di Kudus saya pernah ditahan oleh Kodim," kata Qomar. Pasalnya, karena dianggap jemaah sesat. Padahal, supaya irit, mereka bersebelas memasak di halaman masjid. Ada rekannya yang memakai gamis, dengan tasbih di jari. Kalau terdengar azan, mereka mengajak penduduk setempat pergi ke masjid. "Banyak suka-dukanya," tutur Qomar lagi. Amir Nasution (nama samaran) baru kemarin datang dari Padang. Ia berlima. Lain dengan pengalaman seorang temannya di Lampung yang sempat ditanyai petugas. "Kami tidak mendapat kesulitan. Malah disambut," katanya. Di Padang, jemaah yang mendengar senang dengan ucapan masya Allah (begitu kalau Allah menghendaki). Tablih berjalan lancar. Ada lagi program jawlah (berjalan kaki), sehari dalam seminggu. Ini program silaturahmi dari masJid ke masjid setempat. Program yang lain, amal maqami atau beramal di tempat. Misalnya, di rumah dan musala. Di sini bentuknya ta'lim alias mendidik keluarga dan tetangga. Tapi ta'lim umum berlangsung di masjid secara reguler. Kalau di Cirebon, biasanya Jumat malam, dan di Tegal Senin malam. Tablig di Jakarta, Kamis malam, seperti sudah disebut tadi. "Dengan cara begini, masjid makmur atau ramai," kata Qomar, yan ikut jemaah itu sejak 1976. Wajahnya bersih, dengan jenggot terawat rapi. Di sakunya ada tasbih berikut siqlak alias sikat gigi dari kayu. "Apa buruknya kalau kami meniru Sunah Rasul ?" ia bertanya sendiri. Memang tak ada buruknya, seperti juga ada masjid ramai, ada pula masjid sepi. Dan kalau di Masjid Al-Muttaqin, dalam kompleks Rumah Sakit Paru-Paru Ancol, puluhan wanita ramai mendengar ta'lim, mereka bukan saja meniru cara Rasulullah, tetapi juga Khadijah atau Aisyah - istri-istri Nabi. Mereka pun sudah berjubah hitam-hitam. Menurut K.H. Hasan Basri, dari segi materi ajaran, mereka tidak bertentangan dengan ISlam. Hanya dalam soal khuruj, oleh Nabi tidak dibatasi kepada tiga atau dengan jumlah hari tertentu. "Malah Nabi memang menyuruh-kita berdakwah setiap sempat," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia itu. Penampilan jemaah tablig, dengan memakai kain gamis dan makan di emperan masjid, kata Hasan Basri, itu bukan khas yang ada di Indonesia. "Jadi, tidak aneh kalau mereka lantas dicurigai," ujarnya. Padahal, setiap negeri punya ciri berpakaian tersendiri. "Saya sarankan, mereka tampil dengan citra Islam yang bersih. Dan materi tablig tentu lebih penting." Memang, bobot itu bukan hanya di "kulit" saja. Apalagi Islarn mengorak dan sesuai dengan zaman. A.T. & Z.M.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini