Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Antonius Sujata: "Saya Pernah Diminta 'Membersihkan' Seorang Pejabat Tinggi"

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah pesan pendek masuk ke telepon genggam Antonius Sujata sebulan silam. Dari pesan itulah, Anton mula-mula mengetahui desas-desus rumah Jaksa Agung M.A. Rachman di Cinere—sebuah kasus yang kini tengah menyeret Rachman ke ambang kejatuhannya. Kepada Tengku Rizal, sekretaris pribadi M.A. Rachman, Anton berpesan agar Jaksa Agung berhati-hati lantaran masalah ini bisa mendatangkan geger. Tengku Rizal adalah kawan kuliah Anton dalam program pascasarjana di Universitas Padjadjaran, Bandung. Dua pekan lalu perkiraan Anton itu akhirnya terbukti. Rumah yang tidak dilaporkan ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) itu bukan saja menjadi berita besar media massa, tapi mendatangkan gelombang tuntutan dari publik agar Jaksa Agung tersebut dicopot saja dari kedudukannya. Dalam urusan copot-mencopot jabatan, Antonius Sujata punya pengalaman pribadi. Tiga tahun silam, pada Juli 1999, dia harus hengkang dari Kejaksaan Agung tatkala Jaksa Agung (ketika itu) Andi M. Ghalib mencopotnya dari kursi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Alasannya tidak jelas. Dan Anton memilih mundur. Ketika itu sempat tersiar kabar bahwa Anton akan meningkatkan status mantan presiden Soeharto sebagai tersangka. Dia memang yang pertama kali membuka kasus dugaan korupsi di tujuh yayasan yang dipimpin mantan presiden Soeharto serta kasus Bulog. Kini memimpin Lembaga Ombudsman Nasional, Anton tidak menolak bahwa dalam hal membersihkan diri, lembaga kejaksaan seperti jalan di tempat—tanpa pernah melakukan terobosan. Dia kemudian menyodorkan sebuah data yang memiriskan dari Ombudsman kepada TEMPO: bahwa lembaga kejaksaan—yang pernah 34 tahun menjadi "almamater"-nya—ternyata paling tidak responsif dalam menanggapi pengaduan masyarakat. Menurut Anton, beberapa rekomendasi Ombudsman terhadap kasus yang melibatkan kejaksaan hanya ditanggapi dengan dingin, "Dibandingkan dengan penegak hukum lain (kepolisian dan kehakiman), kejaksaan paling lamban dalam merespons tuntutan," katanya. Anton mengakui bahwa ada sejumlah jaksa yang nakal dalam beperkara dan "bermain" dengan aneka modus. Dia juga tahu bahwa ada sejumlah tudingan diarahkan kepada dirinya—termasuk soal sebuah rumah mewah di Gunung Geulis. "Kalau soal itu, saya bisa menjelaskan dengan detail kepada Anda," ujarnya kepada TEMPO. Pekan lalu, dalam sebuah pertemuan di kantor Lembaga Ombudsman Nasional di Jalan Adityawarman, Jakarta Selatan, Antonius Sujata memberikan sebuah wawancara khusus kepada mingguan ini. Dalam dua kali pertemuan, dia menjawab pertanyaan wartawan TEMPO Edy Budiyarso, Bina Bektiati, dan Hermien Y. Kleden. Antara lain, tentang tekanan dan modus permainan di kejaksaan, tentang tudingan terhadap dirinya. Juga, tentang soal paling hangat dari Kejaksaan Agung: kasus rumah mewah M.A. Rachman. Berikut ini petikannya. -------------------------------------------------------------------------------- Menurut Anda, kasus Jaksa Agung M.A. Rachman adalah soal biasa di lembaga Kejaksaan Agung? Tidak betul kalau kasus ini dikatakan hal biasa yang dilakukan kebanyakan orang di lembaga kejaksaan. Menurut saya, kasus ini tidak semestinya terjadi. Implikasinya besar sekali terhadap 6.500 jaksa di seluruh Indonesia. Implikasi itu bentuknya seperti apa? Pengaruh moral, sudah pasti. Kejaksaan menjadi jago kandang—tak mampu menilai dirinya secara obyektif. Jaksa Agung Rachman adalah representasi, simbol, dari lembaga kejaksaan. Nah, kasus ini membuat para jaksa menjadi tidak lagi percaya diri. Orang-orang yang dipanggil oleh lembaga kejaksaan untuk diperiksa bisa bilang: untuk apa memeriksa orang kalau kamu sendiri perlu diperiksa? Kalau itu implikasinya moral, apakah Jaksa Agung Rachman harus mundur? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini: apakah berhenti itu lebih banyak mendatangkan manfaat atau kerugian? Kerugiannya kan sudah Anda sebut di atas? Demoralisasi? Dalam hal ini, para bawahan yang merasakan langsung hal itu. Sebagai representasi dari lembaga kejaksaan, apa yang dilakukan seorang Jaksa Agung—dalam kasus seperti ini—akan membebani bawahannya. Apa iya? Semua jaksa agung muda dan dua kejaksaan tinggi yang kuat (Jakarta dan Sumatera Utara) menyatakan dukungan terhadap Rachman. Dukungan secara terbuka bisa ditafsirkan negatif. Jadi muncul kesan seakan-akan kejaksaan menantang pemeriksaan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Padahal dukungan bawahan sudah sewajarnya diberikan kepada atasan. Dalam kasus ini harusnya dukungan itu tidak diberikan secara terbuka. Apakah Anda pernah mendengar penilaian semacam ini: sulit sekali menemukan jaksa yang bersih, yang tidak "bermain di masa sekarang"? Itu tidak benar. Kesimpulan ini muncul karena kejadian ini menyangkut manajemen tingkat atas di kejaksaan. Saya menilai ini tindakan pribadi M.A. Rachman. Namun hal ini juga tak bisa dilepaskan dengan visi pimpinan yang tidak memperhitungkan dengan baik akibat dari segala tindakannya. Ada unsur sembrono, menggampangkan persoalan. Oke, Anda sendiri pernah menjadi Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Anda pernah dicoba disuap? Kalau yang datang langsung untuk menemui dan menawarkan suap, tidak pernah. Anda tahu modus permainan jaksa-jaksa nakal, khususnya dalam kasus korupsi? Ada beberapa indikasi. Menuntut dengan hukuman rendah. Tidak mengajukan banding atas putusan hakim meringankan terdakwa. Ada juga jaksa yang membawa si terdakwa ke rumahnya sebelum sidang. Apakah modus permainan ini berkembang dari tahun ke tahun? Belakangan ini muncul modus baru, yakni jaksa membuat dakwaan yang keliru sehingga dengan mudah dipatahkan oleh penasihat hukum dan hakim. Cara lain adalah pemerasan lewat SMS (short message service) di telepon genggam. Bisa diberikan contoh? Seorang jaksa pernah memanggil seorang bankir lewat SMS. Ini bukan hanya tidak lazim, tapi juga tidak prosedural. Orang-orang ini diduga dipanggil untuk diperas, bukan untuk diperiksa secara yustisia. Apakah modus pemerasan langsung ditujukan kepada mereka yang tersangkut perkara besar? Tidak langsung kepada nama-nama yang terkenal. Bila ada yang mau bermain dalam kasus Akbar Tandjung, misalnya, dia tidak akan langsung menghubungi Akbar. Tapi akan menghubungi orang-orang di sampingnya. Investigasi kami dalam beberapa kasus korupsi menunjukkan tawar-menawar suap, dan kolusi di kejaksaan sudah terjadi bahkan dengan cara yang kasar dan terang-terangan. Saya masih berpendapat bahwa itu lebih terjadi pada orang-orang ketimbang terhadap kejaksaan sebagai sebuah lembaga. Hal lain, lingkungan juga punya pengaruh besar. Suasana yang koruptif misalnya. Itu punya pengaruh. Anda punya pengalaman dengan suasana yang koruptif itu? Ya, tapi tidak dalam arti suap, melainkan tekanan dari atas karena perkara-perkara korupsi itu menyangkut nama para pejabat penting. Atasan bisa memberikan perintah apa saja. Tapi cara saya menghindar adalah begini: dengarkan dulu, dan carilah saat yang tepat untuk menjawab dan menolaknya. Misalnya? Suatu saat, ketika masih berdinas sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, saya bekerja sampai larut. Di jalan, telepon genggam saya berdering pada jam satu pagi dari atasan saya. Dia memerintahkan saya untuk menangkap dua orang. Siapa mereka? Tidak etis bila nama itu saya sebut secara terbuka (Anton menyebut seorang pengusaha keturunan yang terkenal berikut nama seorang bankir pemerintah, dan meminta TEMPO mencatatnya sebagai materi off the record). Apa alasannya? Atasan saya tidak mengatakan alasan yang jelas. Tapi katanya perintah itu dia terima langsung dari Presiden. Dan atasan saya meminta agar saya menghadapnya pada pagi hari. Saya menghadap tapi tidak ketemu. Baru malam berikutnya saya bertemu dengannya. Apa yang dikatakan Jaksa Agung dalam pertemuan itu? Beliau bertanya apakah perintah itu sudah saya laksanakan. Saat itulah saya katakan bahwa untuk menangkap seseorang itu ada prosedurnya, harus ada pemeriksaan lebih dahulu, harus ada tim yang bekerja. Saya katakan juga, berbahaya jika tindakan jaksa menyalahi prosedur. Pengalaman lain adalah dengan seorang menteri. Menteri siapa dan Anda diminta melakukan apa? Maaf, sekali lagi saya tak dapat menyebut nama karena persoalan etika. Wawancara ini kan bukan untuk menjelek-jelekkan orang lain. Nah, pada suatu hari seorang Menteri Koordinator Pengawasan dan Pembangunan memanggil saya. Saat itu Jaksa Agung sedang berada di luar kota. Menteri tersebut meminta saya menulis surat dan membuat clearance terhadap terdakwa seorang pejabat tinggi dalam kasus pertambangan Freeport. Apakah orang itu adalah seorang mantan Menteri Pertambangan dan Energi? Pokoknya dia seorang pejabat penting dalam kasus pertambangan tersebut. Menteri koordinator itu meminta saya membuat surat yang menyatakan bahwa si pejabat tidak terkait dengan kasus tersebut. Saya bilang, "Pak, itu tugas Jaksa Agung. Dan beliau sedang tidak berada di Jakarta sekarang ini. Apa jawaban si menteri koordinator? Dia bilang, "Ya sudah, nanti saya saja yang bicara dengan Jaksa Agung. Sekarang Anda buat saja dulu secepatnya surat itu." Dan surat itu Anda buat? Segera saya pulang dan saya perintahkan anak buah saya untuk membuat resume berita acara pendapat. Saya minta mereka buat seobyektif mungkin berdasarkan hasil pemeriksaan jaksa yang sebenarnya. Dan di dalam berita acara itu si pejabat itu dinyatakan terlibat. Laporan tersebut kemudian saya sampaikan ke Jaksa Agung. Dan Jaksa Agung menekennya. Mungkin saja ia tidak membaca secara lengkap, karena laporannya memang tebal. Dokumen itu masih saya simpan sampai sekarang. Kembali ke soal pengaruh suasana koruptif yang Anda katakan di atas. Apakah Anda pernah punya kolega atau atasan yang menekan Anda ke arah itu? Ada juga. Dalam kasus penyelundupan emas—14 kilogram—di Tangerang, saya didatangi teman sejawat. Kepada saya dia meminta agar terdakwanya dibebaskan. Saya bilang, saya sudah memerintahkan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat untuk jalan terus. Beberapa waktu kemudian saya dipanggil atasan. Di sana sudah ada rekan saya dan bisa ditebak arah pembicaraannya. Mereka mengatakan sudah menelepon Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang untuk mengurus masalah ini. Setelah pembicaraan selesai, rekan saya itu keluar. Saya tetap tinggal di tempat. Kepada atasan saya katakan, kita mempertaruhkan 6.000 lebih jaksa jika kita memenuhi permintaan itu. Jaksa Agung saat itu bilang, "Ya, terserah kamu." Apakah Anda tahu bahwa nama Anda pun pernah disebut tidak bersih? Itu hal biasa yang sudah saya dengar. Kami juga mendengarnya. Misalnya, soal rumah mewah yang besar di Gunung Geulis, di kawasan Puncak? Ha-ha-ha..., kalau rumah itu bisa saya jelaskan. Dulu pada awal tahun 1990-an almarhum Ketua DPR Daryatmo meminta saya membelikan tanah tersebut. Pak Daryatmo sudah seperti orang tua saya sendiri. Nah, mengapa beliau meminta saya membelinya? Karena saat itu saya tinggal di Bogor, menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Bogor, maka mungkin beliau berpendapat lebih mudah bila saya yang mencarikan tanah itu. Setelah selesai pembelian, beliau meminta agar rumah tersebut diatasnamakan saya. Tapi, begitu proses selesai, semua urusan dan dokumen saya kembalikan kepada beliau. Mungkin karena itu orang menyebut-nyebut rumah itu sebagai rumah saya. Tapi rumah Anda di Cipayung, Jakarta Timur, juga bukannya besar dan mewah? Saya bekerja dan uang saya amat cukup untuk membeli rumah itu. Begini, Anda jangan hanya menghitung penghasilan saya sebagai bekas jaksa agung muda atau sebagai Ketua Ombudsman. Saya mempunyai sumber penghasilan lain. Setelah berhenti dari kejaksaan, saya juga jelek-jelek kan menjadi komisaris utama di sebuah perusahaan swasta di bidang makanan ternak. Namanya PT Sierad Produce. Di sana kan saya mendapat gaji juga. Tapi sumber penghasilan saya yang utama adalah tabungan. Saya penabung yang amat rajin, sejak saya menikah pada 1973. Dari mana saja sumber penghasilan yang Anda tabung? Ketika menjadi konsul RI di Hong Kong, saya bisa menyimpan banyak uang dalam dolar. Saat itu saya dibayar US$ 4.000 per bulan. Yang terpakai paling banyak US$ 1.000. Hampir lima tahun saya bekerja di sana dan semua sisa penghasilan itu saya tabung. Uang tersebut kan—ditambah dengan sejumlah penghasilan lain—saya tabung dan beranak-pinak. Sangat cukup untuk penghidupan kami sekeluarga tanpa harus korupsi. Soal lain adalah pendidikan jaksa. Bagaimana Anda menilai sumber daya di kejaksaan? Amat lemah. Terakhir saya mengajar di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan di Ragunan, Jakarta Selatan. Di situ saya menghadapi para calon jaksa. Mereka tidak mampu memahami materi substansial yang diajarkan, tidak membaca buku, apalagi buku-buku bahasa Inggris. Lama-lama saya merasa bahwa antara yang mengajar dan yang diajar ini kok tidak bersambung sama sekali. Akhirnya saya mengundurkan diri. Kami mendengar orang harus menyogok untuk bisa lolos menjadi jaksa. Apa betul? Saya pernah menyeleksi para calon jaksa. Ada 15 orang peserta. Yang saya luluskan hanya satu—karena dialah satu-satunya yang bisa menjawab pertanyaan saya. Belakangan saya mendengar anak ini tidak lulus. Saya marah besar dan menelepon Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Pak Morthen Pangrekun. Saya minta kelulusan anak itu dikembalikan dan mereka memenuhinya. Antonius Sujata Tempat, tanggal lahir: Kutoarjo, 20 Januari 1941 Pendidikan terakhir: Sarjana hukum Universitas Gadjah Mada (1964) Pekerjaan:
  • Konsul RI di Hong Kong (1986)
  • Kepala Kejaksaan Tinggi Irian Jaya atau Papua (1994)
  • Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (1997)
  • Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (1998-1999)
  • Ketua Komisi Ombudsman Nasional (2000-sekarang)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus