KANTOR Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) di kawasan Pecenongan, Jakarta, menjelma menjadi bak sebuah panggung teater. Hampir dua pekan ini perhatian seantero negeri tersedot ke sana, pada sebuah lakon yang tengah digelar di situ. Itulah kisah misteri rumah mewah Jaksa Agung M.A. Rachman di Graha Cinere, Depok. Para aktornya telah datang silih berganti. Toh, ujung ceritanya belumlah jelas.
Kini drama sudah pindah babak. Pemeriksaan telah naik tingkat dari tahap klarifikasi menjadi pemeriksaan khusus. Untuk itu, sepanjang pekan lalu secara bergiliran Komisi Pemeriksa telah memeriksa tujuh saksi. Antara lain mereka adalah Chairunnisa, putri kesayangan Rachman; Suryo Tan, si pengusaha komputer yang disebut banyak sumber TEMPO sebagai makelar perkara kelas wahid; Husin Tanoto, ayah Suryo dan "pembeli" rumah Rachman; Kito Irkhamni, jaksa bekas tangan kanan Rachman sekaligus saksi kunci perkara ini; dan Petrus Bala Pattyona, pengacara yang disewa Kito untuk menagih utangnya ke Rachman. Minggu ini, Pak Mang—begitu Rachman disapa di kampung kelahirannya, Sumenep, Madura—pun kembali akan hadir di Pecenongan untuk menjawab pertanyaan tim pemeriksa khusus yang dipimpin Rudjuan Dartono dengan anggota Winarno Zain dan Yafie Thaher.
Geger ini bermula dua pekan lalu, saat Komisi menemukan kejanggalan pada laporan kekayaan Rachman. Dalam berkas yang ditekennya 10 Juli 2001, Rachman, yang mengaku memiliki enam unit rumah, tak menyebut-nyebut punya sebuah tempat kediaman lain di Cinere. Baru setelah tim pemeriksa menunjukkan bukti, Rachman gelagapan mengaku bangunan megah senilai Rp 1,8 miliar itu memang kepunyaannya. Setengah mengiba, sang Jaksa Agung bahkan minta rumah ini disisipkan dalam laporannya. Permohonan ditolak. Dan Rachman pun mulai berdalih.
Begini kisahnya. Semula, rumah itu dibeli Rachman lewat PT Megapolitan Development Corp., perusahaan pengembang Graha Cinere, pada 29 Oktober 1999 seharga Rp 320 juta. Namun, setahun kemudian, 10 November 2000, ia menghibahkannya kepada Chairunnisa, putri sulungnya. Dan pada 14 Januari 2002, Irun (nama kecil Chairunnisa) menjualnya lagi ke Husin Tanoto, seorang pengusaha Medan asal Taiwan. Jadi, Rachman berkilah ia memang tak perlu melaporkannya.
Tapi justru dari situlah kegawatan datang menjerat. Dalih ini malah mengonfirmasi kabar miring ihwal keintiman sang Jaksa Agung dengan Suryo Tan, yang santer disebut merupakan seorang calo perkara. Tak lain, Husin adalah ayah kandung Suryo.
Saat diperiksa Komisi, Suryo keras menyanggah suka berdagang perkara. Bahkan, kata Soekotjo Soeparto, ketika ditanya urusan itu Suryo lantang menantang tim pemeriksa untuk membuktikannya.
Tim pemeriksa juga tak begitu saja percaya. Mereka menduga alih nama itu sekadar upaya Rachman berkelit. "Buktinya, ia sempat meminta kepada kami supaya rumah itu dimasukkan dalam laporannya," kata Soekotjo Soeparto, salah seorang pemeriksa.
Apalagi, keterangan Husin dan Chairunnisa ternyata tak klop. Husin, kata ketua tim pemeriksa, Rudjuan Dartono, mengaku membeli rumah dari Chairunnisa seharga Rp 950 juta. Perikatan jual-beli disahkan notaris Hidayat Aziek pada 14 Januari 2002. Kendati hingga kini belum ada akta penyerahan sertifikat, buat Husin, juragan PT Sinar Nusa, transaksi sudah sah adanya. Husin mengaku mengenal Rachman sewaktu berdinas di Medan pada 1986 lampau.
Lalu, kenapa Chairunnisa menjual gedung yang bahkan belum usai dibangun itu? "Saya mau buka klinik gigi," katanya. Benarkah? Tunggu dulu. Keterangan dokter gigi jebolan Universitas Trisakti ini tak lempang. Usai diperiksa Komisi pada Kamis lalu, ia bercerita bahwa Husin cuma membayar tunai separuhnya. Sisanya dibarter dengan peralatan buat tempat prakteknya. Anehnya, pengakuan Chairunnisa disangkal Husin. Menurut keterangan Husin, ia membeli rumah itu 100 persen tunai. "Saya beli cash," katanya kepada pers.
Lebih aneh lagi, ketika dihubungi Tempo News Room, Chairunnisa ralat sana ralat sini. Kini ia menyangkal penjualan rumah dilakukan secara barter. "Itu hanya tafsiran pemeriksa saja," katanya. Menurut dia, Husin membayar tunai Rp 950 juta. Namun—ini yang aneh bin ajaib—karena takut cepat ludes, Chairunnisa minta supaya uang jangan langsung dibayarkan seluruhnya. Husin setuju. Chairunnisa lantas membeli perangkat kedokteran gigi senilai Rp 400 juta, yang kemudian digunakan di klinik barunya. Mau tahu di mana tempatnya? Persis di gedung yang sama tempat Suryo Tan berkantor di wilayah Tanah Abang, Jakarta. Soal ini Chairunnisa mengaku menempatinya dengan cara pinjam-pakai. "Semacam bagi hasil," ujarnya.
Kesaksian yang paling memberatkan datang dari bekas orang kepercayaan Rachman sendiri, Kito Irkhamni. Blak-blakan Kito mengaku kerap disuruh Rachman beli ini-itu. Tak cuma rumah di Cinere, Kito juga bernyanyi pernah diminta membelikan empat buah mobil. Sialnya, dua di antaranya, dari jenis KIA Carnival dan Toyota Soluna, tak dibayar lunas. Keduanya diatasnamakan anak Rachman yang lain, Kamariyah dan Cut Meutia Rahmi. Carnival seharga Rp 233 juta baru dibayar Rachman Rp 100 juta, sedangkan Soluna yang Rp 130 juta baru dilunasi Rp 60 juta. "Rachman bilang mobilnya masih dicicil, padahal saya yang melunasinya," ujar Kito.
Jika benar, ini bisa jadi celaka baru buat sang Jaksa Agung. Dalam laporan hartanya, hanya KIA Carnival yang tercantum, sedangkan kepemilikan Soluna sama sekali tak dicantumkan.
Tak pelak, pengakuan Kito kian meruapkan bau tak sedap ke arah Rachman. Soal rumah di Cinere itu, misalnya. Kito bersaksi Rachman memang pernah memintanya supaya kepemilikan rumah itu disamarkan atas nama orang lain. Atas usul Kito, Rachman lalu mengalihkannya ke Chairunnisa. Padahal, kata dia, secara de facto masih Rachman pemiliknya.
Kito menuding Rachman berutang uang pembelian dan pembangunan rumah kepadanya sebesar Rp 780 juta. Sampai rumah dilimpahkan ke Chairunnisa, dialah yang mengurus segala sesuatunya. Tapi belakangan hubungan keduanya retak. Tiap kali ditagih, Rachman selalu mangkir. Kito pun kehabisan akal. Ia akhirnya memberi kuasa kepada Pengacara Petrus Bala Pattyona untuk menagih.
Keder terbuka ke muka publik, Rachman setuju membayar. Lewat Pattyona, Kito memperoleh sebagian tagihannya, Rp 300 juta. Pembayaran dilakukan di Hotel Mulia pada 19 Desember 2001. Kata Kito, duit dibawa tunai oleh seseorang bernama Najib S. Atamimi. Yang menarik, Najib menolak menggunakan kuitansi. "Pertanyaannya, itu duit siapa?" kata Kito, tersenyum. Tak lain, kata sejumlah sumber TEMPO di lingkungan Kejaksaan, Najib adalah juga makelar perkara sejenis Suryo.
Kepada Arif Kuswardono dari TEMPO, Najib mengaku pernah membayar Kito sejumlah itu. Tapi ia menyatakan tak tahu dari mana asal-muasalnya. Menurut Najib, duit seabrek-abrek itu diterimanya dari Rachman. Dia sekadar dimintai bantuan untuk menyerahkannya. Lalu, kenapa tak pakai tanda terima? Kata Najib, karena pembayaran telah masuk dalam klausul akta penyerahan tanah 19 Desember 2001. "Jadi, tak perlu lagi ada kuitansi," katanya. Selain itu, ia juga membantah buka praktek jual-beli perkara.
Melihat dalih Rachman penuh lubang begitu, kata Petrus Salestinus, salah satu anggota Komisi, tim pemeriksa telah menarik kesimpulan sementara: bahwa alih nama rumah Cinere adalah sekadar upaya Rachman berkelit. Adanya utang Rachman ke Kito dan ihwal sejumlah mobil yang belum dilaporkan juga jadi unsur pemberat. Lebih lagi, asal-muasal Rp 300 juta dana pembayaran ke Kito lantas mengusik pertanyaan baru. Soalnya, sebelumnya Rachman mengaku selama dua tahun terakhir tak sepeser pun depositonya bertambah atau berkurang. "Lalu dari mana asal duit itu?" Petrus bertanya.
Begitulah, kian hari tanda tanya kian bertebaran di seputar perkara ini. Dan karena itulah, kepada Rachman yang tengah mati-matian bertahan di kursi Jaksa Agung, ada baiknya ia kembali diingatkan pada bunyi pernyataan yang telah ditekennya sendiri di atas meterai: "Apabila di kemudian hari ternyata ada kekayaan saya dan keluarga saya yang dengan sengaja tidak saya laporkan, demi tanggung jawab moral sebagai penyelenggara negara dengan ini saya menyatakan rela dan ikhlas untuk diberhentikan."
Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini