Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Figuran di Sekitar Rachman

Sejumlah nama dikenal dekat dengan Rachman, sebagian terlibat dalam kasus rumah mewah. Siapa dan apa peran mereka?

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kito Irkhamni Dialah bintang utama perkara rumah mewah Graha Cinere, selain Rachman sendiri. Kito, 44 tahun, mengawali karir jaksa lewat jalur ajudan. Ia, antara lain, pernah menjadi ajudan Nyoman Suwandha, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur saat itu—yang belakangan pernah menjabat wakil jaksa agung. Kito, jaksa kelahiran Tulungagung, Jawa Timur itu, sudah dikenal sejak ia menjadi jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Surabaya pada 1994. Namanya menghiasi koran karena diduga terlibat suap dalam kasus dua terdakwa penggelapan restitusi pajak di Pengadilan Negeri Surabaya, yakni Helmy Nazar Machfud, Direktur PT Inraco Arta Surabaya, yang mengeduk uang restitusi Rp 3,9 miliar. Satu lagi adalah Sugiarto alias A Keng, pemilik perusahaan CV Mekar Sari, dengan nilai restitusi Rp 1,9 miliar. Apa peran Kito? "Ia penghubung bosnya," kata Wijono Subagyo, pengacara Helmy Nazar, kepada TEMPO. Para jaksa itu dituduh mengupayakan agar tersangka penggelapan pajak tadi lolos. Adalah Wijono yang menguak kasus ini. Ia berhasil mendapatkan tiga buah kaset rekaman negosiasi harga antara keluarga Nazar dan para jaksa. Kito disebut ikut kecipratan karena duit suap yang Rp 800 juta diduga dikirim melalui dia. Kasus ini kemudian ditangani tim khusus dari Kejaksaan Agung. Kito kemudian "dibuang" ke Kejaksaan Negeri Pandeglang di Banten. Benarkah suap itu? "Bohong besar," kata Kito. Dia mengaku bahwa Jaksa Agung Singgih sudah menyatakan dirinya tak terlibat—namun Singgih belum sempat dikonfirmasi tentang hal ini. Lagi pula, katanya, tak mungkin ia membawa uang kontan Rp 800 juta. "Itu seukuran mobil Kijang. Waktu itu nggak ada uang pecahan Rp 100 ribu. Mosok, saya bawa duit segitu nggak ketahuan," katanya. Tapi ada kasus lain. Seorang wanita bernama Aty Mulyati, warga Limo Depok, melaporkan penipuan dan penggelapan sebuah rumah di Cinere oleh Kito ke Polisi Sektor Cilandak. Kali ini Kito tidak membantah. "Uangnya Rp 90 juta. Itu biaya untuk renovasi yang tertunda. Bu Aty nggak sabar, saya pun dilaporkan," kata Kito, yang rupanya terlibat jual-beli rumah itu. Ke mana uangnya? Rupanya uang itu terpaksa dialihkan untuk membangun rumah "bermasalah" Rachman. Urusan dengan Aty diakuinya sudah beres. Tentang laporan di polisi, Kito cuma bilang, "Saya tidak akan mengintervensi polisi." Panda Nababan Mantan wartawan majalah Forum dan anggota PDI Perjuangan ini lebih tepatnya adalah "mantan" orang dekat Rachman. Mantan? Ya, sebab kini dia tampil sebagai pengritik paling gigih terhadap kinerja Rachman. "Saya pernah bicara dengan dia (Rachman), jangan pojokkan saya untuk jadi oposisi Anda," kata Panda, 58 tahun, dengan bersemangat. Persahabatan dengan Rachman diakui pria kelahiran Siborong-borong, Tapanuli Utara ini. Usia persahabatan mereka hampir 20 tahun. Maklumlah, Panda pernah berkarir sebagai wartawan yang mangkal di kejaksaan. Mereka berdua bahkan bisa bercerita dan guyon dengan ngelosor di lantai. Rachman sering diberinya masukan, mulai dari soal kasus sampai cerita kepemimpinan para mantan Jaksa Agung. "Saya mendorong agar Rachman paling tidak bisa jadi separuh Lopa-lah," kata wakil daerah pemilihan Bekasi, Jawa Barat ini. Namun kedekatan Panda dengan Rachman bukannya tak mengundang suara sumbang. Panda disebut-sebut gemar menyorongkan nama-nama jaksa agar dipromosi. Panda sendiri mengaku pernah diajak ngobrol Rachman tentang promosi jaksa tinggi. Tapi itu sekadar ngobrol. "Dia memang bilang bagaimana dengan jaksa ini dan jaksa itu. Saya bilang, Pak Rachman, itu urusan Anda," ujar Panda menangkis suara miring tadi. Suryo Noertjahyo Tanoto Pria 40 tahun asal Medan ini biasa dipanggil Suryo Tan. Dia disebut-sebut sumber di kejaksaan sebagai calo perkara ulung dan "orang dekat" Rachman. Suryo dikenal juga sebagai Darren Chen Jia Fu, namanya sebagai warga negara Singapura. Sebelumnya, sampai tahun 1997, ia berstatus warga negara Indonesia. Tak diketahui jelas alasan Suryo pergi ke Singapura, padahal saat itu ia punya bisnis bagus di sini. Berkongsi dengan Setya Novanto dan Johannes Kotjo, ia mendapat izin monopoli pembuatan surat izin mengemudi dari Markas Besar Kepolisian RI. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 2000, kabarnya karena bisnisnya hancur di Singapura. Lalu ia membuka bisnis di bidang komputer dengan bendera PT Indonesia Vehicle Computer System dan berkantor di Jalan Tanah Abang II, Jakarta Pusat. Di alamat ini pula putri sulung M.A. Rachman membuka klinik perawatan gigi. Di kejaksaan, Suryo diketahui punya peran penting dalam tender proyek Sistem Informasi Manajemen Kejaksaan Agung RI (Simkari-2) senilai Rp 200 miliar. Dalam tender itu, keluar sebagai pemenang adalah perusahaan Sitre. Padahal Sainco, pesaingnya, mengajukan harga dan produk yang, kata sebuah sumber, lebih baik. Beberapa pejabat dan sejumlah sumber mengaku pernah ditawari Suryo Tan untuk mengurus perkara, tender, atau segala yang berhubungan dengan kejaksaan. Tentunya dengan fee khusus. Namun kepada TEMPO Suryo membantahnya. "Saya bukan calo perkara," katanya. Tapi ia sukar mengelakkan hubungan istimewanya dengan Rachman. Pemeriksaan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara atas rumah mewah di Graha Cinere membuktikannya. Diketahui bahwa Husin Tanoto, bapak Suryo, adalah kolega dekat Rachman ketika yang bersangkutan berdinas di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan. "Kemesraan" ini diteruskan Suryo. Begitu dekatnya sehingga ada kabar bahwa Suryo berani mengatasnamakan Rachman untuk mengurus fee Rp 2,5 miliar dari pengusaha Johannes Kotjo. Apa kata Rachman? "Sudah saya tegur dia," katanya, seperti ditirukan seorang anggota Komisi Hukum DPR kepada TEMPO. Najib Salim Nama lengkapnya Muhammad Najib Salim Attamimi. Pria asal Pasuruan, Jawa Timur, berusia 45 tahun ini juga dikenal dekat dengan Rachman. Dia adalah lulusan Akademi Penyelidik Swasta di Hamburg, Jerman, pada 1984. Nama Ketua Perhimpunan Alumni Jerman Cabang Jawa Timur ini pernah menghias media massa tahun 1980-an karena sengketa warisan. Ketika itu ia menggugat Abdul Azis, saudara tirinya, karena menguasai harta warisan dari ayah mereka secara sepihak. Salim Ambarak Attamimi, mendiang ayah Najib, adalah pengusaha sukses. Perusahaannya bertebaran di Pasuruan, Surabaya, dan Probolinggo. Usahanya beragam, dari pabrik ubin, tenun, sarung, sampai perdagangan kuda dan besi tua. Salim Ambarak meninggal pada 1964 dengan meninggalkan 28 anak dari beberapa istri. Ketika sengketa ini masuk pengadilan, aset pribadinya saja ditaksir mencapai Rp 50 miliar. "Itu belum terhitung beberapa rumah yang dijual sepihak oleh kakak saya," kata Najib. Najib sempat bermukim di Jerman dan bekerja sebagai pegawai tata kota di Hamburg. Ia baru kembali ke Indonesia pada awal 1990. Ia bermukim di Malang dan mulai menekuni bidang akrilik untuk keperluan aksesori dan mebel. Bisnisnya kemudian melebar ke usaha rotan, kayu, sampai sarang burung walet. Bersama istrinya, Martha Caecilia, keturunan Tionghoa, ia mencoba peruntungan di bidang ekspor kain bordir. Pada 1999, ia hijrah ke Jakarta untuk membuka usaha baru, yaitu konsultan pemenangan pemilu. Ia mendirikan lembaga bernama John Caine Centre dan kerap menggelar pelatihan hukum dan seminar. Sejak itu Najib bolak-balik Malang-Jakarta dan menjadi pelanggan sejumlah hotel berbintang di Jakarta. Di "bisnis politik" itulah ia mengenal Rachman, yang saat itu baru lengser dari jabatan sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum. "Sejak itu saya sering runtang-runtung dengan Pak Rachman," tuturnya. Pada 1999 itu jabatan Jaksa Agung diduduki Marzuki Darusman. Dari Gedung Bundar itu Najib diisukan pernah menerima "rezeki" Rp 1,5 miliar ketika seorang pengusaha kakap berhasil mendapatkan surat penghentian perkara. Benarkah ia ikut main? "Silakan cek, apa ada perkara yang saya makelari," tantangnya. Arif A. Kuswardono, Fajar W.H., Jalil Hakim (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus