Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Endah Citraresmi, menjelaskan diagnosis penyakit autoimun pada anak sering terlambat. Pasalnya, kasus autoimun jarang terjadi sehingga kesadaran masyarakat ataupun dokter juga kurang. Padahal, diagnosis dini autoimun pada anak penting agar pengobatan dan terapi bisa dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau penyakit lebih ringan tentu saja obatnya jadi lebih mudah dan lebih sedikit. Kalau ditemukan pada tahap ini (diagnosis dini), kita tahu belum banyak kerusakan organ, jadi kualitas hidupnya bisa lebih baik,” kata Endah dalam webinar pada Selasa, 3 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan fasilitas kesehatan kerap terbatas sehingga pasien harus dirujuk ke rumah sakit tipe B atau A untuk diagnosis dan tata laksana yang mumpuni. Selain itu, obat autoimun untuk anak belum banyak tersedia.
“Obat-obatnya mayoritas untuk dewasa. Jadi bentuknya tablet, bahkan obat infusnya pun bentuk sediaannya untuk dewasa. Jadi kalau dipakai di anak dosisnya lebih sedikit tapi kita harus membayar seharga obat untuk dewasa,” jelasnya.
Angka kematian tinggi
Menurut Endah, autoimun pada anak sering disertai morbiditas atau kesakitan dan kecacatan yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. “Dan tidak jarang bahwa, contohnya lupus, mortalitas atau angka kematian pada anak itu lebih tinggi dibanding pada kelompok usia dewasa,” ucapnya.
Dia mengingatkan dukungan keluarga dan pengasuh dibutuhkan anak dengan penyakit autoimun. Di sisi lain, pihak sekolah juga perlu memahami kondisi-kondisi khusus apabila ada siswa menderita penyakit autoimun. Endah mengatakan terkadang anak dengan autoimun memerlukan dispensasi.
“Ada yang tidak boleh olahraga karena radang sendi dan radang otot. Ada yang tidak boleh terkena sinar matahari. Ada yang kesulitan naik ke kelas di lantai kedua. Dan yang paling penting autoimun ini tidak menular dan tidak boleh dikucilkan,” ujarnya.
Di samping gangguan fisik, Endah mengatakan anak dengan autoimun juga mengalami gangguan penampilan sehingga kerap tidak percaya diri. Menurutnya, banyak anak dengan autoimun yang bosan minum obat dalam jumlah banyak dan durasi yang lama serta bisa mengalami efek samping obat. Kemudian anak dengan autoimun juga bisa mengalami gangguan belajar, terutama penyakit autoimun yang menyerang ke otak. Anak dengan autoimun juga rentan stres dan depresi karena penyakitnya.
“Jadi masalahnya cukup kompleks. Tidak semata-mata masalah kesehatan tapi juga ada masalah psikososial dan kualitas hidup,” tegasnya.