Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis paru Aditya Wirawan mengatakan selain pengisap vape, orang di sekitar yang ikut menghirup uapnya atau secondhand vaping juga ikut terdampak. Paparan vape tangan kedua tidak sama dengan paparan asap perokok pasif dari rokok konvensional. Menurut Action on Smoking and Health (ASH), sebagian besar zat berbahaya yang ada dalam asap rokok konvensional tidak ada dalam vape, apabila ada jumlahnya jauh lebih rendah ( kurang dari 1 persen).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Meskipun dampaknya mungkin berbeda dari asap rokok konvensional, paparan aerosol vape tetap memiliki risiko kesehatan. Dampak dari paparan asap vape antara lain iritasi saluran napas, bronkitis, sesak napas, eksaserbasi asma, dan sebagainya. Paparan secondhand vaping dapat menyebabkan peningkatan risiko masalah kesehatan pernapasan, terutama pada anak-anak dan individu yang sudah memiliki masalah kesehatan pernapasan,” ujar Aditya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, paparan uap vape tidak hanya berdampak pada manusia tetapi juga lingkungan. Aditya mengatakan emisi dan limbah vape mengandung sejumlah nikotin dan bahan kimia beracun lain yang dapat menjadi sumber polusi lingkungan.
Bahaya uap vape
Uap vape dapat meningkatkan kadar nikotin dan partikel halus (PM2.5) di udara dalam ruangan meskipun dalam tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Selain itu, uap vape juga mengandung senyawa organik volatil dan logam yang dapat berkontribusi terhadap pencemaran udara dalam ruangan.
“Meskipun belum banyak penelitian yang spesifik membahas dampak uap vape terhadap tumbuhan, beberapa bahan kimia dalam uap seperti logam berat dan senyawa organik volatil dapat berpotensi merusak tanaman jika terakumulasi dalam konsentrasi yang tinggi. Adapun dampaknya terhadap hewan, nikotin yang terkandung dalam uap vape adalah zat beracun bagi banyak hewan dan bisa menyebabkan keracunan jika dihirup terus menerus dalam jumlah besar atau jika e-liquid vape tertelan,” jelas pulmonolog di RSUI itu.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah meningkatnya pengguna vape dalam beberapa tahun belakangan yang diikuti dengan meningkatnya laporan penyakit paru terkait vaping atau EVALI. Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang baru.
Walaupun vape berbeda kandungan, hal ini bukan alasan untuk dapat menjadi alternatif pengganti rokok konvensional karena sama-sama mengandung nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik lain sehingga menjadi kewajiban seluruh masyarakat untuk memahami dan menyebarluaskan bahwa mengisap vape tidak boleh dianggap lebih aman daripada rokok konvensional.
“Masih ada bahaya yang mungkin terjadi dan penelitian masih terus berlangsung untuk menguraikan hubungan antara penggunaan rokok elektrik ini dengan kerusakan paru-paru ataupun masalah kesehatan lain,” tandasnya.