Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANGAN pernah menyerah. Renova Elisabeth Panggabean, 31 tahun, membuktikan kebenaran kata-kata itu. Ibu dari dua putra ini kini hidup sehat. Sehari-hari, dia menjadi aktivis gereja, melayani umat. Siapa sangka, tiga tahun silam, dua bagian dari paru kanannya—satu sisi paru terdiri atas tiga bagian—pernah diambil tim dokter dari United States Navy Ship Mercy.
Elisabeth mendapat cerita tentang rumah sakit terapung milik Angkatan Laut Amerika Serikat itu setelah membaca tulisan di Tempo edisi Maret 2005. Sekitar sebulan silam, dia menulis surat ke Redaksi tentang kisahnya, sekaligus mengabarkan kesembuhannya.
Riwayat penyakit Bebet—begitu panggilannya—bermula ketika dia masih duduk di kelas III Sekolah Menengah Farmasi di Sumatera Utara. Perempuan kelahiran Binjai, sekitar 21 kilometer dari ibu kota Sumatera Utara, itu sering batuk-batuk di malam hari. Karena yatim, dan keterbatasan biaya, penyakitnya tak diobati intensif.
Penyesalan terjadi ketika Elisabeth melamar kerja pada akhir 1990-an. Dia lulus semua tes masuk sebuah perusahaan farmasi besar di Jakarta. Namun, saat tes kesehatan, baru diketahui ada genangan cairan cukup banyak di paru anak keempat dari lima bersaudara itu. ”Saya tak diterima,” katanya kepada Tempo melalui saluran telepon pekan lalu.
Elisabeth lalu memeriksakan diri ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, Jatinegara, Jakarta Timur. Dokter di sana menemukan abses—semacam luka—pada paru kanan bagian bawah. Putusannya, dia harus dioperasi. Tak puas dengan informasi itu, dia mengecek kepada tiga dokter di rumah sakit berbeda, di Jakarta dan Tangerang, Banten. Hasilnya serupa. Dia pun memutuskan pulang kampung.
Di Binjai, dia berobat ke dokter spesialis paru, Tamsil Syafiuddin. Gratis. Karena Elisabeth tak punya biaya, Tamsil tak menyarankan operasi pemotongan paru. Dia pun mulai sering muntah darah hingga harus dirawat di rumah sakit. ”Setahun sampai empat kali muntah darah,” katanya.
Pada Juli 2000, Elisabeth memeriksakan diri ke Island Hospital, Penang, Malaysia. Dokter Dato’ Zainuddin Wazir, yang memeriksanya, memberikan saran sama: operasi paru. Jika parunya tidak segera dioperasi, akan terjadi perdarahan tiap bulan tanpa henti. Total biayanya mencengangkan, Rp 250 juta.
Elisabeth melupakan niat dioperasi. Dia memilih menikah pada Agustus 2002. Saat mengandung anak pertama, dia tiga kali masuk rumah sakit. Ketika hamil anak kedua, dua kali dia dirawat. Kedua anaknya lahir melalui operasi caesar.
Kehidupan kian berat sejak ibunya meninggal pada 2005. Kesehatan jiwa dan raganya menurun. Muntah darah makin sering. Elisabeth, yang dirawat di rumah sakit, kembali disarankan menjalani operasi.
Dalam kondisi sulit, adiknya, Jordan, membawa Tempo bekas. Artikel Pada Sebuah Kapal (edisi 20 Maret 2005) menarik perhatiannya. Di dalamnya ada cerita tentang kapal rumah sakit Angkatan Laut Amerika, Mercy, yang membantu mengobati warga korban tsunami Aceh dengan gratis. Bahkan ada penderita tumor ganas bisa sembuh setelah dioperasi di sana. Sayang, kapal itu sudah pergi. Elisabeth berdoa semoga kapal itu kembali.
Ndilalah, setelah pulang dari rumah sakit, terjadi gempa di Nias, Sumatera Utara, pada April 2005. Elisabeth menonton berita di beberapa stasiun televisi tentang kapal Mercy yang kembali. Tanpa membuang waktu, dia dan keluarganya berangkat ke Nias. Kondisi kesehatan Elisabeth sudah sangat payah.
Sesampai di Nias, ia cuma bertemu dengan tentara Australia. Tak lama kemudian, ditemui dokter tentara Amerika. Tapi Pak Dokter itu menolaknya. Elisabeth belum menyerah. Dia menemui seorang dokter Indonesia yang juga membantu korban gempa di Nias agar membantunya membujuk orang Amerika di Mercy. Setelah beberapa orang mendesak dokter Amerika itu, akhirnya Elisabeth dan suaminya diangkut dengan helikopter ke rumah sakit terapung. Tepat saat turun dari helikopter, Elisabeth muntah darah.
Dia langsung diisolasi di sebuah ruangan karena dokter khawatir kuman atau virusnya menyebar. Di situ, parunya dikeringkan, agar cairan tak menjalar ke bagian paru lain saat dioperasi.
Hasil pemeriksaan menyatakan paru kanan bagian bawah 100 persen rusak. Sedangkan bagian kanan tengah tinggal berfungsi 10 persen. ”Jadi kedua bagian itu harus diambil,” cerita Elisabeth. Tiga hari ia dikarantina, sebelum dioperasi sekitar tujuh jam.
Setelah dua minggu dirawat di Mercy, Elisabeth seperti mendapat kesempatan kedua. Hingga kini, dia hidup sehat. Sehari-hari, melayani umat gereja Komunitas Imamat Rajani, Binjai. ”Saya tak pernah batuk, bahkan juga tak pernah kena flu,” katanya.
Dokter Tamsil, yang dulu merawat Elisabeth, mengakui ibu dua anak itu kini sehat setelah paru-parunya dibuang. ”Memang paru Elisabeth itu ibarat kayu dimakan rayap, sudah lapuk. Jalan terbaik, dibuanglah yang sudah tak berguna,” kata dokter spesialis paru lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu dengan logat Melayu Medan.
Tamsil menambahkan, keadaan paru Elisabeth adalah akibat penyakit tuberkulosis yang tak tuntas diobati. ”Jadinya infeksi hingga parah seperti itu,” katanya. Penyakit tersebut masih menjadi pembunuh nomor tiga di Indonesia.
Tuberkulosis—bakteri berbentuk batang—memang mampu bertahan hidup sampai berbulan-bulan di lingkungan kering. Ia mudah disebarkan lewat batuk, bersin, dan ludah. Seseorang akan terinfeksi bila berkontak secara terus-menerus dengan penderita. Karena itu, bila di sebuah keluarga ada yang terjangkiti tuberkulosis, mesti segera berobat. Gizi makanan penderita harus baik dan istirahat cukup.
Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita tuberkulosis antara lain pleurel effusion, atau pengumpulan cairan di antara paru dan dinding rongga dada, dan pneumothorax, atau adanya udara di antara paru dan dinding rongga dada. Keadaan akan fatal bila kerusakan paru meluas. Tuberkulosis ada kalanya dapat menjalar ke organ tubuh lain melalui aliran darah.
Sebenarnya, selama daya tahan tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu banyak, bakteri akan mati dibunuh sistem kekebalan tubuh. Jutaan manusia sebenarnya hidup dengan kuman tuberkulosis tanpa harus menjadi sakit.
Namun, bila daya tahan tubuh menurun, kuman tubercle dapat bangkit memperbanyak diri kembali, lalu menyerang masuk ke bagian lain paru. Pada taraf ini, penderita masih merasa sehat sampai gejalanya muncul, misalnya fungsi pernapasan terganggu, batuk, dan muntah darah. Itulah yang terjadi pada Elisabeth. ”Kini dia tetap bisa hidup normal. Lima puluh lima persen paru saja cukup,” kata Tamsil.
Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo