Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sebuah Pintu Bernama <font color=#FF9900>GOMA</font>

Brisbane Gallery of Modern Art, atau yang sering disebut GOMA, dikenal luas mempromosikan seni rupa kontemporer Asia lewat ajang Trienal Asia-Pasifik. Dari sinilah beberapa perupa kontemporer kita memperluas jaringan internasionalnya. Tempo mengunjungi galeri ini, dua pekan lalu.

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POHON Bodhi kecil itu ditanam perupa asal Taiwan, Lee Ming Wei, di taman depan Brisbane Gallery of Modern Art, atau yang terkenal dengan sebutan GOMA (Gallery of Modern Art). ”Pohon itu dibawa dari Sri Lanka, lalu diberkahi air suci,” kata Diane Moon, salah satu kurator GOMA.

Dua pekan lalu, di GOMA, Ming Wei memperingati kekerasan di Tibet melalui instalasinya Guernica in Sand. Guernica, kita tahu, adalah karya Picasso bercorak kubisme yang menggambarkan ribuan manusia mati di Basque, kota gerilyawan Spanyol, ketika dibombardir pesawat NAZI pada April 1937.

Ming Wei menampilkan ulang lukisan itu tapi dengan materi pasir di atas lantai. Idenya dari seni rahib Tibet. Para biksu Tibet memiliki tradisi membuat gambar mandala di lantai dari pasir. Pola mandala itu sangat rumit dan acap kali dikerjakan berbulan-bulan, tapi kemudian setelah selesai, pasir itu diserakkan begitu saja. Itu untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu di dunia ini nisbi.

Untuk Guernica ini Ming Wei memerlukan waktu pembuatan sembilan hari. Dan kita melihat sungguh itu dikerjakan dengan ketelitian luar biasa. Ukuran Guernica pasir itu sangat besar, hampir seruang penuh. Menggunakan banyak macam pasir, mulai yang hitam, abu-abu, cokelat sampai putih. Di akhir pameran, Juni ini, Guernica pasir itu juga akan diserakkan.

GOMA adalah galeri berarsitektur sangat kontemporer milik pemerintah Queensland. Dari kaca-kacanya dapat dilihat Sungai Brisbane. Semenjak 1993, Brisbane Gallery itu memelopori forum Asia Pacific, Triennial of Contemporary Art, sebuah ajang yang diperuntukkan bagi perupa kontemporer Cina, India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Korea, Thailand, Jepang, Malaysia, Indonesia, Samoa, sampai Hawaii. Menurut Dr Rex Butler, pengajar pada jurusan sejarah seni Universitas Queensland, karena orientasinya yang kuat, Trienal Brisbane ini menjadi sekualitas festival Documenta di Kassel, Jerman, dan Bienale Venesia.

”Sebelumnya seni rupa Australia condong ke Amerika atau Eropa,” kata Dadang Christanto, salah satu seniman kita yang pernah mengikuti Trienal Asia Pasifik—dan kini tinggal di Brisbane. Ia mengakui bahwa keikutsertaannya dalam trienal sangat menguntungkannya. ”GOMA merupakan pintu bagi saya untuk menembus dunia seni rupa internasional,” katanya. ”Umumnya teman-teman segenerasi saya juga jalannya terbuka setelah ikut trienal di sini,” tambahnya. Selain Dadang, sejumlah seniman mengunjungi tempat itu—Heri Dono, F.X. Harsono, Dede Eri Supria, Nyoman Erawan, plus generasi selanjutnya, Agus Suwage, Arahmaiani, Marintan Sirait, Mella Jarsma, dan Eko Nugroho.

Tentang perhatian ke Asia itu diakui oleh kurator GOMA Russel Storer. ”Australia lebih dekat dengan Asia Pasifik,” katanya. Maka, dalam setiap ajang trienal, GOMA selalu mengundang kurator dari berbagai belahan dunia agar menyaksikan sendiri betapa seni rupa kontemporer Asia-Pasifik berbeda dengan seni kontemporer Amerika dan Eropa.

Ketika ditanya apa komentar dia tentang boom seni di Indonesia kini, Storer menjawab agak hati-hati. Ia tahu gejolak pasar lukisan Indonesia. Diakuinya lelang lukisan di Indonesia di Hong Kong, Cina, Singapura, begitu progresif. Lelang di Australia, menurut dia, tak seagresif itu. Perjalanan lebih tenang. Tapi bukan berarti tanpa dinamika.

”Saya pernah menghadiri lelang salah satu balai lelang Indonesia di Singapura, tapi saya lihat mutunya menurun terus.” Menurut dia, seni adalah sebuah komoditas yang berbeda dengan komoditas yang lain. ”Dibutuhkan ketenangan tidak cepat dan bergegas. Karya yang baik harus ada unsur pemikiran,” katanya.

Maka, GOMA—kerap membuat commissioned project, yaitu memesan secara khusus sebuah karya kepada seniman untuk dipajang. ”Sepenuhnya dibiayai galeri,” kata Storer. Tahun lalu, untuk keperluan trienal seniman kontroversial Cina Ai Wei-Wei, yang membangun stadion berbentuk sarang burung untuk Olimpiade Cina 2008, membuat kandil—lampu gantung begitu besar dengan puluhan ribu gelas berkilauan—disusun seperti air terjun yang muncrat. Judulnya Boomerang. Akan halnya seniman asal India Bharti Kher membuat instalasi berjudul The Skin speaks a language not its own. Instalasi dengan patung gajah dari fiberglas meringkuk di lantai seolah tengah kesakitan.

Menurut Storer, seniman yang masuk trienal adalah, ”Yang gagasannya fresh.” Menurut dia, karya-karya terbaik trienal akan dibeli oleh GOMA. Karya Dadang berupa instalasi bambu, misalnya, dibeli oleh GOMA. Mereka memiliki tempat penyimpanan yang luas untuk itu. ”Kita memiliki ahli konservasi khusus untuk perawatan,” katanya.

Karya-karya itu secara bergantian dipamerkan setelah perhelatan trienal selesai. Pada Mei-Juni ini, misalnya, kita bisa melihat karya seniman Anish Kapoor, pematung kelahiran India yang tinggal di London—berupa sebuah patung bundaran merah menyala dengan bagian tengah bolong seperti pusar raksasa, ditempelkan ke dinding. Juga karya almarhum Rummana Hussain dari Bombay, yang merefleksikan penghancuran Masjid Babri di Ayodhya pada 1992 oleh fundamentalis Hindu.

”Karya mural Eko Nugroho di Asia Pasifik Trienal ke-5 tahun 2006 sangat mengagumkan,” kata Russel Storer. Karya itu berjudul It’s all about Destiny. Isn’t it? Dilukis di dinding ukuran 14x18,5 meter. Begitu tingginya, sampai-sampai Eko harus naik forklift saat menggambar. Karya itu memang mengentak, bahkan dibanding karya Anish Kapoor atau Rummana Hussain.

”Padahal Eko jauh lebih muda dari Anish Kapoor yang 58 tahun,” kata Storer. Maka, ia optimistis, seniman Indonesia memiliki kekuatan sendiri. Ia sendiri—meski ada travel warning, terutama bagi pegawai pemerintah, untuk bepergian ke Indonesia—berencana berkeliling Jakarta, Yogya, dan Bandung, untuk mensurvei seniman-seniman kita yang patut masuk Trienale Asia Pasifik 2009. Ia ingin mencari karya yang mengejutkan, bukan sekadar laku di pasar.

Seno Joko Suyono (Brisbane)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus