SUTERA dan beledu berat bertepian sulaman tebal keemasan. Kain-kain halus tipis memancarkan kemilau emas berkelebatan di depan mata. Florence, Rennaissance, dari Italia? Atau Istana Versailles, Prancis, di abad ke-18? Suasana baroque yang serba ornamental, keemasan, sekaligus canggih, memang mewarnai peragaan adibusana dari Iwan Tirta di Mercantile Club, Jakarta, baru-baru ini. Dan itu bukanlah suatu kebetulan yang tidak terancang dengan rapi. Bukan saja persiapan yang memakan waktu setahun lamanya, karena semua yang diperagakan -- namanya saja adibusana -- dikerjakan dengan tangan satu per satu. Dari membatik kain-kain, menjahit, hingga membubuhinya ornamen. Baik itu sulaman manik-manik maupun benang emas, atau satu per satu penempelan lembar-lembar daun emas. Namun, ada yang lebih mendasar di balik itu semua. "Saya mengangkat kain adat, baik itu batik maupun songket, ke pentas dunia," kata Iwan Tirta. Dan kalau sudah bicara tentang tingkat dunia, Nusirwan Tirtaamidjaja -- demikian nama asli pria kelahiran Blora 54 tahun lalu ini -- menginginkan yang terbaik dari segalanya. Agar ada "nilai lebih" yang diperhitungkan orang. Ini bukan sekadar rekaan atau dugaan Iwan belaka. Sekitar awal tahun 1960-an, berbekal beberapa potong kain batik tradisional yang dianggapnya terbaik, Iwan mencoba menawarkannya ke luar negeri, antara lain ke Amerika Serikat. Kemudian apa kata orang-orang di sana? Semua memang mengagumi pembuatannya yang rumit, padahal mereka juga balik bertanya: Bagaimana saya bisa memakai kain berukuran sempit ini? Lagi pula, ini cuma kain katun yang tak tahan cuci, untuk apa saya harus membayar mahal? Sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia dan Yale University, AS, yang juga pernah memperdalam ilmu ekonomi dan studi Oriental & Afrika di London ini bahkan seakan menyimpan dendam. Ia pun mencoba untuk membatik di atas sutera berukuran lebar. Mula-mula hasilnya mengecewakan, proses pembuangan lilin tidak semudah batik di atas katun, dan warna yang timbul kurang cemerlang. Iwan lalu sadar: untuk menguasai teknik penggarapannya, perlu ada riset dan studi lagi. Antara lain dengan mendatangi Balai Penelitian Batik di Yogyakarta dan membaca literatur tentang sutera. Itu semuanya tentu menyita waktu dan dana yang banyak. Tapi, sekali berhasil, kemudian ia malah berada di depan dalam memperkenalkan batik sutera. Satu lagi ketekunannya yang membuahkan hasil, yaitu kejelian matanya dalam mengamati ragam-ragam hias tekstil. Para kolektor kain karya Iwan Tirta pasti sadar, ragam hias pola batiknya, selain posisinya yang lebih sering vertikal -- karena bukan digunakan untuk sarung -- juga selalu lebih besar dari yang tradisional. Seakan di bawah kaca pembesar. "Indah, bukan? Semua detailnya lalu terbaca. Di situ seninya batik," Iwan menjelaskan. Batik memang perkembangan yang paling mudah, kalau tidak bisa disebut suatu jalan pintas untuk menghias permukaan kain. Beda dengan kain tenun, ikat, dan songket, yang harus memperhitungkan jatuhnya benang baik vertikal maupun horisontal, supaya gambar yang dihasilkannya tepat seperti yang diinginkan. Hasilnya pun mau tak mau selalu gambar yang geometrik, terikat oleh teknik. Pada batik, orang begitu bebas "menggambar" di atas kain. Hasilnya bisa apa saja, cenderung geometrik seperti batik klasik gaya Yogyakarta dan Surakarta, atau bebas floral seperti batik gaya pesisir. Kebebasan inilah yang memang bisa menjebak. Begitu banyak kita lihat pola batik modern jadi miskin akan bentuk. Pola tak lagi kaya akan detail isen-isen, salah satu dari kekuatan batik. "Di sini perlunya ada arsip yang baik tentang ragam hias batik," ujar Iwan Tirta, yang merasa perlu adanya pembakuan nama ragam hias, hingga akan memudahkan bila kelak dibutuhkan kembali. Menyimak dari apa yang ditampilkannya pada peragaan itu, orang bisa melihat kembali garapan pola-pola kuno dari Cirebon -- yang sudah tidak bisa ditemui di daerah itu lagi -- berdasarkan penelitian pada kain-kain yang dititipkan kolektor asing di Museum Sono Budoyo, di Yogya, saat pecah Perang Dunia II. Sumber inspirasi bahkan ada yang digali dari sebuah buku yang diterbitkan oleh ilmiawan Jepang di luar negeri, tentang teknik pembubuhan daun emas pada batik Palembang, yaitu teknik "Prado". Hasilnya adalah busana-busana malam dari organsa Swiss yang tipis menerawang, namun sarat dengan gemerlap emas. Batik tulis, untuk membedakannya dengan batik cap tangan, juga dengan batik print -- sebenarnya tidak boleh disebut "batik", tetapi lebih tepat adalah tekstil bermotif batik -- memang seni kriya yang rumit pembuatannya. Karena itu, harganya menjadi mahal. Kiranya tidak bisa dibilang salah arah bila kemudian Iwan Tirta mengangkatnya menjadi lebih mewah lagi. Trend yang terjadi di negara-negara industri maju adalah segala yang buatan tangan dan halus sifatnya akan menjadi semakin langka. Karena itu, makin dihargai orang, seperti kemudian diungkapkan Iwan dengan yakin, "Quality remains when price is long forgotten." Orang lain boleh saja tidak setuju, tentu. Ananda Moersid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini