Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Revolusi membunuh anaknya sendiri

Penulis : barbara sillars harvey jakarta : pustaka utama grafiti, 1989 resensi oleh : abdurrachman surjomihardjo

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBERONTAKAN KAHAR MUZAKKAR: DARI TRADISI KE DI/TII Penulis: Barbara Sillars Harvey Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989, 415 halaman. MEREKA yang mengalami perjalanan Republik Indonesia sejak kelahirannya pasti mengetahui bahwa jalan ke arah integrasi nasional tidaklah selicin dan seindah dalam kenyataan sosialnya. Masyarakat ganda di Indonesia telah memproses beribu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dan dalam perkembangannya selama itu, segi-segi sejarah, tradisi, dan agama, tumpang tindih sebagai kompleks permasalahan yang berlanjut. Kadang-kadang faktor dominan itu terputus, tetapi akan muncul lagi ketika keadaan kemasyarakatan memungkinkan. Ini terjadi terutama di masa-masa krisis politik atau ekonomi, ketika elite yang mengendalikan kepemimpinan nasional berhadapan dengan pandangan yang berbeda dari kelompok elite lain. Pada saat-saat seperti itu, ternyata penunjukan kepada dasar-dasar hukum yang berlaku tidaklah cukup untuk dapat menangkal pecahnya pemberontakan atau gerakan lain, yang pada dasarnya menguji kemampuan negara ini untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Studi tentang gejolak dan pemberontakan yang terfokus kepada suatu daerah dalam Republik Indonesia dalam perspektif sejarah memberikan kemungkinan untuk melihat persoalannya dari tumbuhnya gagasan-gagasan mengenai integrasi politik dan pemberontakan dengan lebih obyektif dan lugas. Apalagi bila penulisnya membuat penjelasan tentang latar belakang sejarah, tradisi, dan agama. Dari tujuan dan maksud semula untuk mengadakan studi perbandingan tentang pemberontakan Darul Islam (DI) di Sulawesi Selatan (yang berkaitan dengan DI di Jawa Barat dan Aceh) pada 1950-1965, dengan Permesta di Sulawesi Utara (yang berkaitan dengan pergolakan daerah di Sumatera, PRRI) antara 1956 dan 1961, akhirnya muncullah dua buku. Pertama, tentang Permesta, Pemberontakan Setengah Hati sebagai monografi yang telah terbit dalam terjemahan Indonesia (1984). Kedua, tentang Kahar Muzakkar, Dari Tradisi ke DI/TII (1989), yang kini dibicarakan. Buku ini didahului dengan analisa sejarah Sulawesi Selatan, masyarakatnya dan keterangan-keterangan masa lampau dari karya sejarah tradisional. Dari karya sejarah tradisional dan kolonial, penulis membuat sketsa sejarah Sulawesi Selatan sampai 1905, awal dari penaklukan militer Belanda sampai 1910, hingga kekuasaannya secara efektif berlaku di daerah pedalaman. Selanjutnya, mulailah kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi Selatan, yang menyusun pemerintahan, mengatur ekonomi setempat, pengenalan pendidikan modern, yang menumbuhkan gerakan "modernis" bersamaan dengan pengaruh nasionalisme, gerakan pembaruan Islam, dan Marxisme di tingkat lokal. Satu hal yang menarik pada bagian ini ialah termuatnya data statistik mengenai migrasi, kependudukan, impor-ekspor, dan pendidikan yang memberikan kepada pembaca dimensi kontekstual, yang merupakan lingkungan sosial budaya yang membingkai proses kemasyarakatan. Masa Revolusi (1945-1949), sebagai latar belakang yang paling dekat dengan munculnya DI/TII di Sulawesi Selatan, perlu mendapat perhatian khusus. Rakyat Sulawesi Selatan keluar dari masa Revolusi tidak sebagai masyarakat yang terpadu. Masyarakat ganda bertambah kompleks dengan terbaginya Sulawesi Selatan menjadi dua lingkungan fisik: Kota Makasar dan hutan di sekitarnya. Kelompok-kelompok yang muncul di dalamnya berbeda latar belakang sosialnya maupun pengalaman semasa Revolusi, dan ini membuat kepentingan masing-masing seperti tidak dapat dipadukan. Perbedaan pendidikan pun menjadi penghambat integrasi politik. Dengan latar belakang seperti itu, kemerdekaan yang telah dicapai sejalan dengan gagasan pemberontakan. Masalahnya kemudian bukan lagi patriotisme dan perjuangan, tetapi terdapatnya persepsi yang berbeda antara penguasa resmi dan kelompok-kelompok tertentu tentang keadilan dan kebijaksanaan pemerintah. Desas-desus juga memegang peranan penting, umpamanya penyerangann "Tentara Jawa Komunis" dan dominasi alat-alat pemerintahan teritorialnya. Muncullah Darul Islam di hutan, dan Kahar Muzakkar sebagai pusat pribadi-pribadi di Sulawesi Selatan, berada di dalam silang politik militer, politik partai-partai, dan mereka yang berebut kekuasaan. Lapisan masyarakat yang berkuasa pun berubah secara cepat. "Anak daerah" mendapat kesempatan, dan ini membawa usaha-usaha pendekatan untuk perdamaian dan pengakhiran pemberontakan. Kemajuan dan konsolidasi pemerintahan memberi lingkungan yang negatif bagi para pemberontak. Sang waktu pun menambah kesadaran tidak positifnya suasana pemberontakan yang tidak kunjung membawa perbaikan ekonomi. Ungkapan "Revolusi membunuh anak-anaknya sendiri" berlaku di Sulawesi Selatan. Biografi Kahar Muzakkar dan banyak kawannya menunjukkan hal itu. Membaca studi ini memberi pelajaran dan pemahaman kepada kita, dan mungkin juga kearifan, bahwa tidak selamanya kebijaksanaan politik penguasa lokal ataupun nasional langsung saja dapat diterima oleh rakyat. Abdurrachman Surjomihardjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus