SEPI tidak identik dengan hening. Dalam hening, bunyi bisa terdengar bening dan jernih. Seperti gemericik mata air. Atau embusan angin di padang rumput. Suasana seperti inilah yang muncul di Yamaha Music Hall, Jakarta, Rabu pekan lalu, ketika jemari pianis Jepang Izumi Tateno mendentingkan tuts-tuts pianonya. Suara-suara cantik seperti berdesakan muncul saat Sonata No. 17 in D minor, Opus 31-2 "Tempest" karya komponis Ludwig von Beethoven dilantunkan sebagai pembuka acara. Ada nada syahdu dan gemuruh silih berganti. Bagai suara gerimis yang jatuh di ujung atap. Penonton meresapi kepiawaian jemari Izumi Tateno, sambil memejamkan mata. Seolah tak mau kehilangan keindahan suara, hanya karena mata asyik melihat ia beraksi di atas pentas. "Saya cuma ingin menjadi pianis. Karier tidak penting buat saya. Apalagi mencipta lagu," kata Izumi. Piano sudah menyatu dalam jiwanya sejak masih berusia 5 tahun. Maka, memainkan karya-karya komponis dunia tidak menjadi hambatan, "Yang penting, karya itu cocok dengan jiwa saya." Dan jiwa Izumi Tateno, 53 tahun, adalah jiwa yang peka pada keheningan, pada suasana alami. Denting piano terasa sejuk seperti rintik salju. Sehingga, ketika The Village Church, Opus 103-1 karya Jean Sibelius dimainkan, penonton bagai hanyut dalam khayalan suasana alami. Ada dentang lonceng dan denting kincir air. Nomor itu masih diteruskan dengan The Fir Tree, Opus 75-5, Impromptu, Opus 5-5 dan Romanee, Opus 24-9. Ini Juga ciptaan Sibelius, seorang komponis Finlandia, yang mencipta dari inspirasinya tentang pemandangan alam. Karya-karya Sibelius sangat terpengaruh oleh komponis Rusia Peter Ilich Tchaikovsky yang sarat nada romantis. Izumi Tateno bagai lahir untuk musik klasik. Sejak lahir, telinganya terbiasa dibuai gesekan celo dari ayahnya dan denting piano dari ibunya. Kedua orangtuanya memang guru musik, sekaligus musisi profesional. Izumi pun, akhirnya, meraih gelar sarjana musik dari Tokyo University of Arts. Maka, The Old Bell Tower, Opus 48-2 mengalir lagi ke gendang telinga penonton. Ini salah satu karya Heino Kaski yang terkenal. Dan Izumi Tateno menyajikannya kembali lewat resital piano di malam itu dalam kemasan "persis seperti aslinya". Karya-karya Kaski -- juga komponis Finlandia -- telah pula merasuk ke dalam jiwanya. Keheningan itu, kini, berubah jadi romantis. Denting melodi piano dalam Night by the Sea, Opus 34-1 dan Pankakoski Stream, Opus 48-1 terdengar seperti rintih kerinduan. Izumi mengakui, Tokyo tak memberinya ruang untuk memperoleh keheningan. Ia merasa kota kelahirannya menjadi semakin sesak dan bising. Jiwanya merana. Pada usia 28 tahun, ia memutuskan untuk menyeberang ke Finlandia. "Alasan ke Finlandia sederhana, saya mengirim surat ke teman-teman pena di Norwegia, Swedia, Polandia, dan Finlandia, tapi yang membalas surat saya cuma Finlandia. Jadi, saya pergi ke sana," begitu kisahnya dalam bahasa Inggris patah-patah. Dan memang, ia menemukan ruang yang ideal di Finlandia. Negara cantik dengan hamparan rerumputan, rumah-rumah peternakan yang sejuk di pinggir kota, dan bangunan-bangunan tua yang tetap terjaga keasliannya. Dan yang penting, di sini, keheningan itu ia temukan. Ia sendiri sudah mengatakan, "Tak ada yang saya inginkan selain menjadi pianis." Bisa diduga, koleganya tak saja terheran-heran, bahkan menganggapnya gila, karena Izumi tak memilih Paris, London, Wina atau Munchen. Ia tetap optimistis hidup di Finlandia, meski cuaca dingin minus 22 derajat Celsius menggerogoti baju dan sepatu musim panas yang melekat di tubuhnya -- dan itulah kekayaan satu-satunya yang dibawanya dari Jepang. Napas optimisme itu meletup dalam gelegak jiwa yang menyatu dalam piano. Sonata No. 3 in B minor Opus 58 adalah karya pianis Frederic Chopin, salah satu komponis dunia yang dikaguminya, yang juga dimainkannya di tengah keheningan ruangan di lantai lima Gedung Yamaha Music Centre. Nada-nada cepat bagai dihimpun bersitumpuk menjadi satu. Sebentar terdengar menggebu-gebu, sebentar kemudian sangat lembut. Inilah ciri khas ciptaan Chopin yang nocturne-nya memancarkan nuansa romantik yang sangat puitik. Suatu hari, Pianis berbakat ini mendapat kesempatan menunjukkan kepiawaiannya di Konservatorium Helsinki. Tak disangka, sambutan meriah mengiringi publikasi di media massa. Dari situlah Izumi mengubah nasibnya. Dari seorang pianis Jepang penuh bakat hingga menjadi pianis terkenal yang berhasil tampil sebagai solois piano di 300 philharmonic orchestra internasional dan mengadakan 2.500 konser di Amerika, Rusia, Cina, Jepang, Australia, Korea, Taiwan, India, Turki, Eropa, dan negara-negara Skandinavia. Ia pun membuat 60 rekaman piringan hitam dan kaset. Dan kalau ia meraih pula tempat kedua pada kompetisi piano internasional Olivier Messiaen, menurut Izumi, "Itu cuma kebetulan." Ia memang suka merendah. Perpaduan Timur-Barat tak cuma berupa pianis Jepang yang bermukim di Finlandia. Tapi, juga berupa pertaliannya dengan seorang wanita Finlandia, penyanyi opera, yang kini ibu dari sepasang anaknya. Kedatangannya ke Jakarta ini adalah juga atas undangan Kedutaan Besar Jepang dan Kedutaan Besar Finlandia. Keheningan meleburkan budaya Timur-Barat. Tamabata karya komponis Akira Ifukube dan Caprice ciptaan Jean Sibelius adalah jembatan yang dibangun di akhir acara resital. Dan, seperti keheningan di taman zen, Izumi Tateno tetap seorang Jepang yang membungkuk penuh kerendahan hati di tengah gemuruh tepuk tangan penonton yang terpesona. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini