Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anak batuk pilek, bagaimana membedakan itu tergolong alergi atau infeksi? Terlebih di masa pandemi COVID-19 ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"COVID-19 kan infeksi. Kalau di saluran napas bisa batuk, pilek karena alergi atau infeksi. Untuk membedakannya perhatikan ada tidak demam," ujar konsultan alergi dan imunologi anak, Prof. Budi Setiabudiawan, dalam gathering virtual Bicara Gizi "Allergy Prevention", Kamis, 25 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, amati bagaimana kejadiannya, misal batuk dan pileknya, apakah terjadi sepanjang hari atau lebih ke malam hari. Terakhir, perhatikan apakah dahak atau ingus berwarna dan kental. Jika ada demam, lalu batuk pileknya muncul pagi dan malam hari, serta dahak atau ingusnya kental dan berwarna, maka dia kemungkinan mengalami infeksi.
"Kalau alergi biasanya tidak disertai demam. Kejadian batuk pileknya terutama pada malam hari dan biasanya dahak atau ingusnya bening, tidak berwarna," tutur Budi.
Budi menekankan pentingnya deteksi dini alergi, terutama pada anak, agar bisa segera mendapatkan penanganan sehingga tidak mengganggu tumbuh kembangnya. Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak normal untuk mengenali bahan-bahan yang sebenarnya tidak berbahaya bagi orang lain.
"Deteksi dini dan nutrisi tepat mencegah alergi anak. Kalau tidak dicegah bisa menjadi komorbid pada anak yang menempatkannya rentan terkena COVID-19," tutur Budi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut penduduk dunia mengalami alergi 30-40 persen. Lalu, hingga 550 orang juga diketahui mengalami alergi makanan, salah satunya susu sapi. Di Indonesia, sekitar 7,5 persen anak mengalami alergi susu sapi.
Lebih lanjut, alergi biasanya dialami pada anak dengan bakat alergi, yakni diturunkan dari salah satu atau kedua orang tuanya. Jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi maka berisiko membuat anak 40-60 persen terkena alergi.
Risiko akan meningkat menjadi 60-80 persen jika orang tua memiliki manifestasi yang sama. Bila hanya salah satu orang tua yang memiliki riwayat alergi, maka risiko anak terkena alergi sekitar 20-40 persen. Risiko anak terkena alergi masih tetap ada, yakni 5-15 persen, bahkan jika orang tua tak memiliki riwayat alergi.
"Apabila dikenali dini, ditangani dini, akan optimal tata laksana sehingga tidak berlanjut ke penyakit seperti eksim, asma, rhinitis alergi. Kalau terlambat diagnosa, akan muncul dampak-dampak disebakan penyakit alergi, dari sisi kesehatan misalnya meningkatkan risiko penyakit degeneratif, seperti obesitas, hipertensi, dan sakit jantung," papar Budi.