Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Seperti bumi yang memulihkan hutan terbakar dengan menumbuhkan pohon-pohon baru, manusia memiliki kemampuan menyembuhkan diri sendiri.” Kutipan dokter pengobatan oriental dari Cina, Mao Shing Ni, dalam bukunya, Secrets of Self-Healing, itu mewakili pemikiran yang sejak dulu sudah menjadi pegangan di dunia ilmu kesehatan. Ketika penyakit menyerang, tubuh manusia otomatis akan menyembuhkan diri sendiri.
Mao mengatakan manusia sejak dulu kala meningkatkan kemampuan penyembuhan diri tersebut melalui cara-cara alami. Setiap budaya di dunia mengembangkan tradisi masing-masing. Berbagai tradisi itu populer hingga abad ke-19. “Selama satu abad, pengetahuan itu nyaris hilang,” tutur pendiri Yo San University of Traditional Chinese Medicine di Los -Angeles, Amerika Serikat, itu. Penyebabnya, kata dia, tak lain makin berkembangnya pengobatan modern Barat.
Sneha Mantri dalam karyanya yang diterbitkan dalam AMA Journal of Ethics, “Holistic Medicine and the Western Medical Tradition”, menyatakan pengobatan modern Barat muncul saat Hippokrates, dokter Yunani kuno, memperkenalkan metode baru untuk menjelaskan penyebab suatu penyakit secara ilmiah pada 400 sebelum Masehi. Menurut Hippokrates, penyakit muncul karena berbagai sistem di dalam tubuh tidak seimbang. Beberapa abad kemudian, ahli anatomi Romawi, Galen, menemukan teori yang menyatakan asal suatu penyakit adalah ketidakseimbangan antara tubuh dan pikiran.
Pada 1500-an, paham Hippokrates-Galen itu mulai ditinggalkan dengan munculnya praktik pembedahan untuk pertama kalinya pada tubuh manusia oleh dokter Belgia, Andreas Vesalius. Selain itu, dokter Inggris, William Harvey, mempublikasikan studinya tentang sistem peredaran darah pada 1628. Sejak saat itu, dunia kedokteran melihat tubuh manusia sebagai bentuk interaksi mekanis antarorgan.
Meditasi dalam acara ALIVE 2018 di Thamrin Nine Ballroom, Jakarta, November 2018./TEMPO/M Taufan Rengganis
Dengan berkembangnya pengobatan modern Barat tersebut, dokter yang pada era Hippokrates-Galen hanya berperan mendiagnosis masalah serta memberi tahu pasien cara mengembalikan keseimbangan tubuh dan pikiran menjadi makin aktif dalam mengobati suatu penyakit. Namun perkembangan ini sekaligus membuat suara pasien terbungkam oleh diagnosis medis. “Kekuasaan atas tubuh telah bergeser dari pasien ke dokter,” kata Mantri.
Pada abad ke-20, pandangan itu mulai mendapat penentangan, terutama dari para dokter sendiri. Mereka menilai pandangan yang menyebut tubuh manusia sebagai potongan-potongan organ akan mengikis prinsip holistik yang dicetuskan Hippokrates-Galen dan menghambat kemajuan dunia kedokteran. Pada akhir abad ke-20, pengobatan modern Barat pun kembali melirik pengobatan holistik dan mencoba menggabungkan ajaran itu dengan studi ilmiah.
Pengobatan holistik ini pula yang menjadi prinsip dari berbagai tradisi self-healing di berbagai belahan bumi. Seiring dengan kembalinya pengobatan modern Barat pada pendekatan holistik, tradisi-tradisi swaterapi diminati lagi dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu faktor pendorongnya, menurut Mao Shing Ni, adalah makin tingginya biaya pengobatan medis. Selain itu, banyak ditemukan kasus malpraktik. “Tradisi self-healing bangkit karena menjanjikan pemberdayaan pasien,” ujar Mao.
Salah satu tradisi dari ribuan tahun silam yang kembali dilirik adalah self-healing dalam pengobatan tradisional Cina. Ilmu ini dikembangkan oleh Kaisar Kuning dalam The Yellow Emperor’s Classic of Internal Medicine. Kitab yang ditulis kaisar yang memerintah Cina pada 2696-2598 SM itu merupakan dasar bagi sebagian besar penelitian dan pengembangan pengobatan Cina. Dalam pengobatan Cina, kunci self-healing adalah penyembuhan holistik alias menyeluruh.
Hingga kini, sejumlah metode pengobatan tradisional Cina masih populer, seperti akupunktur, akupresur, qigong, dan tai chi. Akupunktur dan akupresur diyakini telah ada sejak 5000-6000 SM. Adapun qigong berkembang sejak 4000 SM. Akan halnya tai chi mulai dipraktikkan sejak 1700-an sebagai olah tubuh yang dipercaya bermanfaat bagi kesehatan.
Salah satu tradisi swaterapi yang sudah lama berkembang berasal dari India, yakni Ayurweda atau Ilmu Kehidupan. -Vasant Lad, ahli Ayurweda dari Ayurvedic Institute di Albuquerque, New -Mexico, Amerika Serikat, dalam bukunya, Ayurveda: The Science of Self-Healing, menyatakan Ayurweda bukan sekadar teknik pengobatan. Ilmu yang dikenal sejak lebih dari lima dekade silam ini merupakan seni kehidupan yang dapat membantu seseorang mencapai umur panjang.
Terdapat banyak cara self-healing dalam Ayurweda, seperti menjalani pola makan sehat; menerapkan gaya hidup, kebiasaan, dan olahraga yang tepat; serta mengikuti program pembersihan yang disebut panchakarma. Panchakarma terdiri atas vamana atau terapi muntah, virechan (penyucian), basti (enema), nasya (pengeluaran racun melalui hidung), dan rakta moksha (detoksifikasi darah). Ayurweda pun menyarankan meditasi yoga.
Sementara tradisi swaterapi lawas kembali populer, muncul pula berbagai teknik self-healing baru. Salah satu yang terkenal di Indonesia adalah Tension and Trauma Releasing Exercises (TRE). TRE diciptakan David Berceli, pria Amerika Serikat yang sebelumnya adalah terapis pijat. TRE mulai berkembang di Indonesia pada 2011.
Teknik swaterapi lain yang berkembang di Indonesia adalah Tapas Acupressure- Technique. Teknik yang juga bermanfaat untuk menghilangkan stres dan trauma ini ditemukan praktisi akupunktur Tapas Fleming pada 1993.
Terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa teknik self-healing memiliki segudang manfaat. Berdasarkan hasil penelitian Dean Ornish, profesor kedokteran klinis University of California, Amerika Serikat, pada awal 1980-an, penyakit jantung dapat dicegah dengan mengubah gaya hidup serta menerapkan diet vegetarian, meditasi yoga, olahraga ringan, dan manajemen stres. Saat ini, penemuan Ornish itu diadopsi oleh berbagai klinik kardiovaskular di seluruh Amerika.
Artikel yang dipublikasikan dalam Journal of the American Heart Association pada 28 September 2017 pun menyimpulkan bahwa meditasi memiliki manfaat lebih dari sekadar menenangkan pikiran. Bersemadi juga dapat membantu menurunkan tekanan darah, menghentikan keinginan merokok, dan mengurangi risiko kematian akibat penyakit jantung. Studi juga mengaitkan meditasi dengan pembuluh darah yang lebih sehat serta peningkatan aliran darah ke jantung.
Peneliti dari Harvard Medical School, Gaelle Desbordes, membuktikan khasiat meditasi lainnya pada 2012. Ahli radiologi dan saraf ini membandingkan efek meditasi mindfulness pada otak penderita depresi menggunakan mesin pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk mencatat aktivitas otak mereka. Bagian otak yang disebut amigdala pada mereka yang tekun bersemadi selama dua bulan lebih kalem dibandingkan dengan yang tak bermeditasi. Amigdala antara lain bertugas menyimpan kenangan; mempersepsikan emosi seperti marah dan sedih; serta mendeteksi rasa takut.
Menurut praktisi kesehatan holistik Reza Gunawan, pengobatan holistik tak hanya dipakai untuk memelihara kesehatan lahir, tapi juga batin. Dalam perspektif pengobatan holistik, seseorang dilihat sebagai satu individu utuh, terdiri atas badan, batin, dan energi. Ketiganya harus selalu seimbang. “Karena itu, kami tidak berusaha mengobati penyakit fisik ataupun mental. Fokus utama kami adalah memelihara keharmonisan di antara ketiga elemen tadi,” ucapnya.
Satu Tujuan Beragam Jalan
ANGELINA ANJAR SAWITRI, NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo