Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bila Nutrisi Tak Terserap

Anak normal tak sepenuhnya terbebas dari stunting. Penelitian terbaru menyebutkan peradangan pada usus dapat memperlambat pertumbuhan anak.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bila Nutrisi Tak Terserap/TEMPO/Aditia Noviansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELIHAT pertumbuhan anaknya, Irfan Fauzi sempat galau. Ahtar, anak semata wayangnya yang berusia 17 bulan, belum bisa berjalan sendiri. Padahal kawan-kawan seusianya sudah lincah berjalan ke mana-mana. “Telapak kaki Ahtar juga belum lurus, masih bengkok ke luar,” kata Irfan, Rabu, 26 Juni lalu.

Dokter yang memeriksanya mengatakan penyebabnya adalah berat badan Ahtar kurang. Dengan bobot 8 kilogram dan tinggi 72 sentimeter, Ahtar tergolong mungil dibanding teman-temannya. Padahal, pada usia ini, berat idealnya adalah 8,6-12 kilogram, dengan tinggi minimal 76 sentimeter. Kalau bobot dan tinggi Ahtar sesuai dengan usianya, ada kemungkinan ia akan bisa tumbuh normal. “Tapi, masalahnya, Ahtar susah makan,” ujar Irfan, yang tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan.

Irfan dan istrinya khawatir Ahtar tak bisa tumbuh sesuai dengan usianya. Dokter mewanti-wanti pertumbuhan emas anak adalah sampai usia 2 tahun. Kalau sudah lebih dari umur itu, pertumbuhannya akan lebih sulit dikoreksi. Ahtar bisa terjebak dalam kondisi stunting. Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat satu dari tiga (30,8 persen) anak Indonesia menderita masalah ini.

Gejala yang dialami Ahtar mengarah ke stunting. Namun bukan berarti anak yang pertumbuhannya terlihat normal akan aman dari masalah ini. Penelitian dosen Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II, Syarief Darwaman, menyimpulkan bahwa anak, baik yang mengalami stunting maupun normal, bisa mengalami perlambatan pertumbuhan karena masalah peradangan atau inflamasi pada usus. “Jika tak diatasi, anak yang normal pun bisa berisiko stunting,” ucap Syarief.

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu cukup lama sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak. Yang paling terlihat, tinggi badan anak lebih pendek daripada ukuran usianya. Gangguan pertumbuhan ini akan berdampak hingga ia dewasa.

Kurangnya asupan gizi sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun akan membuat “pemrograman” tubuh menjadi tak sempurna. Itu adalah waktu emas ketika tubuh sedang mengembangkan semua organ dan bagian penting dalam tubuh. Kalau asupan nutrisi anak terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, semuanya bisa tumbuh dengan maksimal. Tapi, kalau makanannya tak cukup gizi dan tak diserap dengan baik oleh tubuh, pertumbuhannya terhambat.

Stunting antara lain akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, cara tubuh memproses makanan yang masuk, dan kinerja otak. Anak yang mengalami stunting akan lebih mudah sakit, tak secerdas anak normal, dan tubuhnya lebih pendek. Saat dewasa, ia akan lebih mudah menderita obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, dan penyakit lain. Kesehatan reproduksinya juga menurun serta produktivitas dan kinerjanya tak optimal.

Syarief awalnya menduga peradangan pada usus hanya dialami anak yang mengalami stunting. Inflamasi ini menyebabkan penyerapan nutrisi menjadi tak maksimal. Jadi meskipun makanan yang diberikan sudah cukup gizi, lantaran penyerapan dalam ususnya tak baik, sebagian makanan yang masuk tersebut akan terbuang lagi sehingga anak mengalami stunting. Penelitian ini mengantar Syarief menyabet gelar doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada Senin, 17 Juni lalu.

Syarief mengukur tinggi badan 269 anak berusia 6-23 bulan yang tinggal di Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, pada awal 2018. Dari pengukuran panjang badan berdasarkan umur, satu dari lima anak (20,4 persen) tersebut tergolong pendek (stunting). Sedangkan empat dari lima lainnya terbilang normal dan tinggi.

Dari jumlah anak tersebut, hanya 18 anak yang mengikuti penelitian lanjutan. Tujuh anak terbilang normal, sedangkan sebelas lainnya mengalami stunting. Asupan gizi mereka diukur. Feses mereka dibawa ke laboratorium untuk diperiksa kemungkinan adanya infeksi dan peradangan pada usus kecil dengan biomarker protein Reg 1B. Syarief menduga penyebab inflamasi berasal dari kontaminasi kuman pada air Sungai Ciliwung yang mereka pakai untuk mandi dan mencuci. Sampel darah mereka juga dibawa ke laboratorium untuk diukur penyerapan nutrisinya dengan metode kadar xilosa. Semua pemeriksaan ini dilakukan dua kali, pada Maret dan November.

Hasil penelitian menunjukkan tak ada perbedaan asupan gizi anak yang mengalami stunting dan anak normal. Baik gizi maupun ukurannya mencukupi. “Kecuali asupan karbohidrat pada anak yang tergolong pendek pada November terhitung kurang,” ujar Syarief.

Untuk infeksi, dari semua anak yang diteliti itu, hanya satu anak normal yang terdeteksi menderita infeksi protozoa. Pada anak lain tak ditemukan infeksi, baik cacing maupun protozoa. Meski belum ditemukan infeksi, ada peradangan pada usus kecil, baik pada anak yang mengalami stunting maupun normal. Kadar Reg 1B, yang menjadi penanda inflamasi, naik pada 13 anak (72,2 persen).

Dari anak yang menderita peradangan usus tersebut, 11 di antaranya (61,1 persen) mengalami perlambatan pertumbuhan. Syarief mengukur pertumbuhan mereka dengan Z-score, yang mengacu pada panjang badan berdasarkan umur. Tiap umur punya rentang pertumbuhan berbeda.


... anak yang menderita peradangan pada usus memiliki risiko penurunan pertumbuhan sampai 22 kali dibanding anak yang tak menderita masalah ini. Mereka juga mengalami masalah pada penyerapan nutrisi


 

 

Untuk umur 0-6 bulan, pertumbuhannya 32 sentimeter per tahun; untuk umur 3-12 bulan, pertumbuhannya 16 sentimeter; dan untuk umur 1-2 tahun, pertumbuhannya 8 sentimeter. Dari perhitungannya, anak yang menderita peradangan pada usus memiliki risiko penurunan pertumbuhan sampai 22 kali dibanding anak yang tak menderita masalah ini. Mereka juga mengalami masalah pada penyerapan nutrisi. Kadar xilosa yang menjadi penanda masalah penyerapan gizi itu dijumpai pada 11 anak tersebut.

Menurut doktor ilmu gizi, Moesijanti Soekatri, studi seperti ini baru dan sebelumnya tak pernah ada di Indonesia. Upaya Kementerian Kesehatan dalam mengatasi stunting pun masih berfokus antara lain pada pemberian air susu ibu eksklusif dan makanan pendamping ASI. “Untuk deteksi dini seperti ini belum ada,” ujar dosen di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II itu.

Guru besar ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rini Sekartini, berharap penelitian itu bisa dilanjutkan dengan subyek lebih banyak serta meneliti pula faktor risiko selain infeksi sehingga bisa mengetahui penyebab peradangan yang mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ini.

Syarief menduga peradangan tersebut diakibatkan oleh mikroflora dalam saluran cerna yang tak seimbang. Penyebabnya antara lain ASI eksklusif yang tak diberikan selama enam bulan dan pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini. “Karena banyak ibu yang bekerja,” katanya.

Guru besar ilmu kesehatan anak, Hegar Badrul Syarif, mengatakan banyak kandungan ASI yang tak tergantikan oleh susu formula ataupun sumber makanan lain. Misalnya secretory immunoglobulin A, yang bisa menghambat pertumbuhan mikrobiota tak baik dalam saluran cerna; oligosakarida, yang ketika difermentasi dalam tubuh akan menjadi makanan bagi bakteri baik; dan immunoglobulin, yang meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak. Zat-zat tersebut akan menjaga keseimbangan mikroflora dalam pencernaan anak sehingga saluran cerna menjadi sehat dan penyerapan nutrisinya bisa maksimal. “Jadi tak ada tawar-menawar lagi untuk memberikan ASI eksklusif,” ujarnya. Pemberian makanan pendamping ASI sebelum anak berumur 6 bulan akan menambah beban pencernaan.

Dari hasil penelitian ini, kata dia, orang tua dan petugas kesehatan juga mesti waspada meski anak terlihat sehat. Dari penelitian Syarief, meski peradangan belum terlihat secara klinis, misalnya menyebabkan diare, ternyata hal itu sudah membuat pertumbuhan melambat.

Untuk mendeteksi perlambatan pertumbuhan pada anak berusia di bawah 2 tahun, Syarief menyarankan mengukur tinggi badan anak minimal tiga bulan sekali. “Jika pertumbuhannya melambat, cek faktor risikonya, misalnya ada infeksi atau gangguan hormon,” ujarnya.

NUR ALFIYAH.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus