Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cerita dari Kolong Rumah

Pemenang Palme d’Or Festival Film Cannes tahun ini yang menyingkirkan film Quentin Tarantino. Penuh daya kejut dan digarap dengan teliti. Nyaris tanpa cela.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cerita dari Kolong Rumah/imdb

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah gubuk yang terletak lebih rendah daripada se--buah jalan di ujung gang sempit, tersebutlah keluarga Ki-Taek (Song Kang-ho), man-tan sopir, yang melarat. Dengan dua anak remaja yang sudah tak mungkin melan-jutkan sekolah, sementara dia dan istri-nya, Choong Sook (Jang Hye-jin), mencoba mencari nafkah harian dengan melipat kemasan pizza, kehidupan mereka luar biasa terbatas.

Film ini dibuka dengan adegan Ki-woo (Choi Woo-shik), putra Ki-Taek, mendongak mencari-cari sinyal Wi-Fi limpahan dari rumah gedongan. Selain menampilkan adegan Ki-woo berhasil me-ngais sinyal gratisan, sutradara Bong Joon-ho sekaligus memperlihatkan kehidupan keluarga Ki-Taek yang setiap hari terpaksa menyaksikan seorang lelaki yang mabuk dan kencing persis di depan jendela gubuk mereka.

Tak mengherankan ketika kawan Ki-woo, Min (Park Seo-joon), menawarkan pe-kerjaan guru les privat bahasa Inggris kepada putri keluarga kaya raya, Mr. Park (Lee Sun-kyun), Ki-woo menyanggupinya. Soal ijazah dan hal-hal formal itu? Jangan kha-watir, bukankah adik Ki-woo, Ki-jung (Park So-dam), jago mendesain? Lambang universitas di atas sertifikat palsu itu pun menjadi “tiket” meluncur ke rumah su-permewah milik keluarga Mr. Park. Tapi, seperti yang dikatakan Nyonya Park yang cantik, semampai, dan sungguh mulus itu, ijazah tidak penting. Yang utama adalah bagaimana menangani kedua anaknya.

Dan, begitu saja, perlahan-lahan semua ang-gota keluarga Ki-Taek menjadi pekerja di dalam rumah itu. Kali ini bukan sekadar ijazah palsu. Nama dan sejarah hidup yang palsu juga meluncur demi kehidupan yang lebih baik dan melekat bersedekap bak parasit.

Cerita dari Kolong Rumah/imdb

Film Parasite tentu saja tak berhenti di situ, karena kata “parasit” sesungguhnya bukan sebuah tafsir yang berlaku sekadar di permukaan cerita. Film ini tak hanya berkisah dengan lucu bagaimana keluarga miskin merasa memperdaya si kaya atau, sebaliknya, si kaya mengeksploitasi si mis-kin. Sebab, dalam setiap babak, ketika kita sudah merasa bersimpati dan terharu, Bong Joon-ho segera menjungkirbalikkan cerita dan memeras-meras emosi. Di bawah kemiskinan, ada kemiskinan lain yang ter-letak berlapis-lapis di bawah kemiskinan yang kita kenal hingga kemanusiaan kita terkikis habis.

Bong Joon-ho mengejutkan sekaligus menyadarkan bahwa tak ada orang yang betul-betul baik atau betul-betul jahat. Kaya dan miskin pada akhirnya adalah atribut belaka, dan siapa saja bisa menjadi parasit bagi yang lain.

Tentu saja ketelitian narasi cerita yang begitu rapi itu dengan segera menying-kirkan film Once Upon a Time in Hollywood karya Quentin Tarantino, yang digadang-gadang bakal menjadi calon pemenang. Apalagi pemutaran film Tarantino dengan bintang-bintang besar semacam Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt itu dilakukan se-belum giliran film karya Bong Joon-ho. Ternyata, begitu film Parasite ditayangkan, mendadak tergeserlah nama anak favorit Hollywood itu. Kritikus dan pelaku indus-tri film seolah-olah tersihir oleh keajaiban sinematik Bong Joon-ho seperti halnya kita semua yang kini menyaksikan tayangan film ini di Indonesia.

Kelebihan lain Bong Joon-ho bukan hanya bercerita dengan humor dan me-nyu-sun kejutan kecil ataupun besar yang terjahit dengan rapi. Semua karakter, dari anak-anak, remaja, hingga para orang tua, dibangun dengan struktur yang ketat dan memiliki tujuan. Dalam berbagai wa-wan-caranya, Bong selalu menekankan bahwa karyanya yang terbaru ini bukan film genre. Apa pun pengakuan sang sutradara, sebetulnya Parasite yang memulai dirinya dengan adegan “sederhana” dan tampak konvensional itu secara perlahan dan pe-nuh perencanaan serta humor gelap ber-kembang menjadi film genre yang lengkap dengan “tipuan”, yang seolah-olah akan menuju ke satu titik kegembiraan dan kebahagiaan, tapi dengan lincah Bong ber-belok pada kegetiran dan luka yang ber-darah-darah.

Di akhir film, sulit untuk tidak terus-me--nerus memikirkan tokoh-tokoh dan kisah yang membawa nasib mereka. Sulit untuk tidak mengagumi betapa jeniusnya Bong—yang juga diganjar sebagai sutradara ter-baik dalam Festival Film Cannes tahun ini—hingga dia berhasil membuat penonton memasuki sebuah dunia “biasa” yang ganjil.

Leila S. Chudori

 


Cerita dari Kolong Rumah/imdb

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus