Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap hari Akun menelan 18 butir pil. Itu belum termasuk obat cair yang harus disuntikkan ke tubuhnya, kecuali Sabtu dan Ahad. Siksaan—minum obat sampai belasan—itu harus dia jalani selama dua tahun. Sedangkan suntikannya selama enam bulan. Tak boleh putus, sekali pun. Obat-obatan ini memiliki efek samping, meski sifatnya sementara. Beberapa saat setelah minum obat, Akun mengaku telinganya tuli, lutut nyeri, dan mata berkunang-kunang.
Yang lebih merepotkan lagi, ini harus dilakukan di rumah sakit. Tak harus menginap, tapi dengan "wajib lapor" setiap hari, ia lebih rajin datang ke sana dibanding pegawai dan dokternya sekalipun. "Saya jadi gini karena dulu bandel dan tidak tertib minum obat tuberkulosis," katanya.
Karena itu, pria berusia 50 tahun itu kini terkena tuberkulosis stadium lanjut. Saat ditemui Tempo, Jumat dua pekan lalu, dia sedang menjalani perawatan di Poliklinik Multidrug Resistant Tuberculosis, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. "Tiap hari saya sampai di sini pukul 09.00 atau 09.30 WIB," kata warga Warakas, Jakarta Utara, ini. "Jam minum obatnya memang harus tertentu, tak boleh seenaknya."
Seperti 200-an pasien tuberkulosis di rumah sakit itu, Akun adalah orang yang kebal terhadap obat antituberkulosis lini pertama seperti rifampisin, etambutol, dan pirazinamid. Tak mempan obat biasa, mereka harus menjalani pengobatan yang melelahkan tadi. Selain di RS Persahabatan, penanganan serupa bisa dilakukan di RS Dr Soetomo (Surabaya), RS Saiful Anwar (Malang), RS Moewardi (Solo), dan RS Labuang Baji (Makassar).
Mengenakan masker penutup mulut warna hijau, kakek satu cucu ini mengaku mengalami batuk berdahak bercampur darah 10 tahun silam. Dari hasil ngobrol dengan temannya, Akun tahu bahwa dia terkena tuberkulosis. Tanpa memeriksakan ke dokter, ia membeli obat di apotek. Sepekan minum obat, batuk berdarahnya hilang. Akun pun berhenti minum obat. Eh, 2-3 bulan kemudian, batuk serupa datang lagi. Obat yang sama kembali dikonsumsi sampai batuknya hilang. Model putus-sambung minum obat ini berulang kali dilakukan Akun. Minum obat tak sampai tuntas inilah yang memicu multidrug resistant tuberculosis (MDR TB).
Masalah tuberkulosis resistan ini dibahas dalam Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Jakarta, 8-11 Februari lalu. Topik ini layak dipelototi karena jumlahnya terus meningkat. Menurut Achmad Hudoyo, dokter spesialis paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, salah satu anggota panitia, penderita MDR TB di Indonesia mencapai 18 persen pada pasien yang pernah diobati sebelumnya (sekunder) dan 2 persen pada kasus baru (primer).
Di Indonesia, total perkiraan insiden alias kasus baru tuberkulosis yang dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam Global Report 2011 adalah 450 ribu kasus per tahun. Sejak 2010, lembaga ini tidak lagi menyebutkan peringkat negara. Namun, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Profesor Tjandra Yoga Aditama, Indonesia masih termasuk urutan ke-10 dari 22 negara dengan beban permasalahan tuberkulosis terbesar. Sebelumnya, Indonesia sempat menduduki peringkat 3-5 penyumbang kasus tuberkulosis di dunia.
Panduan Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia 2010-2014 menyebutkan ada sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahun. Pasien ini bisa menularkan bakteri dengan keganasan yang sama. Sejumlah penelitian menunjukkan, pasien tuberkulosis, yang juga lazim disebut sebagai plak putih (white plague, penanda paru saat di-roentgen), berpotensi menularkan kepada 10-20 orang. Itu sebabnya, jika pengobatan dan penularan tuberkulosis tak dibendung, wabah plak putih bisa menjadi bom waktu.
Mycobacterium tuberculosis sebagai biang penyakit tuberkulosis diungkap pertama kali oleh ilmuwan Jerman, Robert Koch, pada 24 Maret 1882. Untuk menekuk bakteri ini, para ilmuwan terus melakukan sejumlah penelitian. Harapan besar sempat melambung ketika ditemukan vaksin tuberkulosis, yakni BCG (Bacillus Calmette & Guerin) pada 1927. Ditambah lagi, pabrik obat berhasil memproduksi berbagai obat antituberkulosis, seperti rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol.
Namun, faktanya, vaksin dan obat-obatan itu gagal membendung penyebaran tuberkulosis. Saat ini, menurut WHO, hampir 2 miliar dari 6 miliar penduduk dunia terpapar bakteri itu. Setiap detik satu orang terinfeksi tuberkulosis. Penyakit ini menyebar dengan mudah lewat udara dari percikan dahak yang dibatukkan penderita.
Masalah tak berhenti sampai di situ. Kini warga dunia, termasuk Indonesia, dihantui makin banyaknya temuan pasien tuberkulosis yang kebal terhadap obat antituberkulosis lini pertama. Menurut Hudoyo, baik pasien maupun dokter bisa menjadi penyumbang kekebalan ini. Perilaku pasien yang bisa memicu resistansi adalah pengobatan yang tidak teratur atau putus-sambung, seperti dilakukan Akun. Adapun faktor dokter bisa berupa kesalahan diagnosis atau salah pengobatan. "Dalam penanganan tuberkulosis, dokter harus menyembuhkan hingga tuntas," kata dia.
Walhasil, tak sekadar memberi resep obat, dokter harus mengecek jadwal pasien kembali berobat, tahu keadaan sosial-ekonomi pasien, dan lain-lain, sehingga kesalahan pengobatan bisa dihindari. Perhatian seperti itu penting karena, jika pasien sudah mengalami resistansi, semua akan repot. Salah satunya, masa berobat pasien lebih panjang, yakni dua tahun, plus suntikan selama setengah tahun. Bandingkan dengan tuberkulosis biasa yang pengobatannya cuma enam bulan.
Meski minum banyak obat, termasuk obat lini kedua seperti etionamid dan sikloserin, angka kesembuhan MDR TB berkisar 60-70 persen. Selebihnya, pasien tetap positif mengidap tuberkulosis atau meninggal. "Karena itu, please deh, minum obat selama enam bulan sampai sembuh saat mengidap tuberkulosis biasa," kata dokter Erlina Burhan, kolega Hudoyo di RS Persahabatan. "Lebih baik mencegah daripada mengobati MDR TB."
Pengobatan MDR TB sukses bila pengecekan hasil biakan dari dahak pasien selama lima kali berturut-turut selama setahun negatif dari bakteri tuberkulosis. Hasil awal inilah yang kini dialami Lisa, warga Pisangan Lama, Jakarta Timur. Setelah berobat setahun dan saban hari menelan 11 butir obat, tubuh kurusnya kini lebih sehat. Wanita 39 tahun ini bertekad menuntaskan pengobatan hingga setahun lagi. "Tak boleh bosan. Pokoknya saya harus sembuh," katanya.
Jika semua pasien bertekad seperti Lisa, harapan pemerintah untuk terus menekan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis, termasuk MDR TB, bukan mustahil. Apalagi semua pengobatannya gratis.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo