Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bila Setia Tak Lagi Cukup

Perempuan berada pada posisi rapuh dalam rantai penularan HIV/AIDS. Seks dan narkoba menjadi bahan bakarnya.

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Tamil, kita bisa belajar tentang ikhlas dan berani. Perempuan yang berdiam di kota kecil Trichi, India, ini tertular virus HIV dari almarhum suaminya yang hobi gonta-ganti pasangan seks. Tamil tidak menyimpan dendam. Bahkan, melalui situs BBC News, pekan lalu, dia lantang berkata: ?Nama saya Tamil, dan saya mengidap HIV positif.?

Tamil melanjutkan cerita. ?Dulu, sering saya mengingatkan suami agar tidak berganti-ganti pasangan seks, tapi peringatan saya tidak digubris, dan saya hanya bisa diam,? kata Tamil. ?Saya tidak punya siapa pun. Tak ada orang tua, tak ada kerabat pendukung, hanya ada pernikahan.?

Lalu, ketika hamil anak kedua, Tamil bertindak. Dia menjalani tes HIV tanpa setahu suami. Benar. Tes membuktikan bahwa virus perontok kekebalan tubuh (HIV, human immunodeficiency virus) penyebab penyakit karena rontoknya kekebalan tubuh (AIDS, acquired immunodeficiency syndrome) telah berbiak dalam tubuh Tamil. ?Suami saya merasa amat bersalah. Kesehatannya langsung merosot, dia meninggal tak lama setelah bayi kedua kami lahir,? katanya. Bayi Tamil meninggal saat berusia 40 hari. Pada titik inilah, Tamil mengabaikan air mata dan memilih dengan berani mengabarkan pengalaman pahitnya pada dunia.

Benar, Tamil tidak sendirian. Saat ini diperkirakan ada 39,4 juta orang di seluruh dunia yang hidup dengan HIV dan 17,6 juta di antaranya adalah perempuan. Proporsi perempuan dalam peta penyebaran HIV ini dipastikan akan terus melonjak. Hal inilah yang membuat tema Hari AIDS Sedunia?diperingati tiap 1 Desember?kali ini bertema sentral: Perempuan, Remaja Putri, dan AIDS.

Perempuan dan HIV, sebuah pasangan yang sangat tidak nyaman. Secara fisik, tubuh perempuan relatif lebih berisiko terhadap HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Mengapa? Alat genital perempuan terletak sepenuhnya di dalam tubuh sehingga lebih susah dikontrol apakah ada bagian yang luka atau tidak. Padahal, luka inilah yang menjadi pintu masuk virus HIV ke dalam tubuh.

Secara alami, perempuan juga memiliki rahim. Inilah organ tempat ratusan ribu sperma berenang-renang setelah terjadinya penetrasi dalam hubungan seksual. Di sini, rombongan sperma bertahan aktif sampai tiga hari. Jadi, bayangkan apa yang terjadi apabila sperma ini membawa serta bibit penyakit seperti halnya HIV. Kawanan virus ini bakal dengan nyaman menginvasi tubuh tuan rumah melalui sel-sel rahim yang terluka.

Dan, lebih dari sekadar fisik, ada banyak persoalan yang membuat perempuan lebih rentan dalam rantai penularan HIV. Laporan terbaru AIDS Epidemic Update 2004 yang dirilis UNAIDS, lembaga PBB di bidang penanggulangan AIDS, menggambarkan betapa rapuhnya posisi perempuan. ?Bukan hanya karena sikap lalai tetapi juga karena ketidakberdayaan perempuan yang amat sangat,? tulis laporan ini.

Masalah sosial-budaya adalah salah satu faktor penyebab ketidakberdayaan itu. Tindak kekerasan, rendahnya kualitas pendidikan, dan kemiskinan, membuat eksistensi perempuan kerap diabaikan. Di berbagai belahan dunia, perempuan tidak bisa dan tidak boleh mempertanyakan perilaku seksual suami atau pacarnya. Kondom? Lupakan saja. Perempuan juga tidak bisa begitu saja meminta suami mengenakan kondom saat berhubungan seks. Padahal, di pihak lain, para lelaki bebas berganti pasangan dan membeli cinta dari penjaja seks.

Marilah kita pinjam pengalaman Baby Jim Aditya, 42 tahun, aktivis pencegahan HIV/AIDS yang tinggal di Jakarta. Bertahun-tahun Baby menyaksikan perempuan-perempuan yang dilanda frustrasi dahsyat. Putus asa begitu mengetahui dirinya terinfeksi HIV justru dari orang yang begitu mereka cintai, yakni suami sendiri. ?Tentu mereka kaget setengah mati, tidak menyangka akan tertular HIV. Wong, mereka itu ibu rumah tangga baik-baik dan sama sekali tidak berperilaku berisiko tinggi,? kata Baby. Para perempuan ini tidak tahu bahwa di luar pagar rumah, suami atau kekasih mereka adalah langganan PSK atau juga pecandu narkoba dengan jarum suntik.

Setyawati, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu perempuan HIV positif yang didampingi Baby. Perempuan berjilbab ini hanya tahu bahwa mendiang suaminya?telah meninggal setahun silam?adalah lelaki baik budi. Setyawati tak pernah tahu bahwa almarhum suaminya sering berpesta putaw dengan jarum suntik yang dipakai bergantian. Bukan mustahil pula mendiang suami ini berhubungan seks dengan teman-temannya sesama pecandu. Ketika sang suami meninggal, dokter menganjurkan Setyawati menjalani tes. Dan, mimpi buruk itu pun datang, dia mengidap positif HIV. Setyawati hanya bisa menggugat nasibnya, ?Apa salah saya? Bukankah saya istri yang berbakti??

Menjelang Lebaran lalu, Baby berkisah, seorang gadis remaja pembantu rumah tangga berusia 14 tahun terinfeksi HIV. ?Dia ditulari pacarnya yang bekerja sebagai buruh bangunan dan juga pecandu narkoba,? kata Baby. Kini Baby tengah mendampingi si gadis agar dia tidak mengambil keputusan sembrono, misalnya bunuh diri atau terjun ke dunia pelacuran.

Dr. Pandu Riono, peneliti HIV/AIDS dari Family Health International Indonesia, ikut serta membagi pengalaman mengenai ihwal perempuan dan HIV. Beberapa tahun terakhir, Pandu membantu pelaksanaan berbagai survei tentang HIV/AIDS yang digelar Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan. ?Survei ini penting karena database kita amat terbatas. Dengan data minimal, mustahil kita mengetahui seberapa serius penyebaran HIV yang tengah terjadi,? kata Pandu.

Tahun 2002, dari sebuah survei, Pandu mendapatkan data adanya 3 juta lelaki di 10 propinsi di Indonesia yang menjadi pelanggan perempuan pekerja seks komersial (PSK). Hanya sedikit sekali yang mengenakan kondom ketika kontak seks dengan PSK. Harus kita catat, angka ini belum mewakili keadaan sesungguhnya karena survei hanya mencakup orang-orang yang relatif mudah dijangkau, misalnya sopir truk, pekerja bangunan, dan kalangan ekonomi lemah lainnya. ?Kami kesulitan melakukan survei pada pegawai negeri, politisi, orang kantoran, atau pengusaha papan atas,? kata Pandu.

Baiklah, Pak Pandu, mari kita ambil perkiraan paling moderat dengan menggunakan data 3 juta laki-laki Indonesia adalah pelanggan perempuan penjaja seks. Apa yang bisa dikatakan oleh data ini?

Pandu menjelaskan, setidaknya ada 3 juta laki-laki yang berisiko tinggi ter-hadap HIV karena perilaku seksual mereka. Pada saat bersamaan, tiga juta lelaki ini menempatkan jutaan orang lain?istri, pacar, bayi-bayi yang dikandung istri, dan juga pelacur baik perempuan maupun lelaki ?pada risiko terinfeksi HIV pula.

Jumlah orang yang terseret dalam rantai risiko pun kian berlipat-lipat karena sebagian lelaki tidak puas hanya dengan seorang pasangan. Pada 2002-2003, survei lain digelar untuk memotret perilaku seks lelaki dewasa di 10 provinsi di Indonesia. Hasilnya, dari 3.851 responden, terdapat 16 persen responden yang tidak melakukan hubungan seks (abstinen) dan 32,8 persen yang melakukan seks hanya dengan satu partner. Sisanya, 51 persen, aktif berhubungan seks dengan lebih dari seorang perempuan. Bahkan, tercatat ada 18 persen responden yang bercinta secara aktif dengan sembilan pasangan dalam setahun terakhir. Wah!

Rantai risiko penularan HIV masih punya satu lagi bahan bakar berdaya ledak hebat: narkoba suntik. Joan Tanamal, mantan penyanyi cilik itu, mengakui terbiasa menggunakan jarum suntik pada saat mengkonsumsi putaw. Tapi, ?Saya tidak share jarum suntik dengan orang lain. Saya harus menjaga badan dari AIDS,? kata Joan, yang kini sudah insyaf tak lagi menyentuh narkoba.

Sayang, tidak banyak pecandu yang punya kesadaran seperti Joan Tanamal. Negeri ini diperkirakan memiliki 111 ribu pecandu jarum suntik, 88 persen di antaranya menggunakan jarum suntik sembari reriungan alias keroyokan. Satu jarum suntik, masya Allah, bisa mampir menusuk lengan 20 sampai 100 orang pecandu.

Ingin bukti yang bikin merinding? Silakan sesekali mampir ke Kampung Bali, Jakarta Pusat, yang penghuninya sebagian besar adalah pecandu narkoba. Di sini, jarum suntik cukup diselipkan di tiang kayu gardu jaga. Setiap saat, pagi-siang-malam, mereka yang ingin terbang bersama putaw bisa menggunakan jarum suntik ini. Tak ada tindakan sterilisasi dengan alkohol atau cairan pemutih (bleaching). Cukup diusap air, lalu jusss..., jarum laknat pun menghunjam lengan dan menghantarkan cairan putaw ke peredaran darah pecandu. Bukan mustahil, koloni virus HIV dan virus hepatitis C turut menumpang dalam perjalanan ini.

Seolah belum cukup dahsyat, bahan bakar jarum suntik narkoba ini masih pula diperparah dengan perilaku berisiko ganda. Survei Departemen Kesehatan, tahun 2003, memastikan bahwa pecandu narkoba, 80 persen pecandu narkoba suntik, rajin membeli seks dari pekerja seks. ?Lagi-lagi, lebih sering tanpa kondom,? kata Pandu.

Nah, komplet sudah. Indonesia me-miliki rantai penularan yang lengkap: seks, perilaku yang abai, dan pecandu narkoba jarum suntik yang sembrono. Saat ini diperkirakan 90-130 ribu orang yang mengidap HIV di Indonesia?sebuah dinamit yang sangat potensial meledak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyatakan Indonesia, bersama Nepal, Cina, dan Vietnam, sebagai negara dengan pertumbuhan kasus HIV/AIDS tercepat di dunia. Bukan mustahil, jutaan kasus HIV positif bakal muncul di wilayah yang padat populasi ini beberapa tahun mendatang.

Lalu, tak adakah yang bisa kita perbuat demi meredam laju HIV? ?Tentu saja ada,? kata Prof. dr. Zubairi Djoerban, Ketua Harian Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) HIV/AIDS Universitas Indonesia. ?Peredaran putaw dan heroin harus segera dipotong dengan serius,? kata Zubairi. Dengan peredaran narkoba yang begitu dahsyat, diperkirakan Rp 200 miliar sehari, langkah ini mutlak menuntut kerja keras yang melibatkan semua pihak: kepolisian, kejaksaan, dan berbagai lapisan masyarakat.

Program mereduksi bahaya (harm reduction), Zubairi menambahkan, juga tak bisa dilupakan. Langkah yang satu ini difokuskan pada pembagian jarum suntik steril pada titik-titik yang dianggap rawan. Bangladesh termasuk negara berkembang yang menerapkan program harm reduction ini dan sukses mengerem laju penyebaran HIV secara signifikan. ?Kita memang sudah melakukan program ini tetapi masih teramat sedikit,? kata Zubairi, yang setiap bulannya rata-rata menangani 100 pasien HIV baru.

Zubairi menambahkan, penyediaan jarum suntik steril sejauh ini baru dilakukan di Kampung Bali, Otista, dan Depok. ?Mestinya program ini dilakukan secara massal,? katanya. Sayang, perbedaan pendapat di berbagai kalangan masih menghambat mulusnya program harm reduction. Tak sedikit pihak yang berpendapat bahwa penyediaan jarum suntik steril justru menjadi alasan pembenar atas tindakan mencandu narkoba.

Langkah lain yang juga harus digeber adalah merangkul remaja. Selama ini, pendekatan kaku para pendidik dan orang tua justru membuat para remaja mencari jalan keluar. Remaja pun terdorong pergi ke jalanan, terlibat narkoba, kejeblos seks bebas, dan akhirnya menuai HIV.

Beberapa organisasi sudah mulai melirik remaja sebagai target rangkulan program. Yayasan Permata Hati Kita (Yakita) dan Jakarta Sentral Rotary Club, misalnya, menjalin kerja sama dengan berbagai sekolah di Jabotabek.

Seperti dilaporkan Philippa Davie dari Tempo, di sekolah-sekolah ini pendidikan seks, penyuluhan tentang bahaya narkoba, serta ancaman AIDS bukan cuma menjadi menu diskusi sekali setahun. ?Kami menyatukannya dalam kurikulum. Guru dari berbagai bidang bisa mengangkat subyek ini dalam pelajaran sehari-hari,? kata Ellie Ruslim, Kepala Konselor di SMU Bina Nusantara, salah satu sekolah yang bergandeng tangan dengan Yakita dan Rotary Club. Agar lebih seru dan funky, murid-murid diminta membuat pertunjukan drama, esai, dan poster mengenai HIV.

Tentu saja, bersandar pada aktivitas sekolah saja masih jauh dari cukup. ?Para orang tua sebaiknya membina komunikasi yang bersahabat dengan anak-anak,? kata Baby Jim Aditya. Komunikasi yang bukan cuma meliputi percakapan normatif semisal ?apa kabar?? atau ?apa cita-citamu, nak??. Jangan ragu pula, Baby menekankan, memasuki wilayah percakapan di seputar seksualitas.

?Anak-anak sebenarnya berharap punya orang tua yang terbuka, yang enak diajak ngobrol tentang kondom, keperawanan, juga tentang putaw,? kata Baby. Jika wilayah ini dijauhkan dari obrolan ruang keluarga, anak-anak akan mencari informasi dari dunia luar, dari teman, vcd, atau majalah porno yang justru beresiko.

Mudah-mudahan, Baby melanjutkan, peran aktif guru dan orang tua bisa menumbuhkan generasi yang kuat. Generasi yang paham bagaimana membentengi diri dari ancaman HIV/AIDS. ?Terutama para perempuannya,? katanya. Sebab, sekali lagi Baby mengingatkan, perempuan dengan segala kerapuhannya adalah simpul penting dalam penyebaran virus HIV.

Mardiyah Chamim, Poernomo G. Ridho, Agricelli


Rantai Sederhana Penularan HIV

Kontak seksual pelanggan dan Penjaja Seks yang sudah terkena HIV

  • Pelanggan menulari istri bahkan bayi yang dalam kandungan
  • Penjaja Seks melakukan kontak seksual dengan pelanggan lain
  • Si pelanggan kontak seksual dengan perempuan lain
  • Si perempuan kontak seksual atau nyuntik secara ?reriungan? bersama pecandu narkoba
  • Pecandu narkoba menularkan HIV terhadap pengguna suntikan lainnya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus