Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Busung Lapar Mengancam Anak Kita

Lebih dari 10.000 anak balita kekurangan kalori tingkat berat. Pasien busung lapar kini tergeletak di beberapa rumah sakit.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Ujungpandang, tergeletak bayi perempuan berusia enam bulan. Kulitnya keriput seperti kulit nenek-nenek. Kepalanya membesar, tak sebanding dengan tubuh kurusnya yang hanya berbobot 2,6 kilogram. Perutnya buncit, berlomba dengan ukuran kepalanya. Dengan tubuh yang miskin daging, bayi yang bernama Rahma ini tak pernah mendapatkan air susu ibu. Jadinya, ia hanya tergolek lemas.

Rampe, sang ibu yang masih belia, 19 tahun, mengakui tak sanggup meneteskan air susu bagi putrinya. Ia sendiri menderita kurang gizi. Suaminya tak tinggal bersamanya lagi di Desa Moncongloe, 20 kilometer utara Ujungpandang. Suami Rampe kehilangan pekerjaannya sebagai buruh. ‘’Ia tidak sanggup kasih makan anaknya lagi,’’ kata wanita berwajah tirus ini terbata-bata. Rampe tidak tahu di mana suaminya berada. Selama ini, anaknya hanya diberi air tajin--itu pun kalau ia punya uang untuk membeli beras.

Adalah sekelompok mahasiswa Akademi Ilmu Gizi Ujungpandang yang menemukan dan membawa Rahmah ke rumah sakit. Ketika ditemui, ibu dan anak ini menderita demam. Setelah diperiksa, menurut Wakil Direktur RS Wahidin, Nurdin Perdana, Rahmah menderita marasmic kwasiorkor, kekurangan gizi buruk tahap lanjutan.

Krisis ekonomi dan bahaya kelaparan mengancam masyarakat kelas bawah. Pekan lalu, Rahmah mendapat teman baru, Muhammad Ridwan, yang masuk RS Wahidin karena juga menderita honger oedema alias busung lapar. Penderitaan bocah lelaki 1,5 tahun itu dimulai ketika orang tuanya tak mampu lagi membelikan susu sejak sembilan bulan silam.

Bukan cuma di Ujungpandang bayi-bayi kurang gizi tergeletak. Di RS Dr. Soetomo Surabaya, kini malah ada 63 anak yang juga harus dirawat karena kekurangan gizi yang buruk. Agustus lalu bahkan ada seorang pasien penderita kwasiorkor yang nyawanya tak bisa tertolong lagi.

Menurut Kepala Bagian Perawatan Anak RS Dr. Soetomo, Soegeng Soegijanto, kwasiorkor adalah penyakit gizi buruk yang tingkatnya paling berat. Dua tingkat di bawahnya adalah marasmic dan marasmic kwasiorkor. Pasien kwasiorkor sangat mudah meninggal karena tubuhnya terlalu banyak mengandung air yang bisa sampai ke bagian vital seperti jantung dan hati. ‘’Karena kedinginan saja pasien bisa meninggal,’’ katanya.

Ciri-ciri penderita kwasiorkor berbeda dengan marasmic. Pasien marasmic bertubuh kurus-kering, sedangkan pasien kwasiorkor tampak gemuk tapi tak rata. Bagian-bagian yang membengkak itu hanya tampak pada bagian kaki dan perut. Bedanya dengan gemuk normal, bagian yang gemuk pada kwasiorkor ini bila ditekan tak mudah kembali. Maklum, isinya bukan daging melainkan air.

Soegeng khawatir, korban akan berjatuhan lagi karena kondisi ekonomi belum juga membaik. Dari 63 pasien yang kini ditanganinya, 43 persen di antara ibu-ibunya tak mampu lagi memenuhi kebutuhan makanan kepada anaknya. Menurut penelitian yang dilakukan stafnya, hanya 17 persen yang diperkirakan masih mampu memberikan makanan dengan benar.

Pasien penderita kwasiorkor atau marasmic yang kini ada ibarat puncak gunung es yang menyembul dari dasar laut. ‘’Kalau disebut sebagai gunung es, itu memang betul. Data kami menunjukkan 5,1 persen balita di Indonesia dikategorikan menderita kekurangan energi kalori tingkat berat. Mereka tesebar di seluruh desa,’’ kata Kepala Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan, Dini Latief, kepada Dwi Wiyana dari TEMPO.

Jumlah balita di Indonesia sekarang ini sekitar dua juta jiwa. Artinya, sekitar 100 ribu yang terserang kekurangan gizi. Menyedihkan, memang.

Gabriel Sugrahetty, Jalil Hakim (Surabaya) dan Tomi Lebang (Ujungpandang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus