SEORANG tokoh perkaretan Indonesia menyatakan keprihatinannya. Menurut dia, petani karet adalah yang paling menderita dibandingkan petani-petani lainnya, sejak zaman kemerdekaan ini, katanya, antara lain disebabkan, kecuali beberapa tahun pada saat Perang Korea, harga karet alam selalu mengalami kecenderungan menurun. Salah satu penyebab utama kecenderungan ini adalah ditemukannya karet sintetis. Sejak penemuan itu, industri-industri yang menggunakan bahan baku karet cenderung memilih karet smtetis. Dan meninggalkan karet alam. Bagi negara-negara produsen utama karet alam, penurunan harga karet alam yang berjalan terus sejak 1980 telah menurunkan peranan karet dari komoditi ekspor utama menjadi nomor dua atau nomor tiga. Di Malaysia, yang kini menjadi produsen dan eksportir karet nomor 1 di dunia, kecenderungan tersebut telah mendorong mereka mengganti sebagian tanaman karet dengan kelapa sawit. Dan, tanaman dan ekspor kelapa sawit menjadi nomor 1, sedangkan karet menjadi nomor 2. Dalam seminar karet di Palembang, baru-baru ini, seorang peneliti meramalkan bahwa prospek harga karet tidak akan baik sampai tahun 2000. Tetapi, pada saat saya menyatakan ini dalam satu ceramah di daerah produsen karet rakyat di satu universitas di Kalimantan, seorang putra daerah menolak "pesimisme" tersebut. "Tidak betul bahwa petani karet ini semakin parah. Buktinya, petani karet semakin banyak saja yang naik haji," katanya dengan yakin. Wah, kalau soal kenaikan jumlah penunai ibadat haji dari Indonesia, agaknya, sulit dikaitkan dengan harga karet. Di Provinsi DI Yogyakarta yang tidak menghasilkan karet pun jumlah penunai ibadat haji tahun ini naik lebih dari 50% dari tahun sebelumnya. Dan, memang, secara nasional ternyata resesi ekonomi Indonesia bahkan "meningkatkan" jumlah haji. Mengapa begitu? Tampaknya, tiada teori ekonomi yang cukup mampu menjelaskan gejala ini. Lalu, apa yang bisa kita lakukan pada prospek karet alam yang tidak begitu cerah? Ternyata, masih cukup banyak "orang karet" yang tidak menyadari bahwa untuk kesekian kalinya terbukti petani karet "lebih pandai" dan lebih cekatan ketimbang "ilmuwan" karet. Mereka banyak yang tidak percaya bahwa di daerah-daerah produsen karet utama di Indonesia, seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, karet tidak lagi merupakan komoditi primer, tetapi sudah menjadi komoditi sekunder. Artinya, peranan komoditi karet dalam pendapatan total keluarga ternyata telah merosot menjadi di bawah 50%. Dan, tanaman-tanaman seperti lada, nanas, kacang-kacangan, serta ternak bersama-sama telah melampaui 50%. Ini berarti bahwa waktu yang dicurahkan petani pada karet cenderung semakin sedikit, dan semakin banyak pada tanaman nonkaret. Maka, bisa disimpulkan, pada dasarnya petani adalah "ekonom" yang lebih baik daripada pemerintah. Pada saat pemerintah pusing memikirkan bagaimana meningkatkan penerimaan devisa nonmigas (dan melepaskan ketergantungan pada migas), maka petani lebih cepat dan tanggap untuk mengadakan diversifikasi. Bagi Indonesia, yang 70% ekspor karetnya dari perkebunan rakyat, masalahnya tidak pada bagaimana prospek komoditi karet, tetapi bagaimana prospek petani karet. Apakah mereka akan semakin sulit posisinya atau semakin menurun pendapatannya akibat terus menurunnya harga karet di pasar dunia? Apabila petani karet kita tetap merupakan petani monokultur, yang pendapatannya semata-mata dari penjualan lateks, maka sudah jelas bahwa terus merosotnya harga karet alam (seperti juga harga minyak kelapa sawit, teh, gula, dan lain-lain) akan membuat hidup mereka semakin susah. Dan, inilah yang paling dikhawatirkan, petani tidak meninggalkan karet mereka, tetapi menyadap karetnya dengan lebih gencar. Pohon karet tidak lagi disadap dua hari atau empat hari sekali, tetapi disadap setiap hari. Dan, akibat "perkosaan" pohon karet ini pastilah rusaknya pohon karet dan umur sadapnya menjadi amat pendek. Selain itu, penyakit lama muncul: Petani berbuat aneh-aneh, misalnya mencampuri getahnya dengan tanah atau campuran lain agar lateks yang dijualnya bertambah berat. Apabila kita hanya melihat karet sebagai komoditi saja, maka kita, sebagai negara produsen bahan mentah, dalam kedudukan yang semakin terjepit. Memang tampaknya tidak adil apabila harga barang-barang industri negara maju, seperti kendaraan bermotor (yang sebagian menggunakan bahan karet alam), selalu naik. Tetapi harga riil karet alam yang diproduksi negara berkembang selalu turun secara konsisten. Dan, inilah fakta pahit yang harus kita catat: terputusnya kaitan industri manufaktur negara maju dengan industri bahan-bahan negara berkembang. Negara-negara berkembang dengan pertaniannya menjadi semakin bergantung pada semacam "belas kasihan" negara-negara maju dalam perbaikan dasar tukar (term of trade) ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh GATT dan Kelompok 77 untuk mendobrak belenggu baru ini. Sedemikian jauh tidak terlihat tanda-tanda yang memberi harapan baik. Maka, sangat penting ditemukan cara-cara yang paling tepat untuk membantu mengarahkan petani agar kesejahteraan mereka tidak semakin merosot. Meskipun meningkatkan mutu karet rakyat dan meningkatkan produktivitas kebun-kebun karet rakyat amat perlu, dan sudah dilakukan, toh sasaran kebijaksanaan haruslah lebih pada petani karet. Pada manusianya, bukan semata-mata pada komoditinya. Hari depan komoditi karet memang tidak cerah. Bisakah hari depan petani karet dibuat lebih cerah, seperti cerahnya hari depan petani komoditi lainnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini