Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Insan di belakang film pesanan

Arizal, 43, sutradara yang sejak 1974 hingga kini menghasilkan 35 film. dikenal sebagai wartawan, perancang jaket kuning ui, pemain sulap, pembuat komik, figuran hollywood dan pencipta lagu. (fl)

6 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tahun 1970, Almarhum Usmar Ismail tertarik pada sebuah komik yang dibuat seorang wartawan muda. "Pembuat komik ini punya bakat bikin film," kata Almarhum. Maka, wartawan muda itu pun ditawari jadi sutradara. Usmar keburu meninggal -- dan Arizal, sekarang 43, akhirnya memulai kariernya sebagai pembuat film di bawah bimbingan Turino Djunaidi. Tetapi, menurut kisahnya sendiri, bukan dengan Turino untuk pertama kalinya Arizal berkenalan dengan dunia film. "Di tahun 1968 saya sudah jadi figuran di Hollywood dan bermain bersama Burt Reynold," katanya. Konon, waktu itu dibutuhkan pemain Melayu untuk sebuah film fiktif -- dengan syarat tinggi 155 senti, hidung tidak pesek, badan atletis. Untuk peran itu ia tinggal di Amerika sekitar lima bulan. Sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi UI, lepas dari Hollywood itu ia mencoba melanjutkan sekolahnya dengan biaya sendiri. Untuk itu Arizal menjadi wartawan, mencipta lagu pop, mendesain pakaian ("sayalah yang mendesain jaket kuning UI"), bermain sulap, dan menggambar komik. Nah, kebolehan terakhir itulah yang membuka jalan baginya ke dunia film. Dan gurunya yang pertama, Turino, mengajarkan: bikin film semurah dan secepat mungkin. Maka, jadilah ia sutradara terlaris, termahal, tersibuk -- sutradara Indonesia yang terbanyak membuat film dalam dua dasawarsa terakhir ini. Sejak mulai menyutradarai pada 1974, hingga kini ia menghasilkan 35 film. Rahasianya? "Saya tidak tega melihat produser rugi karena saya." Para produser senang karena, "Arizal kerja cepat dan hemat." Dan hasilnya? "Kecuali beberapa, hampir semua film saya box office." Film laris belum tentu film bagus, tentu saja. Ini Arizal tahu. Ia belum pernah mendapat Citra -- tapi tidak kecil hati. "Film Citra dibicarakan hanya di hari-hari festival. Film saya menjadi buah bibir orang banyak," katanya sambil senyum. Film Arizal, terutama yang dibintangi kelompok Warung Kopi Prambors, memang paling laris. Karena pelawaknya atau karena penanganan sang sutradara? "Kalau orang lain yang menyutradarai Prambors, hasilnya tidak selaris yang saya bikin," jawab Arizal. Kurangnya penghargaan kepada sutradara yang satu ini, di mata para pengamat film, juga disebabkan oleh cerita-cerita yang digarapnya yang pada umumnya jiplakan. Tapi, kata Arizal, "Kalau tiruan kita lebih baik tentu lebih bagus." Lagi pula, menurut dia lebih dari 90% cerita yang difilmkan di Indonesia sebenarnya hasil jiplakan. "Dijiplak utuh juga tidak -- sebab kita sesuaikan dengan kondisi Indonesia, dan kita tambahi dengan pengalaman-pengalaman kita di sini." Tapi, mengapa harus jiplakan ? "Wah, sulit cari cerita di Indonesia. Kalau ada novel bagus, itu sudah jadi rebutan produser." Karena itu, ditiru sajalah film asing. Dan dengan majunya teknologi video, tidak sulit mendapat film asing -- termasuk serial televisi yang belum beredar di sini, sehingga diharap tidak mudah diketahui penonton. Film Arizal yang sedang beredar di Jakarta adalah contoh yang menarik. Pengantin Baru, judul komedi itu, dibintangi Deddy Mizwar dan Lidya Kandou. Lancar, lucu, dan dikerjakan dengan terampil, barang yang lagi laris ini sebenarnya tiruan kreatif dari sebuah episode serial televisi Amerika yang berjudul Three Crowns. Mengapa tidak disebutkan saja bahwa itu saduran film asing? "Kalau disebutkan, filmnya malah bisa tidak laku," kata Ram Punjabi, sang produser. Aneh juga -- toh penonton yang menjadi target film-film Arizal, sebagai yang diakuinya sendiri, adalah kelas menengah-bawah. Benarkah mereka mempersoalkan sumber cerita, jika filmnya selucu dan selancar Pengantin Baru ? Pertanyaan terakhir: sebagai sutradara yang dikejar-kejar produser, tidakkah Anda berada dalam posisi kuat untuk membuat film lebih baik dari yang Anda buat sekarang? "Saya tahu, saya ini sudah dicap sutradara pesanan. Ya, saya ingin mengubah citra itu. Saya ingin juga mendapat Piala Citra." Kurang dijelaskan, apa bentuk ikhtiarnya untuk itu -- tapi tentu tidak terlalu mudah. Soalnya, modal utama Arizal di mata para produser adalah sikapnya yang penuh kompromi itu. Untuk bikin film yang lebih baik lazimnya dibutuhkan waktu yang lebih panjang, biaya yang lebih besar, dan sikap yang kadang kurang serasi dengan produser. Bisakah mereka menerima? Setelah membuat sekian film dalam 12 tahun, sutradara jebolan Fakultas Ekonomi UI ini sudah menjadi satu dari hanya beberapa sutradara paling terampil di Indonesia. Adalah keterampilan yang menyebabkan Arizal bisa membuat film dalam waktu cepat dan dengan biaya murah. Jika kemungkinan perubahan yang jadi masalah, bisakah Arizal melihat film lebih dari sekadar hasil keterampilan? Jika bisa, dan berhasil, maka paling sedikit akan ada dua sutradara Indonesia yang terkemuka dalam waktu dekat, Arizal dan Teguh Karya. Yang terakhir memulai langkahnya dengan memperlakukan film sebagai media ekspresi, yang pertama melihat film sebagai barang dagangan. Untuk sampai di Roma, kata orang, memang ada banyak jalan, bukan ? Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus