Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cara Mudah Deteksi Lumpuh Otak

Lumpuh otak tak harus dideteksi lewat peralatan canggih. Beberapa kelainan bisa dijadikan sebagai penanda awal yang harus dicurigai.

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di depan cermin besar yang ada di ruangan fisioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ia meneguhkan aksi mogoknya. Bocah empat tahun itu hanya berdiri, meski terapis berulang kali memintanya berjalan mundur.

Sekitar 10 menit tak jua berhasil membujuk si anak, akhirnya terapis menggunakan senjata pamungkasnya. Pasien cilik itu dipegang kedua tangannya, lalu dalam posisi berhadapan, ia didorong pelan-pelan sehingga mau berjalan mundur. "Kayaknya anakku sudah capek dan mengantuk. Bila di rumah, ini waktunya tidur," kata ayahnya kepada Tempo, Kamis siang dua pekan lalu.

Anak itu tidak hanya capek. Sebagai penderita palsi serebral atau lumpuh otak, dia memiliki kesulitan dalam menggerakkan sejumlah bagian tubuh. Palsi serebral (palsi: lumpuh; serebral: berhubungan dengan otak) adalah problem fungsi motorik, postur dan gerak akibat gangguan perkembangan otak. Anak pengidap lumpuh otak bisa mengalami komplikasi karena problem motorik, antara lain skoliosis (tulang belakang bengkok), tidak bisa mengontrol kencing dan buang air besar, kurang gizi, serta gangguan pertumbuhan.

Secara internasional, angka kejadian palsi serebral diperkirakan 1,2 sampai 2,5 anak per 1.000 kelahiran hidup. Angka secara nasional di Indonesia belum ada. Kelainan ini adalah penyebab gangguan perkembangan ketiga terbanyak setelah autisme dan keterbelakangan mental.

Ada banyak faktor penyebab palsi serebral. Faktor utamanya prematuritas (masa kehamilan di bawah 32 minggu) lahir dengan berat badan di bawah 1.500 gram. Namun anak berumur empat tahun yang enggan berjalan mundur tadi tidak lahir prematur. Berat badannya pun normal. Dokter menduga kelumpuhan otaknya berhubungan dengan pre-eklamsia. Saat dia dikandung, tekanan darah ibunya tinggi, sehingga pasokan oksigen ke janin berkurang.

Sulung dari dua bersaudara ini, menurut ayahnya, telat mendapatkan deteksi lumpuh otak. Meski saban bulan kontrol dan terlihat ada kelainan, dokter tak menaruh curiga apa-apa. Kelainan itu, misalnya, kedua tangan si bayi masih mengepal pada usia 4 bulan, dari seharusnya sudah bisa membuka tutup telapak tangannya. Selain itu, dia belum mampu merangkak, apalagi berdiri, saat usianya hampir setahun. Setelah pindah dokter, ketika anak itu berumur setahun, barulah gangguan lumpuh otak diketahui. Namun sudah terlambat.

Keterlambatan diagnosis palsi serebral itu menyebabkannya telat mendapat terapi. "Keterlambatan diagnosis kerap terjadi karena ada anggapan bahwa keterlambatan perkembangan motorik anak hal biasa," kata Setyo Handryastuti, dokter spesialis anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM.

Saat ini telah ditemukan alat deteksi dini palsi serebral. Misalnya, elektroensefalografi (EEG, merekam gelombang elektrik sel saraf di otak) atau magnetic resonance imaging (MRI) kepala pada usia 2-8 hari. Namun deteksi dengan alat canggih itu tak gampang diterapkan. Sebab, tak semua pelayanan perinatologi punya fasilitas ini. Kalaupun ada, tak semua pasien mampu membayar jasa pemindaiannya.

Handryastuti memiliki solusi yang lebih murah dan mudah. Ia menuangkan itu dalam disertasi yang telah dipertahankan di hadapan dewan penguji di FKUI Salemba, Jakarta, akhir April lalu.

Salah satu caranya, pemeriksaan refleks primitif alias refleks bayi baru lahir. Misalnya fisting (mengepal: bayi di atas 4 bulan tak melulu mengepalkan tangan); refleks palmar (menggenggam saat sebuah benda diletakkan di telapak tangan); dan respons tarikan (bayi yang telentang, ketika kedua tangannya ditarik untuk duduk, akan membengkokkan lengan dan berusaha menarik tubuh ke posisi duduk).

Handryastuti melibatkan 150 bayi di RSCM yang berisiko tinggi terkena lumpuh otak. Dari jumlah itu, 120 subyek adalah bayi prematur dan 30 subyek dengan berat badan lahir rendah. Mereka dipantau hingga usia 12 bulan. Setelah 6 bulan, terdapat 39 bayi (26 persen) yang mengalami lumpuh otak, sisanya normal. Adapun pemantauan pada usia 12 bulan, sebanyak 36 bayi (24 persen) mengalami lumpuh otak.

"Penelitian membuktikan pemeriksaan refleks palmar, respons tarikan, dan fisting saat usia 4 bulan dapat dipakai untuk deteksi dini lumpuh otak pada usia 6 bulan," kata Handryastuti. Artinya, jika ditemukan pada usia tersebut, kelainan itu sangat spesifik mengarah ke palsi serebral.

Kelumpuhan otak tidak bisa disembuhkan. Tapi, jika ditangani sejak dini, perbaikan terhadap kerusakan akibat kelumpuhan itu bisa dioptimalkan. Luh Karunia Wahyuni, spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi FKUI-RSCM, menyatakan bahwa kalangan medis sangat percaya dengan plastisitas atau kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk interkoneksi baru pada saraf. Walhasil, jika ada bagian kontrol motorik di otak yang terganggu, bagian lain yang masih normal akan mencari jalur lain.

Sel otak yang normal akan menutupi sel yang rusak sehingga fungsi otak bisa lebih optimal. Hal itu bisa dirangsang dengan latihan atau stimulasi. Ada yang menyebutnya sebagai compensatory dendrite sprouting, yakni rangsangan agar dendrit alias serabut saraf pendek yang bercabang-cabang di otak tersebar dengan berimbang. Setidaknya, sebelum bayi berumur 8 bulan, serabut saraf pendek di otak masih bisa dirangsang, dan hasilnya akan lebih optimal. Di sinilah deteksi dini menjadi sangat penting.

Stimulasi ada beragam. Misalnya, diajari agar bisa memegang sesuatu, berdiri, berjalan, dan sebagainya. Karena itu, di ruang fisioterapi, sejumlah alat pendukung disediakan, seperti bangku kecil untuk melatih otot kaki agar bisa berdiri tegak, dan kotak-kotak busa untuk berlatih mengangkat.

Dwi Wiyana

Curiga Kalau Terlambat

Keterlambatan diagnosis lumpuh otak kerap terjadi karena ada anggapan bahwa keterlambatan perkembangan motorik anak adalah hal biasa. Tangan masih mengepal saat usianya empat bulan, belum bisa merangkak pada usia sembilan bulan, atau belum berdiri sendiri saat berusia setahun, dianggap cuma terlambat. Menurut Setyo Handryastuti, anggapan itu salah. "Sudah saatnya anggapan itu dibongkar," kata dokter spesialis anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM ini.

2 bulan
Mengangkat dan mempertahankan kepala dalam posisi 45 derajat selama 20 detik dalam keadaan tengkurap (garis menunjuk ke leher)

3 bulan
Telapak tangan terbuka (garis menunjuk ke telapak tangan)

4 bulan
Mengangkat kepala dan dada dalam posisi 90 derajat, telentang dari posisi tengkurap (garis menunjuk

5 bulan
Duduk dari posisi telentang dengan bantuan, tengkurap dari posisi telentang

6 bulan
Duduk dengan bantuan

7 bulan
Duduk (dengan bantuan) selama 20-30 detik

8 bulan
Duduk (dengan bantuan) selama 3-5 menit

9 bulan
Merangkak, duduk sendiri.

10 bulan
Berdiri dari posisi duduk dengan berpegangan, misalnya pada mebel

12 bulan
Berdiri sendiri, berjalan dengan berpegangan pada satu tangan

15 bulan
Berjalan sendiri

18 bulan
Naik tangga dengan berpegangan pada satu tangan

24 bulan
Melompat, naik tangga tanpa bantuan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus