Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aroma aneh kerap datang dari pengadilan kita. Kali ini sumbernya adalah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam perkara yang melibatkan PT Chevron Pacific Indonesia. Majelis hakim memvonis bersalah Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompu, dua kontraktor rekanan Chevron.
Ricksy dan Herland diputus lima dan enam tahun penjara. Mereka diwajibkan mengembalikan kerugian negara total US$ 9,98 juta, nilai proyek bioremediasi bekas lahan tambang PT Chevron di Riau. Bila dalam tempo satu bulan mereka tak sanggup mengembalikan uang, perusahaan keduanya harus dilelang.
Putusan ini mengundang reaksi. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha dan Gas Bumi (SK Migas) menilai putusan ini bisa mengganggu iklim investasi. Kepastian hukum, yang memang sudah rapuh di berbagai lini, berisiko kian terguncang.
Kerisauan itu beralasan. Ketidaksesuaian hasil kerja dengan kontrak semestinya bisa diselesaikan secara perdata. Apalagi, ketika kasus ini diendus jaksa pada 2011, SSK Migas telah membekukan akun proyek. Kerugian negara pun bisa dicegah.
Entah mengapa, dengan beraneka kejanggalan, kriminalisasi kasus oleh jaksa berjalan mulus. Sampai akhirnya majelis yang dipimpin hakim Sudharmawati menjatuhkan vonis bersalah kepada tersangka. Majelis juga tidak menimbang adanya ketidakmufakatan, dissenting opinion, dari hakim Sofialdi.
Argumen Sofialdi cukup kuat. Pertama, kesaksian yang dijadikan pertimbangan putusan hakim berasal dari Edison Effendi, saksi ahli yang juga pesaing Ricksy dan Herland dalam tender proyek bioremediasi. Sebagai pihak yang kalah tender, netralitas Edison patut diragukan.
Kedua, pengambilan bukti tanah yang diuji di laboratorium tidak disertai tim independen. Boleh jadi, tanah yang diambil memang bukan dari area yang sudah diolah dan ditebar bakteri penggembur tanah. Anehnya lagi, pengambilan sampel tanah juga selalu disertai Edison Effendi.
Kejanggalan lain, kenapa jaksa membidik kontraktor. Padahal konsep, tata cara, dan supervisi pengolahan tanah sepenuhnya adalah formula Chevron. Kontraktor adalah tukang. Kasak-kusuk di balik panggung persidangan menyebutkan kasus ini sekadar umpan untuk memancing ikan yang lebih besar: Chevron.
Benar, tak sedikit pengusaha tambang mengabaikan peraturan. Lahan bekas galian yang compang-camping ditinggalkan begitu saja. Lapisan tanah bagian atas tergerus tandas. Tanah dan batu jadi pekat karena minyak dan bahan kimia beracun.
Menghijaukan lahan yang babak-belur akibat galian tambang dapat dikatakan mustahil. Tanah yang sudah mati itu harus dihidupkan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Buangan Berbahaya, perusahaan tambang wajib memulihkan lahan atau remediasi.
Bioremediasi, dengan bakteri penggembur tanah, adalah cara yang dianggap efektif memulihkan tanah. Perusahaan milik Ricksy dan Herland pun sudah sering menggarap proyek pemulihan lahan ini di berbagai area bekas tambang.
Langkah kejaksaan memelototi pelaksanaan remediasi di pertambangan patut dipuji, agar perusahaan tambang tak main-main dan cuma meninggalkan lahan bopeng. Tapi langkah kejaksaan harus kredibel. Proses pengambilan sampel tanah, persidangan, wajib digelar secara fair.
Komisi Yudisial harus menggelar eksaminasi putusan yang penuh kejanggalan ini. Sebab, paling tidak ada dua hal besar yang jadi taruhan. Pertama, iklim investasi yang menuntut kepastian hukum. Kedua, seperti halnya bermain bakteri bisa membikin sakit, keberlangsungan program bioremediasi bisa terancam dengan kriminalisasi janggal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo