Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Traveler Andi Sugianto berada di tengah aksi penembakan kelompok tak dikenal di Teheran, Iran.
Agustinus Wibowo berlatih bahasa lokal dan selalu berada di dekat warga lokal saat mengunjungi wilayah berbahaya.
Backpacker Ikhwan Musafir mengalami luka sembilan jahitan pada kening karena terkena peluru dalam perjalanan di Amerika Serikat.
BELASAN orang berpakaian serba hitam dengan mengendarai sepeda motor tiba-tiba berhenti di salah satu jalan utama pusat Kota Teheran, Iran, 17 September lalu. Beberapa dari mereka kemudian mengacungkan senjata api yang dalam hitungan detik memuntahkan sejumlah peluru ke arah acak. Mendadak sontak puluhan pejalan kaki lari kocar-kacir. Salah satunya backpacker Indonesia, Andy Sugianto, yang tengah berjalan menuju Tawhid Tunnel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, Andy Sugianto bersama dua pelancong asal Swiss baru saja mengunjungi museum US Den of Espionage dan mural raksasa Down with the USA yang tak jauh dari lokasi penembakan. Saat peristiwa tersebut terjadi, ketiganya hanya berjarak kurang dari 10 meter dari gerombolan penembak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kaki saya lemas, tak mampu berlari. Saya sempat jatuh di rumput dekat taman. Seorang warga Iran datang menolong untuk bersembunyi di balik tembok,” kata Gie—panggilan akrab Andy Sugianto—ketika membagikan kisah perjalanannya tersebut kepada Tempo, Kamis, 24 November lalu.
Menurut Gie, wajah semua orang dalam peristiwa itu menjadi sangat pucat dan penuh ketakutan. Termasuk warga Iran yang mengatakan khawatir akan kondisi keamanan negaranya. Hingga saat ini, pria sekitar 40 tahun itu mengaku tak mengetahui siapa kelompok berpakaian hitam tersebut.
Setelah berlindung, Gie bersama dua rekannya langsung bergegas mencari akses terdekat menuju fasilitas kereta. Mereka ingin segera balik ke penginapan. Namun mereka kembali panik ketika melewati sebuah jalan yang telah dipenuhi pemuda bermasker hitam. Salah satu anggota kelompok itu datang mendekat. Dia mengusir Gie dan pejalan kaki lain menuju tangga kecil ke sebuah jalan alternatif.
Andy Sugianto berinteraksi dengan warga lokal saat mengunjungi Iran pada September 2022/Dok Pribadi
“Pemuda itu bilang, ‘Pergilah, Iran berbahaya, kalian bisa tertembak’. Lalu dia berteriak sambil kembali ke gerombolannya, ‘Iran no freedom’,” tutur Gie menirukan pemuda tersebut.
Dalam sekejap Teheran berubah menjadi sangat mencekam. Gie dan dua rekannya tak bisa mendapatkan informasi karena jaringan Internet mendadak mati. Mereka tak tahu pemerintah Iran sudah beberapa kali memutus jaringan Internet untuk meredam aksi demonstrasi dan protes massal. Padahal mereka perlu mengakses peta digital untuk mengetahui lokasi stasiun dan terminal.
Mereka kemudian meminta informasi dari polisi yang juga mulai banyak muncul di sejumlah ruas jalan dan fasilitas publik. Gie makin sadar, kota yang dikunjunginya itu sedang dalam kondisi berbahaya. Beberapa warga pun menghampiri dan memberi saran agar mereka segera meninggalkan Teheran.
Selain lewat berita, Gie sebenarnya mulai menemukan gejala aneh ketika memasuki wilayah Iran melalui Kota Tabriz. Saat itu jaringan Internet mati nyaris sepanjang hari. Hanya pada tengah malam dan pagi ada jaringan Internet, meski lemah. Namun waktu itu aktivitas masyarakat masih normal. Jalan raya, pasar, dan fasilitas publik masih ramai.
Kondisi sosial dan politik Iran memang memanas beberapa tahun terakhir. Gie pun mengakui telah mengetahui kondisi tersebut. Namun pegawai kesehatan di Bangka Belitung tersebut tetap memutuskan berangkat dan bertualang di negara republik Islam itu sejak 10 September lalu.
Di tengah perjalanannya, perlawanan terhadap pemerintahan Ali Khamenei ternyata makin bergejolak. Bentrokan mulai meletus setelah warga menerima kabar meninggalnya Mahsa Amini, seorang perempuan Kurdi 22 tahun, pada 16 September lalu.
Berdasarkan informasi, Amini ditangkap dan ditahan polisi syariah karena diduga mengenakan hijab secara tidak benar ketika berkunjung ke Teheran. Dia kemudian dikabarkan tewas dengan berbagai luka tak wajar pada tubuhnya saat berada di tahanan polisi. Pemerintah Iran mengklaim Amini tewas karena penyakit bawaan. Kabar kematian itu memicu aksi protes besar-besaran di sejumlah jalanan di kota besar dan wilayah lain Iran. Sejumlah perempuan juga tampil di muka umum tanpa mengenakan jilbab.
Bersamaan dengan aksi protes massal itu, pembunuhan terhadap anak-anak muda Iran mulai terjadi di sejumlah lokasi. Masyarakat menuding aksi tersebut dilakukan pemerintah melalui sejumlah pasukan khusus.
Andy Sugianto saat mengunjungi Iran pada September 2022/Dok Pribadi
Pemerintah justru menuduh ada kelompok yang menunggangi dan melakukan kekerasan bersamaan dengan aksi demonstrasi. Polisi-polisi pun mulai berjaga di sejumlah titik untuk mencegah dan memecah protes.
Meski demikian, Gie mengatakan tetap meneruskan perjalanannya di Iran selama dua pekan. Dia masih mengunjungi sejumlah tempat dan kota, seperti Qazvin, Isfahan, Shiraz, Chah Bahar, serta Gabd-Rimdan—perbatasan antara Iran dan Pakistan.
•••
KUNJUNGAN ke wilayah konflik atau daerah rawan ternyata juga bisa dilakukan tanpa sengaja. Salah satunya perjalanan Heris Dwityo Pelawinta ke Srinagar, Kashmir, India, pada 2016. Heris bersama dua temannya berangkat ke India karena mendapat promosi tiket murah sekitar Rp 600 ribu dari Medan, Sumatera Utara, menuju Hyderabad, India. Berbekal dana seadanya, mereka berencana menempuh perjalanan darat menuju New Delhi, lalu ke Srinagar.
Meski sudah mengumpulkan informasi, Heris dan temannya tak mengetahui perjalanan menggunakan kereta dari Hyderabad menuju Delhi memakan waktu dua hari. Durasi yang sama berlaku untuk perjalanan kereta dari Delhi menuju Jammu—tujuan terakhir jalur kereta dari ibu kota India. Mereka pun berpikir akan mudah mencari transportasi kereta atau bus dari Jammu ke Srinagar.
“Saya sempat cari info, tak ada info Jammu itu daerah konflik, katanya aman. Walaupun tak ada backpacker Indonesia atau luar yang memakai rute darat ke sana,” kata dokter yang kini tinggal di Tangerang Selatan, Banten, tersebut.
Mereka sudah merasakan suasana berbeda ketika turun dari kereta di Jammu. Sejumlah polisi tersebar dan berada di hampir semua titik kota dari wilayah perbatasan yang diperebutkan India dan Pakistan sejak 1947 tersebut. Wilayah itu juga kerap menjadi lokasi serangan dan dikaitkan dengan tempat persembunyian kelompok teroris.
Mereka kemudian mendapat masalah karena tidak ada akses transportasi umum melintasi pegunungan menuju Srinagar. Mereka harus menyewa sopir dan mobil menuju daerah wisata tersebut. Persoalan lain, saat itu mereka harus menginap di Jammu karena kepolisian sedang menutup perbatasan kota. “Kami ditolak hampir di semua hotel karena bukan warga India,” tutur Heris.
Mereka pun melewati malam yang panjang di Jammu. Perjalanan jauh dan melelahkan tak langsung membuat mereka terlelap. Sekitar pukul 2 dinihari, mereka terbangun karena bunyi baku tembak di dekat hotel. Setelah beberapa menit, mereka terjaga karena raungan sirene mobil ambulans yang menyusuri kota tersebut.
Andy Sugianto saat mengunjungi Iran pada September 2022/Dok Pribadi
Saat itu Heris sempat memberanikan diri ke luar kamar. Dia melihat sejumlah warga lokal berlarian dengan wajah panik. Dia pun bertanya kepada salah satu orang yang berlari melintasinya. Orang tersebut menoleh singkat, kemudian berkata, “No problem.”
“Saya dan teman-teman semalaman tak tidur, mengurung diri dalam kamar dan ngumpet di kolong kasur,” ujar Heris.
Mereka bergegas meninggalkan Jammu dengan mobil travel pada saat subuh. Tujuannya adalah menghindari waktu penjagaan dan penutupan perbatasan oleh tentara dan polisi. Saat checkout dari penginapan dan dalam perjalanan, mereka menanyakan peristiwa penembakan pada malam sebelumnya. Resepsionis hotel dan pengemudi mobil travel memberikan jawaban yang sama dengan warga lokal sebelumnya: “Tak ada masalah apa-apa.”
Toh, ancaman bahaya bisa terjadi di mana pun. Seorang backpacker, Ikhwan Musafir, memiliki pengalaman buruk ketika mengunjungi Turki dan Amerika Serikat. Dia beberapa kali menjadi korban penipuan ketika berkunjung ke daerah wisata populer. Peristiwa itu tetap terjadi meski ia sudah mengetahui lokasi dan modus penipuan melalui cerita teman dan informasi di Internet.
Bahkan Imus—panggilan akrab Ikhwan Musafir—pernah mengalami luka sembilan jahitan pada dahi dalam perjalanan di California, Amerika Serikat. Mengaku sudah tak ingat detailnya, dia mengatakan peristiwa itu berawal ketika melintasi sebuah minimarket pada malam hari di salah satu area rawan. Saat itu dia melihat enam orang keturunan Afrika-Amerika berjalan mendekat. Satu di antaranya tampak menggunakan kursi roda.
Mereka langsung menodongkan pistol ketika menyadari Imus adalah turis. Di tengah situasi mencekam, Imus terus berupaya meminta kelompok tersebut tak melakukan kekerasan. Dia juga hampir saja menyerahkan dompet dan uangnya. Namun, alih-alih menyerah, dia justru refleks mendorong mulut pistol menjauh dari kepalanya.
Pemegang pistol yang panik itu ternyata menarik pelatuk hingga peluru melesat dan tepat mengenai kening Imus. Darah pun mulai keluar dan membasahi wajahnya.
“Bahaya adalah bagian dari proses sebuah perjalanan. Semua bisa diantisipasi dan disiapkan. Justru jangan berhenti dan membatalkan petualangan ke sebuah daerah hanya karena takut bahaya,” tutur Imus.
•••
PENULIS dan backpacker Indonesia yang kerap ke wilayah konflik, Agustinus Wibowo, mengatakan semua perjalanannya ke daerah konflik dan perang adalah perjalanan menemukan jati diri. Dia memulai petualangannya mengunjungi wilayah berbahaya ketika menempuh pendidikan ilmu komputer di Beijing, Cina. Setiap tahun, Agustinus mengungkapkan, mahasiswa memiliki waktu libur panjang pada musim dingin yang selalu digunakan untuk mengunjungi negara di perbatasan Cina seperti Mongolia, Laos, Pakistan, dan Afganistan.
Setelah lulus, Agustinus memiliki tabungan sekitar US$ 2.000 yang rencananya dijadikan modal perjalanan darat panjang dari Beijing ke Afrika Selatan pada 2005. Dia memulai langkahnya dengan menyeberang ke Tibet secara ilegal selama satu bulan. Dia kemudian tinggal dan berjalan melintasi Nepal hampir dua bulan, India dua bulan, Pakistan enam bulan, dan Afganistan empat tahun.
Perjalanan Agustinus menuju Afrika Selatan terhenti ketika dia kehilangan hampir semua uangnya di Uzbekistan. Berbekal uang sisa di kantong, dia kembali ke Afganistan dan menjadi jurnalis di wilayah perang tersebut pada 2007-2009. "Ketika itu hampir dua hari sekali ada bom meledak di Kabul dan kota lain," katanya.
Agustinus membagikan tip bertahan dan aman dari segala potensi bahaya di daerah konflik. Salah satunya dia serius mempelajari semua bahasa dari negara yang akan dilewati, seperti Mandarin, Urdu, Hindi, Rusia, dan Persia. Menurut dia, bahasa adalah pintu paling baik untuk masuk dan berbaur dengan masyarakat lokal.
Dia juga selalu berusaha tinggal dan berada dekat dengan penduduk setempat. Dia menyediakan banyak waktu untuk berbagi kisah serta ikut dalam tradisi dan budaya serta kegiatan harian. Dia mengungkapkan, sejumlah orang memiliki beberapa kesamaan identitas yang bisa menjadi pengait relasi.
“Bagasi identitas itu jangan kaku dan dibawa terus. Saya di Cina menjadi seorang keturunan Tionghoa, di India bicara Sanskerta, di Pakistan dan Afganistan sebagai orang dari negara muslim besar, di Inggris sebagai orang Kristen. Berbaur saja,” ujarnya.
Hal yang sama ia lakukan ketika menelusuri perbatasan Papua-Papua Nugini dan masuk ke sejumlah kamp Organisasi Papua Merdeka pada 2014. Sebagai orang berkulit kuning, keberadaannya sangat mencolok ketika ia menerabas hutan dan menyeberangi sungai dengan kano kecil. Dia hadir sebagai orang yang memahami posisi lawan bicara atau komunitas setempat.
Heris Dwityo saat melakukan perjalanan menempuh jalur darat dari New Delhi ke ke Srinagar, Kashmir, India/Dok. Pribadi
“Saya juga pergi dengan orang yang memang bisa membawa masuk dengan aman ke kelompok itu,” tutur Agustinus.
Metode yang sama kembali dipraktikkan saat dia mengunjungi masyarakat keturunan Jawa di Suriname. Di wilayah tersebut, Agustinus menggali kisah perseteruan dua kelompok Islam yang memiliki letak kiblat berbeda di rumah ibadah mereka, satu ke barat dan lainnya ke timur. Selama di sana, dia berada di tengah umat kedua kelompok tersebut serta mengikuti kegiatan berdoa dan keagamaan.
“Perjalanan ke daerah konflik itu sangat sayang kalau hanya untuk foto di tempat yang pemandangannya bagus. Saya ke sana karena ingin tahu kisah hidup dari setiap orang yang berada di sana. Itu arti perjalanan bagi saya,” kata penulis buku Titik Nol dan Selimut Debu tersebut.
Pria kelahiran Jawa Timur itu mengaku sebetulnya sangat penakut. Namun rasa takut justru membuatnya bisa mencari strategi untuk lebih aman ketika berada di wilayah berbahaya. Selain itu, sebagai orang yang besar dari tekanan identitas minoritas, dia menemukan kesamaan masalah dan pencarian makna pada orang-orang di wilayah konflik.
“Sebagian besar permasalahan di dunia itu soal identitas. Makin saya bisa menyelami pengalaman hidup warga di sana, makin saya dapat menemukan jawaban atas persoalan identitas dalam diri sendiri,” ucap Agustinus, backpacker Indonesia penulis buku perjalanan "Titik Nol" ini.
FELIN LORENSA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo