Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA penari berkostum merah darah mengacungkan parang ke langit dan mengoles-oleskannya ke sebagian tubuh. Bersorot mata tajam dan tanpa senyum sama sekali, seorang di antaranya memasukkan ujung senjata itu ke mulutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menarik parang itu secara perlahan. Melonjak-lonjak seperti berada di atas bara api, ia mengayun-ayunkan senjata itu dengan cepat. Penari lain menempelkan bilah parang ke tangan telanjangnya. Penari lain bertudung, melenggang-lenggokkan badannya dan tersenyum. Irama cello yang menyayat mengiringi gerakan, menambah sensasi kengerian sepanjang pertunjukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cericit burung di awal pentas menemani tiga penari di Candi Sukuh, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, itu yang sedang menampilkan Dirandra, The Double Dare—salah satu karya film tari Durga Dance Film Festival, rangkaian acara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang digelar pada 24-27 November 2022 secara daring.
Festival ini menampilkan sembilan koreografer dari Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang dikuratori Tang Fu Kuen, kurator serta produser visual dan pertunjukan kontemporer yang banyak bekerja di Asia dan Eropa. Tahun ini, BWCF mengangkat tema “Merayakan Pemikiran Hariani Santiko Durga di Jawa, Bali, dan India”.
Dirandra, The Double Dare adalah karya koreografer Eko Supriyanto yang bertolak dari seni tari tradisi Sulawesi Tenggara. Salah satunya lumense. Tarian khas suku Moronene itu punya makna sakral, yaitu membersihkan diri dari bala bencana. “Lumense memuja perempuan,” ujar Eko, Senin, 28 November lalu.
Lumense dalam sejarahnya menggambarkan perempuan yang harus menebas kepala sebagai jalan satu-satunya untuk mengusir wabah besar. Ketiga penari dari sanggar tari 8 Arts, Kendari, itu memainkan karakter ganda perempuan. Selain lembut, perempuan digambarkan berwatak keras dan tangguh. Mereka mewakili karakter dan ekspresi perempuan yang beragam, mewarnai olah tubuh. Mimik mereka digambarkan tegas, menantang, merayu, dan mengajak berkelahi. Mereka bergerak tanpa suara, tidak harus berteriak untuk menunjukkan kemarahan atau menangis supaya terlihat sedih.
Doktor bidang penciptaan seni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah, itu mengeksplorasi Durga dalam koreografi 30 menit dengan properti parang dan gerakan. Dalam tari lumense, sejatinya tak ada gerakan memasukkan parang dan mengoleskannya ke tubuh. Semua gerakan lumense serba cepat. “Properti diolah sebagai aspek performatif. Lumense hanya jadi inspirasi,” kata Eko, yang menyiapkan koreografi tersebut selama tiga bulan di Solo dan Kendari.
Pertunjukan "Kawean Pancadurga" karya Cok Sawitri. Dok. Panitia
Candi Sukuh dipilih karena mewakili tema yang disodorkan panitia BWCF. Sosok Dewi Durga yang menjelma menjadi raksasi berwajah mengerikan tergambar pada relief panel kedua candi. Eko menekankan koreografinya pada kekuatan tubuh penari, bukan visual multimedia kamera. Pengambilan gambarnya pun hanya sekali tanpa jeda. “Koreografi jadi subyek, bukan sinematografinya,” tutur Eko.
Adapun Durga Puja Perempuan-perempuan yang Menggugat, film tari besutan sutradara I Gusti Dibal Ranuh, menggabungkan musik, koreografi, dan efek visual. Sentuhan sinematografi karya pendiri Matahati Kitapoleng Foundation dari Singaraja, Bali, itu terlihat lebih ditonjolkan. Dibal menggandeng Jasmine Okubo sebagai koreografer.
Berlatar situs purba Gua Garba di Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali, film dimulai dengan visual lanskap hijau hutan sekitar gua yang ditumbuhi pepohonan rindang berukuran jumbo. Seniman Bali, I Gusti Ayu Laksmiani, yang lebih dikenal sebagai Ayu Laksmi, menjadi narator membuka film itu sekaligus menyanyi.
Mula-mula rombongan perempuan berambut panjang dengan coreng-moreng riasan menyeramkan berjalan menyunggi tempayan. Mereka berjalan menuruni tangga-tangga gua, menepuk-nepukkan bebatuan yang menghasilkan suara serempak pada lantai gua berselimut kabut. Dengan lidah panjang yang menjulur mereka tertawa-tawa dan merentangkan kedua tangan dengan memegang rambut, seperti raksasi.
Kain berkelir merah, putih, dan hitam membungkus tubuh penari dari pundak hingga hampir mata kaki. Warna kostum itu menyimbolkan Rangda, ratu para leak dalam mitologi Bali. Di pengujung film, para raksasi itu memakan jeroan tubuh seorang lelaki yang menjadi tumbal. Mulut mereka penuh darah.
Para penari itu menggunakan properti dari alam untuk melengkapi gerakan mereka. Misalnya menggerakkan daun di pinggir sungai atau memukulkan batok kelapa di bebatuan. “Batok kelapa simbol sumber kehidupan,” kata Dibal.
Koreografi film tari itu banyak menampilkan gerakan jongkok yang menyimbolkan rahim atau garba sebagai sumber penciptaan. Yang menarik adalah iringan lagu berjudul “Durga” yang dibawakan Ayu Laksmi bergantian dengan musik komponis Epi Martison. Ayu merapal mantra, cocok dengan eksplorasi bunyi Epi yang dikenal suka mengeksplorasi berbagai instrumen tradisi dan teriakan suku pedalaman Nusantara.
Dalam semesta ini dia ibu tertinggi. Langit tak lebih dari separuh kebesaran Durga. “Hanya Durga yang pernah menginjak Syiwa, dewa utama itu,” ujar Ayu Laksmi, melafalkannya. Tapi, sayangnya, Ayu tak hadir langsung di Gua Garba. Bila dia di sana, gregetnya akan lebih terasa. Dibal menampilkan gambar Ayu dengan efek visual.
Durga Puja meminjam latar kisah pemujaan Dirah dari sekte Bhairawa terhadap Durga pada masa Kerajaan Airlangga yang memuliakan perempuan. Dengan menyampaikan puja dan mendapat izin Durga, Dirah menebar teluh yang menyebabkan kematian warga desa.
Kisah itu mengingatkan orang pada Calon Arang. Di Bali, Calon Arang kerap dijadikan beragam pertunjukan yang keramat dan magis. Ingatan perempuan yang memiliki kesedihan layaknya Dirah, yang marah terhadap segala yang dialami. “Dirah dan perempuan lain menggugat, menunjukkan kekuatan tak terduga dan mahadahsyat,” kata Dibal.
Dia menggunakan Calon Arang versi Pramoedya Ananta Toer dan disertasi Hariani Santiko sebagai referensi untuk menciptakan film tari itu. Selain membaca berbagai rujukan itu, Dibal melakukan ritual khusus sembahyang di Pura Durga Kutri, Gianyar, Bali, sebelum memulai syuting film.
Film tari "Durga Puja Perempuan-perempuan yang Menggugat", karya sutradara I Gusti Dibal Ranuh.
Eksplorasi Durga dari seniman Bali lain, Cok Sawitri, yang berjudul Kawean Pancadurga berkisah tentang pemujaan Durga. Cok membuka pertunjukan itu dengan bernarasi dan membaca puisi. Dia banyak bertutur dan menyanyi dalam bahasa Bali. Adegan dimulai dengan Cok dalam balutan pakaian adat Bali, ditandu, dikawal dua sosok berkepala barong. Para perempuan berkuku panjang menari dan lelaki yang menyeret sesosok tubuh.
Nyanyian dan mantra-mantra Bali yang terlalu ramai dengan teks bahasa Indonesia muncul dalam karya Restu Imansari Kusumaningrum berjudul Ranini. Karya ini menggambarkan Durga yang dikutuk menjadi sosok menyeramkan dengan rambut panjang, mata melotot, mulut menganga, bertaring, lalu kembali menjadi Dewi Uma yang cantik atas bantuan Sadewa.
Dari mancanegara, penari Phitthaya Phaefuang atau Sun asal Thailand menampilkan karya berjudul Mother Aurora. Dalam tubuh laki-laki, Sun menari dengan sangat anggun. Lehernya berkalung patung ular, berselimut kulit macan tutul, dan memainkan rangkaian bunga. Sekali waktu dia menjelma dengan kostum mirip Catwoman yang hanya terlihat lidahnya yang menjulur, bergerak lincah ke sana-kemari.
Menurut Sun, film tari itu menggambarkan bagaimana praktik keibuan bisa menjadi kekuatan lembut untuk memprotes seksisme dalam masyarakat yang didominasi laki-laki biner. “Durga muncul dan berubah dalam tubuh kontemporer untuk melawan,” ucapnya.
Meski Durga di Bali, Jawa, dan India dibandingkan, tak ada koreografi dari India. Unsur gerak India muncul dalam tarian karya January Low asal Malaysia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo