Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Pengakuan Hutan Adat Tanah Papua

Untuk pertama kalinya masyarakat adat di tanah Papua mendapatkan penetapan hutan adat. Menyisakan pekerjaan rumah. 

4 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Berbagai momentum dimanfaatkan masyarakat adat untuk mendapatkan rekognisi.

  • Memiliki persyaratan berlapis dan rumit.

  • Memerlukan terobosan untuk mengakselerasi penetapan dan pengakuan masyarakat adat.

UPAYA Naomi Marasian berjuang sejak 2003 mewujudkan rekognisi atas keberadaan masyarakat adat Papua dengan melakukan pemetaan partisipatif mulai berbuah hasil. Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara IV di Jayapura, 24 Oktober lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk pertama kalinya menyerahkan surat penetapan hutan adat bagi tujuh masyarakat adat tanah Papua. Ada enam masyarakat adat di Kabupaten Jayapura, Papua, dan satu komunitas adat di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, yang mendapatkan penetapan hutan adat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Naomi, pemetaan partisipatif krusial untuk mendapatkan penetapan hutan adat. "Ada anggapan selama ini masyarakat adat tidak tahu batas-batas ulayat mereka, luas ulayat mereka, dan potensi yang ada di dalam wilayah mereka," katanya, Sabtu, 3 Desember lalu. Selain itu, Naomi menambahkan, masyarakat adat masih dipandang terpisah dari ruang hidup mereka sebagai obyek hak kepemilikan atas tanah, hutan, dan sumber daya lain. Dia memandang peta sebagai alat untuk memberikan justifikasi atau konfirmasi yang menunjukkan masyarakat adat sebagai subyek, tidak bisa dipisahkan dari obyek yang menjadi hak milik mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivitas pemetaan partisipatif itu, Naomi melanjutkan, menjadi proses panjang untuk mengorganisasi masyarakat adat. "Dalam melakukan pemetaan partisipatif, mereka harus bersatu dan duduk bersama untuk menguatkan kesepakatan mekanisme pengelolaan secara komunal,” tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PTPPMA) Papua ini. “Juga menjalin kesepakatan mengenai tata batas wilayah dengan tetangga kampung dan di antara marga dan menguatkan kembali kelembagaan masyarakat adat yang mereka punya.”

Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, (kiri) menyerahkan surat keputusan hutan adat ini kepada perwakilan masyarakat di Stadion Barnabas Youwe, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, 24 Oktober 2022/Mongabay Indonesia/Asrida Elisabeth

Naomi mengungkapkan, pemetaan partisipatif dalam praktiknya bukan lagi sekadar mempersiapkan masyarakat adat dengan senjata bernama “peta” karena sudah menjelma menjadi proses membangun kesadaran kritis masyarakat sembari menguatkan kelembagaan adat yang telah dimiliki. Ia memulai perjalanan ini dari Distrik Namblong di Kabupaten Jayapura dan mengawalinya dengan pemetaan berbasis kesukuan. Dari Distrik Namblong, pemetaan partisipatif bergerak ke Kemtuk dan menyebar ke distrik lain, mencakup sekitar 60 kampung adat dengan sistem pemerintahan dipegang oleh ondoafi.

Pemetaan itu tak hanya dilakukan dengan menarik batas-batas wilayah adat. Naomi dan timnya juga menganalisis kesamaan tradisi, sejarah, sistem pengelolaan ruang, sistem pengambilan keputusan, struktur adat, dan nilai-nilai sosial yang masih dipelihara. "Memang ada pergeseran pola pemanfaatan ruang dan lahan dari semula aset sosial-komunal menjadi aset ekonomi dengan penguasaan individual, yang menyebabkan konflik di satu-dua lokasi,” ujarnya. “Kami berupaya membangun kesadaran kritis masyarakat adat dengan memperkuat nilai-nilai yang ada dan melibatkan semua tokoh marga, adat, dan suku.”

Setelah upaya memperkuat kohesi sosial itu berhasil, dan peta sudah dibuat, PTPPMA meneruskannya dengan mendorong Bupati Jayapura agar mengeluarkan surat keputusan penetapan komunitas adat pada medio 2014. Saat itu Naomi dan timnya bergerak memanfaatkan momentum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang membatalkan sejumlah pasal dan ayat yang mengatur keberadaan hutan adat dalam Undang-Undang Kehutanan. Putusan MK itu menguatkan keberadaan hutan adat sebagai bukan lagi hutan negara.

Selain memakai putusan MK, pergerakan itu menggunakan Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai landasan. Pada tahun yang sama, PTPPMA juga mengeluarkan kajian sosial dari 12 komunitas adat yang didampingi. Kajian ini menjadi salah satu alat untuk mendorong Bupati agar segera mengeluarkan penetapan. "Saat itu political will pejabat di daerah mulai muncul untuk memberikan rekognisi kepada masyarakat adat sehingga diskusi dengan perangkat daerah berjalan terus-menerus," ucapnya.

Setelah surat keputusan Bupati terbit pada 2018, Naomi mendorong pembentukan peraturan daerah berdasarkan mandat Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Ia juga mempersiapkan pengusulan penetapan hutan adat ke KLHK pada 2017. "Kami melihat penetapan akan lemah jika hanya masyarakatnya yang diakui tapi ruangnya tidak," katanya. Karena itu, ia melengkapi petanya dengan tumpang susun peta status kawasan hutan bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Papua. Ia juga mengkonsolidasi kelembagaan masyarakat adat sehingga pengusulan dilakukan oleh dewan adat suku.

Pada saat proses pengusulan, PTPPMA didampingi oleh berbagai organisasi nasional, seperti Hukum untuk Rakyat (Huma), Samdhana Institute, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Koordinator Eksekutif Huma, Agung Wibowo, mengatakan pengusulan dilakukan pada Desember 2017 dengan langsung menemui Kepala Subdirektorat Hutan Adat. "Waktu itu yang diajukan ada lima wilayah adat," ujarnya, Jumat, 2 Desember lalu. Dari lima wilayah tersebut, baru tiga yang sudah beroleh penetapan status hutan adat secara definitif.

Penampila tarian adat Papua saat pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) ke-VI di Stadion Barnabas Youwe, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, 24 Oktober 2022/ANTARA/Gusti Tanati

Pada 2017, payung hukum penetapan hutan adat adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak yang menyebutkan syarat permohonan penetapan hutan adat antara lain terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui pemerintah daerah melalui produk hukum daerah. Peraturan ini lalu dicabut dengan keluarnya Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, lalu dicabut lagi dengan dikeluarkannya Permen LHK Nomor 17 Tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Setelah terbit Undang-Undang Cipta Kerja, terbit Peraturan Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial yang menjadi salah satu rujukan untuk penetapan hutan adat.

Menurut Agung, penetapan status hutan adat sangat rigid dan rumit, memakan waktu lama, serta berbiaya politik tinggi karena membutuhkan peraturan daerah, berbeda dengan skema penetapan status hutan lain. Saat itu, pada 2017, Agung menjelaskan, ada diskusi untuk menjadikan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua sebagai payungnya, bukan peraturan daerah, dengan pertimbangan aturan mengenai otonomi khusus sudah memayungi hak ulayat sebagai obyek. Dalam aturan tersebut, surat keputusan kepala daerah berfungsi menetapkan subyeknya, yaitu masyarakat adat.

Berbagai perubahan peraturan menteri yang memayungi penetapan hutan adat juga membawa konsekuensi. Salah satunya hilangnya mekanisme penyelesaian sengketa yang semula ada dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 32. Menurut Agung, dalam peraturan sebelumnya negara melalui tim yang dibentuk dalam rangka penetapan hutan adat harus mampu menyelesaikan konflik paling lambat 90 hari kerja.

Dalam konteks Papua, angka tumpang-tindih area hutan adat dengan konsesi sangat tinggi sehingga potensi konflik juga menjadi tinggi. Namun, dengan merujuk pada aturan yang baru, Agung melanjutkan, pemerintah seolah-olah mengharuskan wilayah tersebut clean and clear dari sengketa. "Seolah-olah menghindari wilayah yang bertumpang-tindih dengan kawasan konsesi, padahal semangat penetapan hutan adat adalah menyelesaikan konflik dengan mengembalikan kepemangkuan wilayah kepada masyarakat adat. Selanjutnya pemilik konsesi bisa menyelesaikan sengketa langsung dengan masyarakat adat itu," kata Agung.

Persoalan menjadi lebih rumit ketika pemerintah memiliki mekanisme khusus untuk menetapkan hutan adat yang dianggap berpotensi tinggi mengalami pembalakan ilegal dan adanya isu pemerdekaan. Karena itu, diperlukan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK). "Ini yang kemudian mengunci pengusulan karena pemerintah memerlukan adanya NSPK sehingga persyaratannya makin berlapis," tuturnya. Untuk membuat NSPK, diperlukan kerja berbagai macam pihak, dari kelembagaan adat, pemerintah daerah, akademikus, hingga lembaga sipil.

Foto udara hutan mangrove di Cagar Alam Teluk Bintuni, Papua Barat, 2019/TEMPO/Nita Dian

Untuk memperkuat kerja forum pemangku kepentingan itu, pada 2018 dibentuk Gugus Tugas Masyarakat Adat Papua. BRWA menjadi salah satu motor penggeraknya dan Naomi Marasian menjadi wakil ketua pengurus harian dalam gugus tugas tersebut. Kepala BRWA Kasmita Widodo mengatakan, lewat gugus tugas itu, disusun berbagai prinsip dasar dan kajian aspek kultural, sosial, hingga demografi, lalu dibuat perencanaan wilayah adat dan program indikatif. "Ini menjadi panduan kerja baik bagi pemerintah daerah maupun bagi berbagai pihak," ujarnya.

Kasmita menyebutkan melalui berbagai dialog dalam gugus tugas ini juga diperoleh pendekatan yang lebih ampuh untuk mengakselerasi penetapan status. Sementara semula pendekatan yang dilakukan adalah melalui suku, pendekatan baru mengambil fragmen terkecil, yaitu kampung adat. "Karena pendekatan suku terlalu luas, sementara ada basis kampung adat dengan struktur kelembagaan adat yang kuat berdasarkan pemetaan," kata Kasmita.

Menurut Kasmita, tantangan penetapan hutan adat selama ini ada di proses administratif, baik di level pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. BRWA, dia menjelaskan, mampu menjawab tantangan di sektor pemetaan, dari data profil, kewilayahan, tata kelola, hingga tata batas, serta mendokumentasikan kekayaan berupa benda ataupun norma dan hukum adat yang berlaku. Tantangan lain muncul, yaitu verifikasi berlapis yang harus dilakukan pemerintah daerah dan KLHK.

Ada hal positif di luar rumitnya penetapan hutan adat tersebut. Soeryo Adiwibowo, yang menjadi ketua tim verifikasi KLHK untuk penetapan hutan adat, mengatakan hal yang dilakukan di Papua dapat menjadi contoh baik untuk daerah lain. "Kerja sama yang apik dari berbagai pihak, termasuk dari organisasi sipil, membuat penetapan berjalan sangat baik," ujarnya. Timnya hanya memerlukan waktu satu pekan untuk melakukan verifikasi lapangan dan dalam waktu sebulan penetapan sudah dapat dilakukan.

Soeryo menerangkan, timnya yang bekerja di hilir memiliki beberapa panduan dalam melakukan verifikasi, yaitu masyarakat bersifat paguyuban, memiliki kelembagaan adat, wilayah adatnya jelas, mempunyai pranata perangkat adat, dan ada pemungutan hasil hutan untuk kehidupan sehari-hari. Ia menekankan verifikasi yang dilakukan mencakup subyeknya, yaitu masyarakat adat, dan obyek berupa ruang atau tanah, lahan, dan hutan yang dikuasai.

Menurut Soeryo, dari tujuh wilayah itu, ada yang seluruh wilayahnya berada di dalam hutan lindung dan kawasan konservasi. Namun ia mampu meyakinkan pengambil kebijakan untuk melakukan penetapan. Demikian pula proses terhadap wilayah yang masih menyisakan satu pekerjaan rumah, yakni satu garis wilayah yang belum menemukan kesepakatan dengan tetangga kampungnya. "Mereka menyanggupi akan diselesaikan kemudian," kata profesor Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, itu.

Sementara itu, menurut Koordinator Eksekutif Huma, Agung Wibowo, pekerjaan rumah belum selesai. Pemerintah memiliki tugas memasukkan peta hutan adat yang sudah mendapatkan penetapan ke rencana tata ruang dan wilayah sehingga tidak boleh dibebani lagi dengan izin. Pekerjaan rumah lain adalah memberikan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat adat untuk mengelola hutan adat mereka. Naomi Marasian yang sehari-hari mendampingi masyarakat di tingkat tapak berharap penetapan status ini bukan sekadar seremoni.

YAZIS (MAGANG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus