MEREKA tidak menyerah. Sejumlah putra daerah Ir-Ja mahasiswa
Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, yang tak tertampung
di asrama dan tak mampu membayar pondokan, dengan tangkas
mendirikan gubuk sendiri di sekitar kampus. Dalam gubuk 2,5 x
2,5 m, berdinding gaba-gaba, beratap rumbia dan berpintu seng
bekas itulah mereka belajar, istirahat, makan dan tidur.
Mereka adalah sebagian dari 1.962 mahasiswa Uncen kini -- 60%
mahasiswa Uncen adalah putra daerah Ir-Ja. Tak lagi ketahuan
siapa pelopor pendiri gubuk yang mengelilingi kampus universitas
di ujung timur tanah air itu, universitas yang bulan lalu
merayakan Dies Natalisnya yang ke-18. Yang jelas, gubuk terlama
di situ telah miring ditimpa panas dan hujan, dan telah berusia
lebih dari tiga tahun. Dan kini ada 6 gubuk yang jaraknya dari
kampus sekitar 200-500 m.
Tentu saja fasilitas sebuah gubuk jauh dari memadai dibanding
rumah tinggal atau asrama. Di gubuk Simyapen, mahasiswa Fakultas
Ilmu Pendidikan tingkat II, misalnya. Di situ hanya ada sebuah
balai-balai kayu tanpa kasur, sebuah papan kayu yang berfungsi
sebagai meja belajar dengan papan kayu juga sebagai kursi.
Antara tempat tidur dan dinding ada tungku api untuk memasak.
Lantai, tentu saja hanya tanah, yang kini lembab karena hujan
suka mengguyurnya lewat celah-celah atap rumbia yang tak rapat
betul itu.
"Asrama sudah penuh," itu yang bisa dikatakan Sim, asal Bosnik,
Biak Timur ini. Dan susulnya: "Saya tak punya uang untuk mencari
kost." Sim yang lulusan Sekolah Pendidikan Guru, 1979, dengan
bekal tekad pergi ke Jayapura untuk melanjutkan kuliah. Anak
keenam dari tujuh bersaudara ini kedua orang tuanya telah tiada.
Ia mendapat biaya hidup dan kuliah dari pamannya: Rp 3 ribu
untuk membayar SPP per semester, Rp 10 ribu untuk makan
sebulan. "Tapi itu pun harus dengan akal, supaya cukup,"
ceritanya. "Saya masak pakai kayu, yang gampang dicari. Dan
sesekali makan di rumah teman." Maklum, biaya hidup di Ir-Ja
memang tinggi -- lebih tinggi dari Jakarta.
Lampu Minyak
Dan dengan uang kirirnan yang pas itu ia memang tak bisa membeli
buku. Itulah kesulitannya kini. "Di perpustakaan kebanyakan
bukunya bahasa Inggris," keluhnya.
Gagasan mendirikan gubuk ini memang orisinal. Dan bukannya asal
mendirikan saja, agaknya. Ada perhitungan pula. Sebab, untuk
keperluan mandi dan buang hajat, misalnya, tak ada masalah sama
sekali. Di sekitar kampus Uncen ada sumur. Pun di dekat kampus
itu mengalir sebuah sungai, yang tak pernah kering sepanjang
tahun. Hanya penerangan tentu saja, tak bisa lebih dari sebuah
lampu minyak. Dengan lampu itulah mereka belajar malam hari.
Tak diketahui persis, berapa mahasiswa Uncen asal luar kawasan
Jayapura. Tapi memang asrama yang ada tak mampu menampung
mereka. Asrama Uncen sendiri hanya mampu menampung 24 orang.
Sebuah asrama dari Misi Katolik pun hanya mampu menampung 100
orang, dan calon penghuni tentu saja dibebani persyaratan
tertentu. Misalnya, harus beragama Katolik atau bersedia bekerja
di Kantor Keuskupan. Juga Pemda Tingkat II yang merasa ikut
bertanggungawab terhadap warganya yang menjadi mahasiswa Uncen,
mendirikan asrama: Pemda Biak, Fak-Fak, Wamena, antara lain.
Tapi asrama yang didirikan Pemda Tingkat II itu rata-rata hanya
bisa menampung 30-an mahasiswa, sementara jumlah mahasiswa asal
daerah tersebut lebih dari itu.
Mahasiswa asal Jayapura sendiri agaknya yang tak mengalami
kesulitan. Meski kampus Uncen -- yang memiliki 4 fakultas FK
(Fakultas Keguruan), FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan. FIHES
(Fakultas Ilmu-ilmu Hukum, Ekonomi dan Sosial) dan FPPK
(Fakultas Peternakan, Pertaniandan Kehutanan) -- terletak di
Abepura, sekitar 15 km dari Jayapura, tiap hari ada angkutan
yang ongkosnya relatif murah: Rp 150 sekali jalan. Dan bila
seorang mahasiswa tinggal di Jayapura, artinya keuangan memang
cukup.
Yang menarik, para penghuni gubuk yang datang dari daerah
pedalaman itu sebagian besar bercita-cita menjadi guru. Tak
jelas mengapa, tapi kedudukan guru dalam masyarakat di pedalaman
Ir-Ja memang dihormati. Guru, sesudah pendeta dan pastor adalah
tempat bertanya masyarakat. "Pendeta, pastor dan guru selalu
dekat dengan masyarakat," tutur John Keranop 24 tahun, mahasiswa
tingkat II FK. "Itu mungkin disebabkan petugas pemerintah jarang
berada di tempat." Si John ini, yang datang ke Jayapura dari
Muyu, 300 km dari Merauke, pun ingin menjadi guru di daerahnya,
meski motifnya begitu lumrah. "Supaya dekat orang tua dan
saudara."
Bahkan di daerah Biak, menurut Adrianus Kawer, 24 tahun,
mahasiswa FIHES asal Biak, "banyak orang tua yang mempunyai anak
gadis, ingin punya menantu guru. " Lalu mengapa Adrianus tak
masuk FK atau FIP? Ia hanya tertawa lebar.
Tentu saja, kecuali soal kedudukan guru dalam masyarakat,
dorongan menjadi guru didasari pula motif pribadi. Ayub Pikei,
22 tahun, mahasiswa tingkat III FIP terdorong menjadi guru
karena melihat generasi muda di daerahnya yang begitu
bersemangat belajar tapi miskin. Itulah yang membuatnya tetap
teguh, menghuni gubuk lebih dari 3 tahun, tanpa semangatnya
menjadi luntur. Lain dengan Simyapen, misalnya. Meski ia pun
bercita-cita menjadi guru, tapi ingin ditempatkan di Jawa.
"Supaya dapat istri perempuan Jawa," katanya.
Antara gubuk dan cita-cita menjadi guru barangkali tak ada
hubungan langsung. Yang bisa diharap sementara ini, mereka para
penghuni gubuk itu, akan menjadi guru yang mampu menularkan
semangat belajar yang tinggi kepada anak didiknya, nanti.
Sebab, menurut pengamatan mahasiswa asal Fak-Fak, Umar Chottob
Renhoren, 25 tahun, misalnya, "semangat belajar anak-anak di
pedalaman mula-mula kuat. Melemahnya semangat itu disebabkan
kemiskinan, sehingga mereka tak melanjutkan lagi setelah lulus
SD."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini