PANGKOPKAMTIB Laksamana Sudomo sering menyelenggarakan pertemuan
pers. Tapi seringkali pers agak sulit mengutip sejumlah
penjelasannya. Sebagian besar keterangan diberikannya
off-the-record (tidak untuk dikutip). Seperti terjadi lagi
ketika pemerintah menangani peristiwa pembajakan (28 Maret)
pesawat terbang DC-9 Woyla, milik Garuda.
Departemen Penerangan semula sama sekali melarang pers
memberitakannya. Sementara Kopkamtib tetap memperbolehkannya
asal pers hanya memberitakan siaran resmi pemerintah.
Ternyata sore harinya Sinar Harapan beredar dengan berita utama
soal pembajakan. Kompas yang terbit sehari kemudian hanya
memberitakannya secara singkat -- mengutip penjelasan sejumlah
cabat. Bahkan pada penutup beritanya dibubuhi catatan, "oleh
karena beberapa sebab, bahan-bahan yang sejauh ini terus
dikumpulkan oleh Kompas, belum bisa disiarkan." Sikap menaati
himbauan Kopkamtib itu masih diteruskannya pada terbitan 30
Maret -- juga dibubuhi catatan tadi.
Corengan Hitam
Tapi hari Senin itu berbagai koran -- setelah menganggap
pengekangan tidak efektif -- menunjukkan keaneka-ragaman sikap.
Koran Angkatan Bersenjata, misalnya, menyajikan peristiwa itu
dengan mengutip sejumlah sumber dan mewawancarai keluarga awak
pesawat. Mimbar Umum (Medan) mengutip sejumlah stasiun radio
asing malah sudah memberitakan dua sandera lolos -- seorang di
antaranya luka ditembak. Tapi secara menyolok pula koran The
Indoneian Observer bahkan mengosongkan beberapa kolom halaman
pertamanya: kena sensor.
Sikap pemerintah ingin mengendalikan pemberitaan itu membekas
juga pada media cetak asing. Berbagai koran asing edisi Senin
dan Selasa (31 Maret) terkena corengan hitam. Koran Bangkok
Post terutama, yang menempatkan pembajakan sebagai berita
utama, habis dicorengi. Tapi pemerintah tak bisa menghambat
(jamming) stasiun radio asing.
Pers Indonesia untuk kesekian kalinya diminta menahan diri.
Dengan mengendalikan pers, menurut Sukarno SH, Dirjen Pembinaan
Pers dan Grafika, pemerintah ingin mengurangi pemberitaan yang
ngombro-ngombro (simpangsiur). Pemerintah, katanya, juga ingin
mencegah pemberitaan pers yang dipakai sebagai petunjuk bagi
pembajak melakukan tindakan tak terduga. "Kalau pemberitaan pers
tidak direm, masyarakat bisa bingung," kata Sukarno lagi.
Menjelaskan lagi sikap pemerintah itu, Pangkopkamtib Laksamana
Sudomo dan Menteri Penerangan Ali Moertopo Senin malam
mengadakan pertemuan dengan para redaktur. Sebagian besar
penjelasan kedua pejabat itu mengenai tuntutan dan latar
belakang pembajak bersifat off-the-record. Hal itu membuat
sejumlah pimpinan redaksi merasa masygul.
Kompas, yang selama ini menahan diri, keesokan harinya, 31
Maret, mengungkapkan perasaannya dalam suatu tajuk rencana. Di
situ ia menganjurkan agar pemerintah sebaiknya memberikan
informasi secara faktual dan dewasa kepada masyarakat. Cara itu,
menurut Kompas, masih lebih baik ketimbang membiarkan masyarakat
meraba-raba keadaan dan mengandalkan sumber informasi pada kabar
angin. "Pemberitaan yang bertanggungjawab akan mampu
mempertimbangkan segala segi yang negatif akibat pemberitaan
suatu peristiwa termasuk segi keamanan yang jelas juga harus
menjadi pertimbangan suratkabar," tulisnya.
Ketika Kompas masih mengeluh, Berita Buana keluar dengan berita
eksklusif, tanpa menahan diri lagi. Hanya dialah satu-satunya
koran Indonesia yang hari Selasa pagi itu memberitakan bahwa
pasukan komando sudah membebaskan para sandera. Bahkan ia juga
sempat memberitakan peristiwa penembakan atas Presiden AS Ronald
Reagan. Keunggulan tersebut bisa diraihnya dengan mengundurkan
deadline yang biasanya tengah malam menjadi pukul 03.30. "Saya
punya feeling pasti akan ada penyerbuan," kata Sk. H. Wibowo,
Pemimpin Redaksi Berita Buana. Dan benar, menjelang pukul 03.00
masuk berita AP yang melaporkan pembebasan sandera. Setengah jam
kemudian masuk berita penembakan atas Reagan.
Peristiwa bagus dinihari Selasa itu langsung disambar Sinar
Harapan. Secara panjang lebar koran ini menyajikan upaya
pembebasan langsung dari hasil laporan wartawannya di lapangan
terbang Don Muang, tempat kejadian terakhir. Ia juga melengkapi
laporannya dengan latar belakang dan kaitan peristiwa itu dengan
siaran Kopkamtib pada pagi hari itu.
Baru pada keesokan harinya, Kompas dan berbagai koran pagi
lainnya memuat peristiwa itu panjang lebar. Sementara pemerintah
juga mulai mengendurkan sensur atas koran asing. Persoalan itu
sudah selesai, namun Pers Indonesia tampaknya masih akan
menjumpai banyak kasus lain, sekitar hal boleh atau tidak boleh
disiarkan. Meskipun alasan pemerintah bisa mereka mengerti, tak
jarang pers bingung: yang mana yang boleh, yang mana yang tidak?
(lihat box)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini