Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ada yang kosong, ada yang hitam

Kebijaksanaan pemerintah dalam hal pemberitaan pembajakan pesawat terbang garuda dc-9 "woyla". dan keaneka ragaman sikap korban dalam menyajikan peristiwa pembajakan tersebut. (md)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGKOPKAMTIB Laksamana Sudomo sering menyelenggarakan pertemuan pers. Tapi seringkali pers agak sulit mengutip sejumlah penjelasannya. Sebagian besar keterangan diberikannya off-the-record (tidak untuk dikutip). Seperti terjadi lagi ketika pemerintah menangani peristiwa pembajakan (28 Maret) pesawat terbang DC-9 Woyla, milik Garuda. Departemen Penerangan semula sama sekali melarang pers memberitakannya. Sementara Kopkamtib tetap memperbolehkannya asal pers hanya memberitakan siaran resmi pemerintah. Ternyata sore harinya Sinar Harapan beredar dengan berita utama soal pembajakan. Kompas yang terbit sehari kemudian hanya memberitakannya secara singkat -- mengutip penjelasan sejumlah cabat. Bahkan pada penutup beritanya dibubuhi catatan, "oleh karena beberapa sebab, bahan-bahan yang sejauh ini terus dikumpulkan oleh Kompas, belum bisa disiarkan." Sikap menaati himbauan Kopkamtib itu masih diteruskannya pada terbitan 30 Maret -- juga dibubuhi catatan tadi. Corengan Hitam Tapi hari Senin itu berbagai koran -- setelah menganggap pengekangan tidak efektif -- menunjukkan keaneka-ragaman sikap. Koran Angkatan Bersenjata, misalnya, menyajikan peristiwa itu dengan mengutip sejumlah sumber dan mewawancarai keluarga awak pesawat. Mimbar Umum (Medan) mengutip sejumlah stasiun radio asing malah sudah memberitakan dua sandera lolos -- seorang di antaranya luka ditembak. Tapi secara menyolok pula koran The Indoneian Observer bahkan mengosongkan beberapa kolom halaman pertamanya: kena sensor. Sikap pemerintah ingin mengendalikan pemberitaan itu membekas juga pada media cetak asing. Berbagai koran asing edisi Senin dan Selasa (31 Maret) terkena corengan hitam. Koran Bangkok Post terutama, yang menempatkan pembajakan sebagai berita utama, habis dicorengi. Tapi pemerintah tak bisa menghambat (jamming) stasiun radio asing. Pers Indonesia untuk kesekian kalinya diminta menahan diri. Dengan mengendalikan pers, menurut Sukarno SH, Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, pemerintah ingin mengurangi pemberitaan yang ngombro-ngombro (simpangsiur). Pemerintah, katanya, juga ingin mencegah pemberitaan pers yang dipakai sebagai petunjuk bagi pembajak melakukan tindakan tak terduga. "Kalau pemberitaan pers tidak direm, masyarakat bisa bingung," kata Sukarno lagi. Menjelaskan lagi sikap pemerintah itu, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan Menteri Penerangan Ali Moertopo Senin malam mengadakan pertemuan dengan para redaktur. Sebagian besar penjelasan kedua pejabat itu mengenai tuntutan dan latar belakang pembajak bersifat off-the-record. Hal itu membuat sejumlah pimpinan redaksi merasa masygul. Kompas, yang selama ini menahan diri, keesokan harinya, 31 Maret, mengungkapkan perasaannya dalam suatu tajuk rencana. Di situ ia menganjurkan agar pemerintah sebaiknya memberikan informasi secara faktual dan dewasa kepada masyarakat. Cara itu, menurut Kompas, masih lebih baik ketimbang membiarkan masyarakat meraba-raba keadaan dan mengandalkan sumber informasi pada kabar angin. "Pemberitaan yang bertanggungjawab akan mampu mempertimbangkan segala segi yang negatif akibat pemberitaan suatu peristiwa termasuk segi keamanan yang jelas juga harus menjadi pertimbangan suratkabar," tulisnya. Ketika Kompas masih mengeluh, Berita Buana keluar dengan berita eksklusif, tanpa menahan diri lagi. Hanya dialah satu-satunya koran Indonesia yang hari Selasa pagi itu memberitakan bahwa pasukan komando sudah membebaskan para sandera. Bahkan ia juga sempat memberitakan peristiwa penembakan atas Presiden AS Ronald Reagan. Keunggulan tersebut bisa diraihnya dengan mengundurkan deadline yang biasanya tengah malam menjadi pukul 03.30. "Saya punya feeling pasti akan ada penyerbuan," kata Sk. H. Wibowo, Pemimpin Redaksi Berita Buana. Dan benar, menjelang pukul 03.00 masuk berita AP yang melaporkan pembebasan sandera. Setengah jam kemudian masuk berita penembakan atas Reagan. Peristiwa bagus dinihari Selasa itu langsung disambar Sinar Harapan. Secara panjang lebar koran ini menyajikan upaya pembebasan langsung dari hasil laporan wartawannya di lapangan terbang Don Muang, tempat kejadian terakhir. Ia juga melengkapi laporannya dengan latar belakang dan kaitan peristiwa itu dengan siaran Kopkamtib pada pagi hari itu. Baru pada keesokan harinya, Kompas dan berbagai koran pagi lainnya memuat peristiwa itu panjang lebar. Sementara pemerintah juga mulai mengendurkan sensur atas koran asing. Persoalan itu sudah selesai, namun Pers Indonesia tampaknya masih akan menjumpai banyak kasus lain, sekitar hal boleh atau tidak boleh disiarkan. Meskipun alasan pemerintah bisa mereka mengerti, tak jarang pers bingung: yang mana yang boleh, yang mana yang tidak? (lihat box)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus