TAHTA UNTUK RAKYAT
Celah-celah kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX.
Dihimpun oleh: Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar
S. Maimoen. Disunting oleh: Atmakusumah.
Penerbit: Gramedia, Jakarta 1982
Tebal buku: 384 halaman, termasuk lampiran dan indeks.
SEKARANG, setiap orang dapat membaca "celah-celah kehidupan"
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sejak masa kanak-kanak. Banyak
hal yang menarik dalam buku ini. Misalnya betapa seorang yang
lahir "berdarah biru" dari lingkungan feodal, kemudian tampil
dalam gelanggang sejarah RI membawakan pribadi yang demokratis,
lugu, banyak senyum, sedikit bicara, dan tidak pernah kedengaran
berteriak. Pengaruh tradisi dan modernitas pada pribadi Sultan
merupakan perpaduan Timur dan Barat yang memang sudah
diucapkannya sebagai niat, ketika pada usia 28 dinobatkan
menjadi raja pada 1940.
Selama periode berikutnya, yang menyita separuh usia, sejak masa
proklamasi sampai sekarang, Sri Sultan telah memegang berbagai
peranan dan jabatan, termasuk yang bukan politik. Sultan dalam
pada itu orang yang "tahu sangat banyak", tapi betapapun masih
banyak yang disimpan, tidak diungkapkan dalam buku.
Riwayat hidupnya dimulai hari Sabtu Paing 25 Rabiulakir, tahun
Jimakir 1842, bertepatan dengan 12 April 1912. Lahirlah bayi
lelaki tunggal dari rahim wanita bangsawan R.A. Kustilah,
bergelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom, putri Pangeran
Mangkubumi. Setelah sepasar, bayi lelaki itu diberi nama
Dorodjatun (derajat), sesuai dengan harapan ayahanda, Gusti
Pangeran Haryo Puruboyo yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan
Hamengku Buwono VIII. Dorodjatun sendiri kemudian hari diangkat
menjadi Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra
Narendra Ing Mataram, dan dinobatkan menjadi Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga
Sayidin Panatagama Kalipatullah IX.
Gelar yang panjang itu tidak banyak dikenal di luar lingkungan
tembok kraton, apalagi di kalangan kaum muda. Bahkan selagi masa
berkobarnya revolusi 1945, ketika rakyat mengenal para pemimpin
dengan sebutan Bung, tidak urung 'Sampeyan Dalem' juga disebut
Bung Sultan. Bung Sultan pun nampak biasa-biasa saja. Sejak umur
4 tahun, Dorodjatun sudah biasa hidup di luar istana. Pernah
indekos pada keluarga Belanda. Menurut ayahanda, "supaya dapat
hidup dengan disiplin dan seperti penduduk biasa."
Di lingkungan keluarga Mulder, Dorojatun diberi nama panggilan
Hengkie. Nama ini melekat terus sampai masa mudanya, ketika
memasuki Gymnasium di Haarlem, kemudian meneruskan studinya di
Rijksuniversiteit di Leiden, Holland, mengambil jurusan
Indologi. Hengkie lulus ujian kandidat tahun 1937, sehingga
boleh melanjutkan pada tingkat doktoral. Tapi terputus.
Mendadak dunia terasa panas. September 1939 Hitler menyerbu
Polandia. Pecah Perang Dunia II. Hamengku Buwono VIII, jauh di
Mataram, cemas. Segera memanggil pulang putranya. Menumpang
kapal Dempo, kapal barang yang dijejali orang-orang yang mau
pulang mudik menghindari perang, Dorodjatun terselip dalam
gundukan penumpang itu menelusuri jalur pelayaran samudra,
mengitari ujung Afrika Selatan dan mengarungi Samudra Hindia.
Tiba di Betawi bertemu dengan sang ayah, yang sudah mengidap
sakit diabetes. Menginap di Hotel des Indes. Dalam suasana
bersyukur campur prihatin itulah, sang ayah, Sultan Hamengku
Buwono VIII, menyerahkan keris pusaka kraton: Kiat Jaka Piturun,
kepada Dorodjatun, putra tunggal dari garwa padni (permaisuri
Red). Ini mengandung firasat, Raja sudah dekat saatnya untuk
pulang ke rahmatullah. Dan benar. Tiga hari kemudian, dalam
perjalanan naik kereta api dari Betawi ke Yogya, sang Raja jatuh
pingsan dan tidak pernah sadarkan diri kembali. Dari Stasiun
Tugu langsung diangkut ke rumah sakit Onder de Bogen --Panti
Rapih sekarang. Hari berikutnya, Minggu Kliwon 22 Oktober 1939,
sang Raja wafat.
Dorodjatun, pemuda 27 tahun, mahasiswa tingkat doktoral jurusan
Indologi, menjadi calon Sultan Hamengku Buwono IX, harus
merundingkan kontrak politik baru dengan "jago tua" Gubernur
Belanda Dr. Lucien Adam, yang berusia 60 tahun. Ternyata tidak
mudah. Dorodjatun tidak gampang ditundukkan -- terutama dalam
merumuskan jabatan Patih, Dewan Penasihat dan Prajurit Kraton.
Diplomasi maraton yang amat meletihkan kedua belah pihak itu
memakan waktu 4 bulan -- November 1939 sampai Februari 1940.
Akhirnya terselesaikan secara aneh. Pada perundingan terakhir,
Hengkie alias Dorodjatun mempersilakan Gubernur Dr. Lucien Adam
untuk menyusun sendiri kontrak politik baru. Tanpa membaca lagi
isinya, calon Hamengku Buwono IX langsung membubuhkan tanda
tangan. Dr. Adam terheran-heran. Dorodjatun nampak biasa saja,
sebab semalam sudah menerima pesan lewat 'suara gaib':
"Tandatangani saja. Belanda bakal pergi dari bumi sini . . ."
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat, terdapat kata sambutan Presiden
Soeharto, Wakil Presiden Adam Malik, dan Pangeran Bernhard dari
Nederland. Selain itu sejumlah tulisan dari tokoh-tokoh lain
yang mengenal dekat pribadi Sri Sultan. Tentu saja semuanya
bernada nostalgia, dan tanpa kritik.
Menarik juga untuk mengetahui kesan-kesan mereka dalam ungkapan
singkat. Misalnya, apa yang akan terjadi dengan republik, jika
tidak ada Hamengku Buwono IX? (Mohamad Roem). Bagaimana seorang
Sultan bisa berperan penting dalam republik yang dilahirkan
revolusi kerakyatan? (T.B. Simatupang). Pangeran di sebuah
republik, seorang patriot yang unik (T.K. Critchley). Bertugas
dengan Sri Sultan (A.H. Nasution). "Penjaga Gawang" perjuangan
kemerdekaan (Mohamad Natsir). Terbuka bagi perubahan dan tegas
dalam prinsip (A.R. Baswedan). Kesan-kesan Wong cilik tentang
Rajanya (S.K. Trimurti). Bung Sultan yang demokratis (Rosihan
Anwar). Pemimpin monarki yang cepat tanggap terhadap perubahan
(Yulius Tahija).
Buku ini dihiasi foto dokumentasi yang lumayan dan autentik.
Sudjoko Prasodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini