Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sultan yang demokrat

Disunting: atmakusumah jakarta: gramedia, 1982 resensi oleh: sudjoko prasodjo. (bk)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHTA UNTUK RAKYAT Celah-celah kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Dihimpun oleh: Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiniyati Mochtar S. Maimoen. Disunting oleh: Atmakusumah. Penerbit: Gramedia, Jakarta 1982 Tebal buku: 384 halaman, termasuk lampiran dan indeks. SEKARANG, setiap orang dapat membaca "celah-celah kehidupan" Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sejak masa kanak-kanak. Banyak hal yang menarik dalam buku ini. Misalnya betapa seorang yang lahir "berdarah biru" dari lingkungan feodal, kemudian tampil dalam gelanggang sejarah RI membawakan pribadi yang demokratis, lugu, banyak senyum, sedikit bicara, dan tidak pernah kedengaran berteriak. Pengaruh tradisi dan modernitas pada pribadi Sultan merupakan perpaduan Timur dan Barat yang memang sudah diucapkannya sebagai niat, ketika pada usia 28 dinobatkan menjadi raja pada 1940. Selama periode berikutnya, yang menyita separuh usia, sejak masa proklamasi sampai sekarang, Sri Sultan telah memegang berbagai peranan dan jabatan, termasuk yang bukan politik. Sultan dalam pada itu orang yang "tahu sangat banyak", tapi betapapun masih banyak yang disimpan, tidak diungkapkan dalam buku. Riwayat hidupnya dimulai hari Sabtu Paing 25 Rabiulakir, tahun Jimakir 1842, bertepatan dengan 12 April 1912. Lahirlah bayi lelaki tunggal dari rahim wanita bangsawan R.A. Kustilah, bergelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom, putri Pangeran Mangkubumi. Setelah sepasar, bayi lelaki itu diberi nama Dorodjatun (derajat), sesuai dengan harapan ayahanda, Gusti Pangeran Haryo Puruboyo yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono VIII. Dorodjatun sendiri kemudian hari diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Ing Mataram, dan dinobatkan menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalipatullah IX. Gelar yang panjang itu tidak banyak dikenal di luar lingkungan tembok kraton, apalagi di kalangan kaum muda. Bahkan selagi masa berkobarnya revolusi 1945, ketika rakyat mengenal para pemimpin dengan sebutan Bung, tidak urung 'Sampeyan Dalem' juga disebut Bung Sultan. Bung Sultan pun nampak biasa-biasa saja. Sejak umur 4 tahun, Dorodjatun sudah biasa hidup di luar istana. Pernah indekos pada keluarga Belanda. Menurut ayahanda, "supaya dapat hidup dengan disiplin dan seperti penduduk biasa." Di lingkungan keluarga Mulder, Dorojatun diberi nama panggilan Hengkie. Nama ini melekat terus sampai masa mudanya, ketika memasuki Gymnasium di Haarlem, kemudian meneruskan studinya di Rijksuniversiteit di Leiden, Holland, mengambil jurusan Indologi. Hengkie lulus ujian kandidat tahun 1937, sehingga boleh melanjutkan pada tingkat doktoral. Tapi terputus. Mendadak dunia terasa panas. September 1939 Hitler menyerbu Polandia. Pecah Perang Dunia II. Hamengku Buwono VIII, jauh di Mataram, cemas. Segera memanggil pulang putranya. Menumpang kapal Dempo, kapal barang yang dijejali orang-orang yang mau pulang mudik menghindari perang, Dorodjatun terselip dalam gundukan penumpang itu menelusuri jalur pelayaran samudra, mengitari ujung Afrika Selatan dan mengarungi Samudra Hindia. Tiba di Betawi bertemu dengan sang ayah, yang sudah mengidap sakit diabetes. Menginap di Hotel des Indes. Dalam suasana bersyukur campur prihatin itulah, sang ayah, Sultan Hamengku Buwono VIII, menyerahkan keris pusaka kraton: Kiat Jaka Piturun, kepada Dorodjatun, putra tunggal dari garwa padni (permaisuri Red). Ini mengandung firasat, Raja sudah dekat saatnya untuk pulang ke rahmatullah. Dan benar. Tiga hari kemudian, dalam perjalanan naik kereta api dari Betawi ke Yogya, sang Raja jatuh pingsan dan tidak pernah sadarkan diri kembali. Dari Stasiun Tugu langsung diangkut ke rumah sakit Onder de Bogen --Panti Rapih sekarang. Hari berikutnya, Minggu Kliwon 22 Oktober 1939, sang Raja wafat. Dorodjatun, pemuda 27 tahun, mahasiswa tingkat doktoral jurusan Indologi, menjadi calon Sultan Hamengku Buwono IX, harus merundingkan kontrak politik baru dengan "jago tua" Gubernur Belanda Dr. Lucien Adam, yang berusia 60 tahun. Ternyata tidak mudah. Dorodjatun tidak gampang ditundukkan -- terutama dalam merumuskan jabatan Patih, Dewan Penasihat dan Prajurit Kraton. Diplomasi maraton yang amat meletihkan kedua belah pihak itu memakan waktu 4 bulan -- November 1939 sampai Februari 1940. Akhirnya terselesaikan secara aneh. Pada perundingan terakhir, Hengkie alias Dorodjatun mempersilakan Gubernur Dr. Lucien Adam untuk menyusun sendiri kontrak politik baru. Tanpa membaca lagi isinya, calon Hamengku Buwono IX langsung membubuhkan tanda tangan. Dr. Adam terheran-heran. Dorodjatun nampak biasa saja, sebab semalam sudah menerima pesan lewat 'suara gaib': "Tandatangani saja. Belanda bakal pergi dari bumi sini . . ." Dalam buku Tahta Untuk Rakyat, terdapat kata sambutan Presiden Soeharto, Wakil Presiden Adam Malik, dan Pangeran Bernhard dari Nederland. Selain itu sejumlah tulisan dari tokoh-tokoh lain yang mengenal dekat pribadi Sri Sultan. Tentu saja semuanya bernada nostalgia, dan tanpa kritik. Menarik juga untuk mengetahui kesan-kesan mereka dalam ungkapan singkat. Misalnya, apa yang akan terjadi dengan republik, jika tidak ada Hamengku Buwono IX? (Mohamad Roem). Bagaimana seorang Sultan bisa berperan penting dalam republik yang dilahirkan revolusi kerakyatan? (T.B. Simatupang). Pangeran di sebuah republik, seorang patriot yang unik (T.K. Critchley). Bertugas dengan Sri Sultan (A.H. Nasution). "Penjaga Gawang" perjuangan kemerdekaan (Mohamad Natsir). Terbuka bagi perubahan dan tegas dalam prinsip (A.R. Baswedan). Kesan-kesan Wong cilik tentang Rajanya (S.K. Trimurti). Bung Sultan yang demokratis (Rosihan Anwar). Pemimpin monarki yang cepat tanggap terhadap perubahan (Yulius Tahija). Buku ini dihiasi foto dokumentasi yang lumayan dan autentik. Sudjoko Prasodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus