Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Depresi akibat Lembur di Hari Libur

Para karyawan yang kerap bekerja lembur pada akhir pekan lebih rentan terkena depresi.

20 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
www.sanfranciscoemploymentlawfirm.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bekerja pada akhir pekan atau hari libur belakangan menjadi hal yang lazim terjadi. Semakin banyak perusahaan dan unit bisnis yang beroperasi setiap hari, bahkan hingga akhir pekan. Hal ini membuat semakin banyak tenaga kerja yang harus masuk kerja pada hari libur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi ini, menurut penelitian dari University College London, memiliki dampak buruk terhadap kesehatan mental pekerja. "Para karyawan, yang bekerja di akhir pekan atau hari libur, menunjukkan gejala depresi lebih banyak ketimbang mereka yang bekerja di hari kerja pada umumnya," kata Gillian Weston, peneliti yang memimpin penelitian ini, seperti dikutip dari Reuters, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasil itu didapatkan Gillian dan timnya setelah mereka memeriksa data survei dari 11.215 pria dan 12.188 wanita yang bekerja di Inggris pada 2010 dan 2012. Hampir separuh dari perempuan itu bekerja kurang dari 35 jam setiap pekan, sedangkan jam kerja kaum laki-laki lebih panjang. Survei itu juga mengungkapkan, setengah dari partisipan perempuan kerap bekerja pada akhir pekan. Sementara itu, jumlah laki-laki yang kerap lembur akhir pekan mencapai dua pertiga dari jumlah partisipan survei.

Para peneliti menemukan bahwa karyawan perempuan yang bekerja di akhir pekan terindikasi memiliki lebih banyak gejala depresi daripada rekan mereka yang bekerja pada hari biasa. Sementara itu, mayoritas pekerja laki-laki yang kerap bekerja pada akhir pekan menyatakan ketidaksukaannya terhadap kondisi pekerjaan mereka tersebut.

Dibandingkan dengan mereka yang bekerja "standar" 35 hingga 40 jam sepekan, pria yang bekerja lebih sedikit memiliki lebih banyak gejala depresi. Namun wanita memiliki risiko depresi yang lebih besar ketika mereka bekerja setidaknya 55 jam seminggu. "Hasil penelitian kami menunjukkan perbedaan gender dalam hubungan antara jam kerja dan gejala depresi," kata Gillian Weston.

Weston menjelaskan, kaum perempuan yang memilih pekerjaan dengan jam kerja lebih panjang dan tidak teratur sebetulnya mendapatkan banyak manfaat sosial, ekonomi, dan kesehatan. Namun, ujar dia, para pemilik perusahaan dan anggota keluarga harus mempertimbangkan untuk lebih mendukung para karyawan perempuan yang punya jam kerja lebih panjang ini.

Studi yang dilakukan Weston dan rekan-rekannya ini dipublikasikan dalam Journal of Epidemiology & Community Health. Menurut dia, penelitian ini tidak bermaksud membuktikan apakah jadwal kerja atau jumlah jam kerja per pekan dapat secara langsung meningkatkan risiko depresi. Para peneliti pun mengingatkan agar kaum pekerja mengenali sendiri gejala depresi yang mereka rasakan. "Dengan penelitian ini, kami mengingatkan para pemilik perusahaan agar lebih peduli terhadap kesehatan mental pekerjanya."

Weston juga menyarankan agar perusahaan mengubah iklim kerja yang penuh tuntutan yang tidak realistis dan upah rendah menjadi iklim yang mendukung dan menghargai para pekerja. "Yang terpenting, para pekerja merasa mereka memiliki kendali, merasa mereka memiliki tujuan, dan punya waktu yang cukup untuk berlibur," kata dia. "Ini akan membuat pekerja, baik pria dan wanita, jadi lebih bahagia dan lebih sehat-yang tentu saja bakal menguntungkan perusahaan."

Peneliti dari Universitas Lancaster, Sabir Giga, menjelaskan korelasi antara jam kerja yang panjang dan kesehatan mental adalah semakin berkurangnya waktu yang dimiliki seseorang untuk terlibat dalam kegiatan sosial, kehidupan pribadi, dan beristirahat. Pekerja perempuan, kata dia, mungkin lebih rentan terkena depresi karena mereka punya beban tanggung jawab rumah tangga lebih banyak. "Sehingga waktu luang mereka semakin berkurang."

Pekerja memang sulit mengatur jam mereka atau jadwal pekerjaan sesuai dengan keinginan mereka. Namun, ujar Sabir, mereka masih bisa mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko depresi. Beberapa di antaranya adalah dengan beristirahat teratur sambil bekerja, memprioritaskan pekerjaan, belajar untuk mengatakan "tidak", dan tidak terlalu berkomitmen pada diri sendiri. Mereka juga bisa bekerja dari rumah atau secara fleksibel bila memungkinkan, berkomunikasi secara teratur dan terbuka dengan anggota keluarga, mitra dan kolega, serta memanfaatkan waktu luang dengan lebih baik saat jauh dari pekerjaan. PRAGA UTAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus