Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di tubuhmu kulihat tato

Dengan adanya isu orang yang bertato akan dibunuh, jumlah permintaan untuk ditato menjadi turun bahkan mereka datang untuk menghapus tatonya. (sd)

12 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA sosok mayat mengapung di Kali Porong -- antara Mojokerto dan Bangil, Jawa Timur. Ada tattoo di tubuh mereka. Banyak lelaki Jawa Timur yang tubuhnya bertato lantas geger. Sebab dua mayat di awal Januari itu merupakan "bukti" benarnya isu bahwa orang-orang bertato akan diculik dan dibunuh. Mereka dianggap bromocorah. Banyak pemuda dari Madiun Jombang, Kediri, berbondong-bondong ke Surabaya mencari orang yang bisa menghapus bekas tato (TEMPO, 29 Januari, Indonesiana). Dan meskipun isu "orang bertato akan diculik" tidak benar (seperti dikatakan Danres 1042 Pare, Mayor Pol. Sarwono, tukang-tukang bikin tato pada bangkrut. Setidaknya, jumlah orang yang datang minta ditato oleh Mulyono misalnya, turun sekitar 25%. "Sekarang malah lebih banyak yang minta dihilangkan tatonya," kata tukang tato berumur 33 tahun itu, di Kampung Gembong Surabaya. Banyak di antara langganannya keturunan Cina. Mereka itu dulunya harus membayar antara Rp 2.500 dan Rp 3.000 sekali tato. Untuk tato ukuran seluas punggung atau dada, biaya bisa dirundingkan lagi. Tapi konon bisa sampai Rp 15.000. Bersama istri dan empat anaknya, Mulyono tinggal di sebuah rumah kecil dari bambu ukuran 4 x 7 meter. Pekerjaan mentato itu sebenarnya hanya sambilan: sehari-hari ia bekerja di sebuah percetakan. Nah. Karena kini banyak orang yang datang minta tatonya dihilangkan, dan itu juga berarti uang, Mulyono sekarang malah ingin sekali punya keahlian menghapus goresan kulit yang coreng-moreng itu. "Saya ingin menjadi orang pertama yang bisa menghapus tato," katanya. Berbagai upaya sudah dicobanya. Dengan obat-obatan yang biasa dipergunakan di percetakan atau obat-obat fotografi, dengan cairan susu dicampur obat merah, dengan air kapur campur air jeruk peres. Hasilnya nol. Tapi sebenarnya, menurut Pandus Sihombing, 35 tahun, tukang tato dari Medan, tato di tubuh orang yang tidak "berisi" (tak punya "kekuatan batin" mudah dihapus. "Apalagi kalau membuatnya dulu hanya iseng," tambahnya. Tapi Pandus sendiri, sudah 16 tahun dadanya bertato gambar perahu bajak laut -- plus huruf-huruf Cina berbunyi Singapura-Indonesia, "Masih lekat saja sampai sekarang, padahal sudah lima kali mau saya hapus," katanya. Apakah Pandus ingin mengatakan bahwa tubuhnya memang "berisi"? Nyatanya tato semua anak buahnya juga tak mau hilang. Pandus, anggota Seksi Keamanan Yayasan Prems Medan Timur ini, memang pernah mentato 20 orang dari mereka dengan gambar kalajengking di dada, tangan dan punggung. Entah kalau mereka semuanya juga punya ilmu kebal. Yang jelas, katanya, kini banyak anak buahnya yang menyesal. "Habis tidak seorang pun yang dapat diterima bekerja di perusahaan bonafid -- gara-gara badannya bertato," ujarnya. Sejak 1977 memang mulai banyak orang Medan yang tidak lagi bertato. Pandus sendiri kini sering malu membuka bajunya. Kata tattoo berasal dari bahasa Tahiti. Tapi goresan-goresan di tubuh manusia itu sudah ditemukan pada sebuah mumi dari tahun 2000 SM di Mesir. Dulu tato dianggap bisa menciptakan semacam kekuatan batin untuk melawan penyakit atau nasib sial. Ada pula segolongan orang yang menganggap tato sebagai lambang status. Atau ciri satu kelompok tertentu -- misalnya pada bentuk gambarnya. Maklum, orang dulu 'kan pada tidak pakai baju? Nah. Tato yang berasal dari kebudayaan primitif itu ternyata dikenal atau pernah dikenal oleh semua bangsa, konon. Bahkan, dan ini yang menarik, pada 1891 pemerintah AS mengakui hak paten seorang pembuat alat tato listrik. Tapi 70 tahun kemudian, 1961, Pemda New York malah melarang praktek mentato. Sebab ketika itu diduga rajah tubuh tersebut bisa menyebabkan kanker, sementara jarumnya bila tidak steril bisa menimbulkan penyakit kuning. Ini juga aneh, mungkin. Di Indonesia, orang umumnya menganggap tato sebagai lambang kejantanan. Setidak-tidaknya para pemakainya sendiri. Bagi yang tidak pakai, umumnya tato cenderung melambangkan yang serem-serem. Itulah sebabnya banyak para residivis atau juga petugas keamanan pelabuhan misalnya, bertato. Celakanya, lantas ada semacam anggapan bahwa orang bertato biasanya "jahat" atau "bekas penjahat". Lihatlah yang perempuan saja. Yang pada bertato umumnya kan para pelacur, atau paling tidak penari klub malam misalnya? Mana ada dosen perempuan yang bertato. Atau ustazah. Sekarang seluk-beluk mentato. Ada yang mentato menggunakan jarum biasa. Ada pula yang pakai alat khusus yang digerakkan listrik -- umumnya bikinan sendiri. Bentuk pegangannya yang dari kayu menyerupai gagang pistol, dilengkapi kumparan kawat yang melingkari besi spoel. Kawat inilah yang mengalirkan listrik ke sebatang jarum melalui sebuah pelat baja. Dan getaran listrik itu menggerakkan pelat baja dan jarum yang merajah kulit. Kedalaman rajah diatur dengan sebatang per. TUKANG tato biasanya memiliki sejumlah pola -- mulai dari gambar belati, ular naga, kalajengking, tengkorak, sampai gambar wanita atau bunga. Tidak sedikit pula calon tatowan yang membawa gambar sendiri. Gambar yang dipilih kemudian dilukis pada kertas tertentu, lantas ditempel pada kulit setelah diolesi cairan tertentu, agar garis-garis gambar menempel. Dan garis-garis itulah yang kemudian digores-gores dengan jarum, setelah diberi cairan tinta Cina, jelaga atau tinta tulis biasa. Sekarang banyak tukang tato yang menggunakan cairan bermacam warna. Sekali mentato (ukuran kecil dan sedang) makan waktu 1 sampai 2 jam. Yang seluas dada misalnya, atau punggung, bisa 4-5 jam. Menurut para tatowan, kulit yang digores-gores itu tidak terlalu sakit. Hanya seperti, yah, digigit semut, kata mereka. Hanya, agar tidak menimbulkan infeksi, tukang tato biasanya mengoleskan alkohol. Sedang jarumnya konon senantiasa diusahakan steril. Sedikit darah dan getah bening merembes. Biasa, tak apa-apa. Seminggu kemudian sudah sembuh. Boleh mandi, hanya kulit yang ditato dilarang terkena sabun. Di Denpasar, ada tukang tato yang mewarisi profesi dari orangtuanya. Waktu masih belasan tahun Gde Surya, kini 22 tahun, belajar mentato dari ayahnya, Gde Dwita. Sehari rata-rata mentato 4-5 orang. "Imbalannya terserah berapa saja, sebab umumnya mereka itu teman-teman saya." Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri Surya yang berpendidikan SMEP kelas II ini membuat patung. Memang, seperti juga Mulyono dan Pandus Sihombing tadi, para tukang tato umumnya tidak mengandalkan seni pertatoan sebagai gantungan hidup. Lain halnya dengan Aceng Yudhistira, 47 tahun, dari Bandung. Di antara lima tukang tato di sana, "hanya saya satu-satunya yang 100% mengandalkan mata pencaharian dari tato," katanya. Dengan tato pulalah orang yang dikenal dengan panggilan Aceng Tato ini menghidupi istri dan empat anaknya. Langganannya banyak. Ada pegawai negeri, polisi, anggota ABRI. Ada seorang langganan Aceng yang mengaku tato bisa menyembuhkan rematik. Ia adalah Sukandi, 68 tahun, pensiunan letnan TNI-AU. Karena ditato Aceng, encok berat yang dideritanya sejak 1977 hilang, katanya. "Tangan yang tadinya sukar digerakkan, jadi enteng!" Akhirnya Sukandi, ayah sepuluh anak dan kakek 57 cucu, jadi ketagihan tato. Tubuhnya kini penuh tato, antara lain lambang Panti Wreda dan tulisan Sukandi-Rochati. Rochati itu nama istrinya. Mudah-mudahan rukun selalu. Salam kompak. Aceng, yang hampir setiap hari mentato orang, malah mengaku sering melayani langganan di Jakarta, Semarang, Surabaya -- "pokoknya kota-kota yang ada pelabuhannya." Ia juga pernah mentato 30 orang pekerja yang akan diberangkatkan ke Kuwait sebagai satuan keamanan. Juga pernah diminta mentato 15 anggota Wanadri. "Semuanya gambar laba-laba," katanya. Lihat. Bukan hanya orang nakal yang pada bertato, bukan? Tak heran bila beberapa tukang tato di Bandung dan sekitarnya pernah menjadi muridnya. Toh bapak dua anak ini enggan mentato anak-anak belasan tahun. "Karena tato tidak bisa dihapus, saya khawatir itu akan mempersulit masa depan mereka," ujarnya. Aceng juga punya langganan para wanita tidak selamanya pelacur, konon. Bagaimana kalau lagi mentato payudara, Ceng "Ah biasa-biasa saja" ..... Bagi Mohammad Charlie, tukang tato di kawasan Pasar Baru, Jakarta, "rasanya agak canggung mentato kaum wanita." Maklum, si pemesan kadang-kadang memaksanya mentato pada bagian-bagian tertentu. "Tapi yang paling saya takuti sebenarnya mentato di alis mata. Saya selalu menolak permintaan itu," katanya. Menurut dia, mentato di dekat alis sukar sekali, sebab dekat saraf mata. "Tapi membuat tato, apalagi bila pemesannya senang, sebenarnya memberi kepuasan," katanya lagi. Sebaliknya Ingkiat Hartanto, 45 tahun, justru sangat laris karena pandai mentato kaum wanita untuk memperindah alis, di samping membuat tahi lalat. Yang ini tato kecantikan. Hanya sedikit, dan hampir-hampir disebut tato hanya karena jarumnya itu. Ia sering diundang ke beberapa salon. Seperti halnya Atang di Bantung, Ingkiat Hartanto dari Sala ini boleh dikata juga tukang tato profesional. Saking terkenalnya, barangkali, pada 1975 ia diundang ke Madiun untuk mentato sekitar 30 pemuda Marhaen di dada mereka. Gambarnya: apa lagi kalau bukan wajah Bung Karno. Nah. Yang ini tato "ideologi". Pernah jadi anggota KKO (sekarang: Marinir), kemudian keluar atas permintaan ibunya, Hartanto yang juga pernah diangkat anak oleh seorang keturunan Cina ini menganggap tato bisa menimbulkan perasaan tenteram. "Kadang-kadang, bila hati lagi sedih, lantas merenungi tato di tubuh, hati jadi . . . wah," katanya. Di lengan kirinya ada tato jangkar berlingkarkan bendera (ditato ketika ia masih jadi marinir), dan di lengan kanan gambar garuda. Tato itu ia sendiri yang bikin. Karena anaknya banyak, tujuh orang, Hartanto harus kerja keras. Selain mentato ia juga membantu beberapa pekerjaan di sebuah perusahaan milik kenalannya. Istrinya membantu berjualan kue. Hartanto tinggal di sebuah rumah kontrakan, tapi berkat bantuan teman-teman bekas langganan tatonya, ia kini sedang membangun sebuah rumah kecil. Seperti tukang tato yang lain, Hartanto juga melarang keras anak-anaknya ditato. "Saya ingin anak saya jadi pegawai negeri atau ABRI. Kalau ditato, saya khawatir tidak bisa lulus testing," katanya. Tapi sebaliknya sang anak seperti Syamsuni, kini 32 tahun, mentato hampir seluruh tubuhnya meski orangtuanya vang taat beragama melarang keras. Ada gambar ular, jangkar, rajawali, zodiak, kalajengking, bunga. Tubuhnya kekar. Orangtuanya cukup berada. Pendidikannya pun lumayan ia sarjana muda sebuah akademi perbankan di Jakarta. Tapi di kalangan para penggemar tato di Pontianak, nama Syamsuni lebih beken sebagai tukang tato -- sejak 1974. Seluk-beluk pertatoan ia pelajari ketika masih kuliah, dari seorang tukang tato di kawasan Senen. Ayahnya, Haji Muhammad, cukup dikenal sebagai usahawan kaya. Tapi entah mengapa Syamsuni enggan melanjutkan bisnisnya. Dan meski tinggal berdua dengan istrinya di rumah mewah milik orangtuanya di Jalan Veteran, sehari-hari Syamsuni lebih suka jadi sopir taksi. Rutenya Pontianak-Bandar udara Supadio. Melihat ulah anaknya yang bertato, Haji Muhammad tak bisa berkutik. Meski begitu ada satu pesan ayahnya yang rupanya dicamkan benar-benar. "Meski bertato, kau harus tetap sembahyang. Jangan dengar omongan orang bahwa orang yang bertato sembahyangnya tidak diterima Tuhan. Pokoknya sembahyang saja, Diterima atau tidak, tidak ada hubungannya dengan tato," pesan ayahnya. Syamsuni pun tetap salat, dengan penuh taat dan tato.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus