DIRJEN Pariwisata Joop Ave hari-hari mendatang bakal semakin sibuk. Ini terjadi sesudah pemerintah mencanangkan mulai 1 April akan memberikan masa bebas visa 2 bulan bagi wisatawan dari sejumlah negara jika mengunjungi Indonesia. Pekan lalu, misalnya, dia muncul menyampaikan makalah di depan Musyawarah Nasional (1-3 Februari) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Semarang. Sebagai wakil pemerintah, Joop Ave tentu berkepentingan menjelaskan paket April di bidang pariwisata itu kepada PHRI, yang akan terlibat menyediakan akomodasi. Hakekatnya memang, kata Dirjen Joop, kebijaksanaan itu merupakan salah satu upaya pemerintah memancing wisatawan agar tertarik datang ke sini. Ketika membuka Munas PHRI di Istana Negara, Presiden Soeharto telah meminta agar hotel dan restoran menyiapkan diri sebaik-baiknya. "Tanpa hotel dan restoran memberikan pelayanan yang baik, arus wisatawan akan sulit ditingkatkan," kata kepala negara. Pemerintah jelas akan merasa senang jika kebijaksanaan itu berhasil. Meningkatnya arus wisatawan tentu akan meningkatkan pula pendapatan perusahaan penerbangan, biro perjalanan, hotel, dan restoran. Pendeknya semakin banyak turis, semakin banyak pula devisa yang bisa disedot. Peluang semacam itu memang sudah dilihat PHRI, yang segera membentuk satuan tugas seusai Munas untuk menyumbangkan saran. "Kami sendiri belum tahu persis isi dan bentuk paket itu," ujar Sani Sumakno, Ketua baru PHRI. Tapi Sani menyarankan agar pemerintah turut pula memikirkan suatu pola kenyamanan angkutan udara dan darat, yang memberikan peluang wisatawan asing bisa lebih lama tinggal di sini. Perubahan jadwal dan kenaikan tarif penerbangan menurut Joop Ave merupakan salah satu kelemahan produk wisata Indonesia. Jika tahun lalu jumlah wisatawan tercatat 600 ribu orang, maka tahun ini angka itu tampaknya tak akan banyak terlampaui. Resesi yang masih melilit negara-negara industri, yang mengakibatkan orang enggan ke luar kandang, telah menyebabkan pemerintah tidak terlalu optimistis membuat proyeksi. Hingga pada tahun pertama Repelita IV (1983/1984), pemerintah mengharapkan kenaikan wisatawan 5% saja. Pendapatan devisa dari industri pariwisata pun, yang tahun lalu diperkirakan berjumlah US$ 450 juta, tahun ini diduga hanya akan mencapai US$ 474 juta, dan US$ 500 juta pada tahun berikutnya. Kendati demikian penanaman modal di bidang perhotelan justru cenderung naik. Dari tahun 1980-1982 tercatat 33 proyek hotel (PMDN), baik proyek baru maupun perluasan dengan tambahan 4 ribu kamar lebih, bernilai investasi Rp 110 milyar. Di samping itu, di Bali dan Riau, ada pula 2 proyek perhotelan, seluruhnya punya 800 kamar (PMA), dengan investasi total Rp 32 milyar. Belum lama ini T.D. Pardede, pengusaha terkenal dan pemilik Hotel Danau Toba di Medan, dikabarkan telah mendapat lampu hijau untuk mendirikan hotel bintang empat di kota itu. Terletak di seberang Hotel Panghegar yang bintang tiga, Hotel Nabasa yang akan menelan dana Rp 3,5 milyar itu (Rp 1,3 milyar modal sendiri dan Rp 2,2 milyar kredit) direncanakan akan memiliki 150 kamar. "Bandung jadi pilihan kami karena hotel yang ada tak mampu lagi menampung tamu, apalagi yang kepingin dilayani hotel-bintang empat," kata Rudolf Pardede. Putra sulung T.D. itulah yang diserahi tugas mengelola Hotel Nabasa. Bandung, menurut Anang Sumarna Kepala Dinas Pariwisata Jawa Barat, bukan saja layak memiliki hotel bintang empat tapi malah sudah waktunya punya hotel bintang lima setingkat Hilton Jakarta. Di kota itu kini terdapat 4 hotel bintang tiga (Istana dan Panghegar), 8 hotel bintang dua, (Braga dan Bumi Asih) dan 7 hotel bintang satu, yang seluruhnya memiliki 878 kamar. Anang tidak bisa memastikan berapa kamar tambahan lagi diperlukan Bandung untuk bisa menampung arus wisatawan yang cenderung naik. Dari sekitar 1,6 juta wisatawan (89 ribu adalah wisatawan asing) yang menuju Jawa Barat, 60% di antaranya singgah di Bandung. Khusus untuk Bandung tahun ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memang memprioritaskan pembangunan hotel bintang tiga dan empat dengan jatah 750 kamar. Rudolf yang sudah diberi izin prinsip, kata sumber di BKPM, diharuskan memasukkan data perincian lebih lengkap paling lambat 5 bulan mendatang sebelum akhirnya diberi izin sementara. Menurut ketentuan BKPM pembangunan sebuah proyek PMDN/PMA baru bisa dimulai setelah izin tetap diberikan. Dengan demikian Rudolf Pardede baru bisa memulai pembangunan Nabasa paling cepat 6 bulan lagi setelah izin tetap diberikan. Toh kini Rudolf sudah mulai meratakan lahan untuk hotel itu, dan telah menghabiskan Rp 800 juta. Di luar dugaan upayanya mendirikan hotel itu belum diketahui PHRI Komisariat Daerah Ja-Bar. "Saya belum tahu akan ada Hotel Nabasa, sebab sampai sekarang saya belum mengeluarkan rekomendasi," kata Achmad Sanusi, Ketua PHRI Ja-Bar. KEPUTUSAN BKPM mengizinkan Rudolf mendirikan hotel bintang empat di Bandung dianggap "mengejutkan" oleh Rukmana Ruhiyat, direktur pelaksana Panghegar. Panghegar yang punya 120 kamar, sedang berusaha mendapat identitas bintang empat dengan membangun 100 kamar tambahan. PHRI, menurut Rukmana, dalam programnya lebih mengutamakan pengembangan hotel bintang satu dan dua. Jika Nabasa beroperasi tahun depan "hotel-hotel kecil bisa payah," ujar Rukmana. Dugaan itu tampaknya masih perlu diuji. Orang-orang asing yang bekerja di Pembangkit listrik Panas Bumi Kamojang maupun Pembangkit Listrik Tenaga air Saguling serta tamu dari PT Nurtanio tentu lebih puas jika bisa tidur di hotel bintang empat sekelas Borobudur, Jakarta. Tingkat penghunian kamar hotel bintang satu sampai tiga di Bandung pun baik: 67,5%. Sedang tingkat penghunian kamar di Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, hanya 30%. Tapi tingkat penghunian kamar itu mendadak turun tajam ketika Gunung Galunggung meletus. Menurut Suhartanto, Sekretaris PHRI Ja-Bar, tingkat penghunian itu turun sampai 48% pada Januari lalu. "Buat perhotelan di Bandung tahun lalu merupakan masa prihatin," ujar Suhartanto, yang juga direktur Hotel Patra Jasa. Tahun ini dia tak terlalu berharap bisa menyedot banyak tamu. Maklum, tahun resesi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini