Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada teka-teki dalam kaitan diabetes dan ras. Entah mengapa, orang Asia, terutama Asia Tenggara, lebih rentan terkena penyakit ini. Risiko orang Asia terkena diabetes dua sampai tiga kali lipat ketimbang orang berkulit putih. Entah apa pula sebabnya bumi Asia begitu subur membiakkan diabetes.
J. Poulton, ahli biologi molekuler dari Inggris, penasaran ingin menjawab teka-teki tadi. Pada 1998, Poulton mengajukan teori adanya gen lapar (thrifty gene) yang diduga kuat sebagai faktor pemicu diabetes. Pada ras Barat-Kaukasia, menurut penelitian Poulton, gen ini tidak muncul pada semua orang, tapi hanya pada 10-15 persen populasi.
Gen berkode T16189C ini punya tugas mengatur rentang rasa lapar—tugas yang amat penting di zaman prasejarah, ketika orang harus berburu ke hutan untuk bertahan hidup. Gen lapar mengatur kapan perut meneriakkan sinyal lapar: bisa setiap tiga hari atau seminggu sekali. Dengan demikian, si empunya gen tidak perlu makan besar saban hari—yang sulit dipenuhi jika tak ada hewan buruan—tapi hanya makan berdasarkan datangnya sinyal lapar dari gen thrifty.
Zaman bergeser. Kini orang tidak perlu susah payah berburu untuk mendapatkan makanan. Makan bisa setiap saat tergantung selera. Sinyal dari gen thrifty bisa dicuekin dan lama-kelamaan kita merasa tidak membutuhkan sinyal dari gen ini. Tapi muncul persoalan lain: amankah jika gen lapar ini terus-menerus diabaikan dan sinyalnya dilanggar?
Menurut Poulton, pengabaian gen lapar bakal berdampak serius. Kinerja sel-sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin bisa berantakan. Padahal insulin punya tugas penting mencerna karbohidrat. Jika kinerja insulin terganggu, sebagian karbohidrat tidak bisa dicerna sehingga gula (glikogen) pun tertimbun dalam cairan darah. Gangguan tersebut kian parah jika yang bersangkutan kurang gemar olahraga dan bergaya hidup tidak sehat. Diabetes pun dengan leluasa bakal muncul.
Lalu bagaimana dengan Asia? Betulkah gen lapar banyak terdapat di kawasan ini sehingga diabetes begitu subur? Beberapa laporan penelitian membenarkan dugaan ini. Di Korea dan Jepang, misalnya, gen lapar dilaporkan dijumpai pada 28,8 sampai 37 persen populasi. Tapi belum ada laporan yang khusus membahas kondisi Indonesia.
Herawati Sudoyo, ahli biologi molekuler di Eijkman Institute, Jakarta, mencoba mencari jawaban. Pada tahun 2000, tim ilmuwan yang dipimpin Herawati melacak adanya gen lapar pada penduduk Indonesia. Mereka mendatangi penduduk 22 suku yang tempat tinggalnya terentang dari Sumatera sampai Papua, termasuk suku Tengger, Kalli, Toraja, Bima, Sumbawa, dan Sasak. Termasuk dalam tim peneliti itu Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Eijkman, dan Sidartawan Sugondo, ahli diabetes dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Awal tahun ini, riset yang masih terus berlanjut itu dilaporkan dalam jurnal ilmiah Advances in Experimental Medicine and Biology.
Hasil penelitian itu cukup mengejutkan. Pada suku-suku yang dominan—Jawa, Batak, Melayu, Minang, dan Minahasa—gen lapar dijumpai pada 40 persen populasi. Juaranya adalah suku Nias: 60 persen dari populasi suku ini punya gen thrifty—sebuah angka yang luar biasa, 6 dari 10 orang Nias berpotensi dihampiri diabetes. Sementara itu, peringkat terendah kepemilikan gen lapar diraih oleh penduduk Pulau Alor, yakni 10 persen dari populasi.
"Jadi," Herawati menjelaskan makna hasil penelitiannya, "Seperti garis tangan yang sudah tercetak dari sononya, orang Indonesia punya bakat besar untuk mengidap diabetes." Memang, harus diberikan catatan, pemilik gen lapar tidak otomatis menjadi penderita penyakit kencing manis. Jika mereka cenderung bergaya hidup cuek bin sembrono, antara lain makan berlimpah lemak, kurang olahraga, perokok, dan akrab dengan minuman keras, pintu menuju diabetes pun makin terbuka lebar.
Herawati melanjutkan, hasil penelitiannya sudah pula dibandingkan dengan sampel darah milik orang-orang India dan Pakistan yang tinggal di Australia. Kebetulan, Eijkman memiliki jaringan kerja sama dengan berbagai lembaga riset di Negeri Kanguru.
Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda. "Gen kelaparan juga banyak dijumpai pada orang Pakistan dan India," katanya. Dengan demikian, tidaklah keliru bila diabetes disebut sebagai Asian disease. Jadi, tak perlu heran bila makin banyak kerabat, om, tante, teteh, abang, juga opung kita yang kena diabetes.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo