Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengikuti media Amerika sejak penangkapan Saddam minggu lalu, saya mendapat kesan kuat seolah-olah Presiden Bush sudah terpilih untuk masa jabatan yang kedua. Penangkapan Saddam, meskipun dilakukan di luar negeri, ternyata adalah tindakan politik dalam negeri Amerika Serikat yang definitif. Aktivis Partai Republik sedang berpesta ria, sementara seteru mereka di Partai Demokrat mencoba menghindar dari sorotan pers.
Komentator pada umumnya, termasuk yang non-partisan atau pro-Demokrat, menyimpulkan bahwa Bush pasti dipilih kembali. Dukungan para pemilih kepada Bush, yang mulai luntur belakangan ini, menurut beberapa survei pasca-penangkapan sudah pulih kembali. Dalam perang terhadap terorisme di Irak, Saddam merupakan sasaran utama sejak tumbangnya Kota Bagdad. Kini, we've got him, sudah ketangkap dia, mengutip pernyataan Paul Bremer, kepala otoritas pendudukan di Irak. Mau apa lagi?
Saya sebetulnya sudah lama, mungkin sejak beberapa minggu setelah tragedi 11 September, berpendapat bahwa Bush hampir tak mungkin dikalahkan dalam pemilihan presiden 2004. Alasannya, sistem pemerintahan Amerika, khususnya pada zaman perang atau krisis luar negeri lainnya, sangat mengandalkan lembaga eksekutifnya. Kami, rakyat Amerika, ingin dipimpin oleh seorang presiden yang kuat, berwibawa, dan punya jawaban tegas terhadap tantangan besar yang sedang kami hadapi. Pada waktu yang sama, kami menjadi sangat patriotik dan cenderung bersikap kurang toleran kepada para politikus yang melawan arus umum, arus yang dipimpin oleh presiden yang sedang menjabat.
Tragedi 11 September merupakan krisis yang paling besar yang diderita masyarakat Amerika semenjak berakhirnya Perang Dingin pada 1980-an. Presiden Bush, yang pada awal masa jabatannya dianggap sebagai seorang accidental president, presiden kebetulan, menjadi kuat karena dia bertindak seperti presiden-presiden sebelumnya pada masa krisis. Di Kongres, banyak politikus kawakan secara pribadi meragukan berbagai tindakan Bush, yang memang tidak berpengalaman di tingkat nasional. Yang paling diragukan tentunya adalah serangannya terhadap Irak. Sebab, Saddam jelas tidak punya hubungan dengan Al-Qaidah dan tidak mampu mengancam keamanan Amerika. Tapi mereka tidak berbuat apa-apa karena takut dicap pengkhianat bangsa. Seluruh alam politik dikuasai oleh presiden, yang memiliki semacam monopoli atas patriotisme.
Kembali pada masalah penangkapan Saddam, dalam jangka pendek sukses itu memang sudah mengangkat Bush sedikit di mata masyarakat Amerika. Sebelumnya, kami mulai khawatir bahwa dua tokoh utama yang dibidik Bush, Saddam dan Usamah bin Ladin, akan lolos terus dari sergapan Sekutu. Dan saya tahu bahwa kami akan diberi kesempatan untuk mengikuti terus proses pengadilan Saddam yang akan mulai bergulir sebentar lagi. Setiap kali kami melihat wajah Saddam nanti, apalagi di penjara atau di pengadilan, kami akan ingat bahwa salah satu musuh bebuyutan sudah ditaklukkan oleh presiden kami.
Namun, what goes up must come down, pujian yang berlebihan sekarang akan digantikan, mungkin dengan cepat, oleh kecaman yang berlebihan pula, seperti terjadi sebelum Saddam ditangkap. Apalagi kalau kita ingat bahwa Saddam sebenarnya bukan aktor utama belakangan ini. Ia hanya menjadi penting sebagai lambang bahwa kemenangan Amerika belum tuntas. Rintangan-rintangan yang dihadapi Amerika di Irak tidak akan lenyap dalam waktu singkat. Perlawanan minoritas Sunni, yang menolak dikuasai oleh mayoritas Syiah, dapat diperkirakan akan meningkat. Banyak orang Kurdi dan Syiah yang juga menginginkan supaya Amerika pulang secepatnya. Karena itu, tidak sulit untuk membayangkan bahwa jumlah serangan, dan kematian prajurit Amerika, akan bertambah terus sebelum pemilihan presiden pada bulan November. Dan Bush pasti akan kena getahnya.
Namun saya tidak meramalkan bahwa Bush akan kalah. Sebab, Amerika adalah negara yang mudah dikuasai oleh presiden yang sedang menjabat, khususnya pada zaman perang. Dalam sejarah kami, kenyataan itu sering menguntungkan, misalnya pada abad ke-20 pada Perang Dunia Pertama dan Kedua serta Perang Korea. Presiden Woodrow Wilson, Franklin Roosevelt, Harry Truman, dan Dwight Eisenhower betul-betul pahlawan nasional.
Tapi yang lebih menonjol di benak saya kini adalah pengalaman buruk yang juga disebabkan oleh lembaga presiden yang terlalu kuat dan memiliki monopoli atas patriotisme. Yang saya maksudkan tentunya adalah Perang Vietnam, ketika kami dikelabui oleh dua presiden, Lyndon Johnson dan Richard Nixon, selama hampir sepuluh tahun. Lyndon Johnson pernah berbohong bahwa sebuah kapal perang Amerika diserang oleh Vietnam Utara di Teluk Cina Selatan. Sayangnya, kebohongan itu ditelan mentah-mentah oleh hampir semua anggota Kongres.
Perbuatan itu diulangi oleh Presiden Bush, ketika dia mengklaim bahwa Saddam bekerja sama dengan Al-Qaidah dan memiliki senjata pembunuhan massal. Sekali lagi, klaim itu diragukan oleh banyak anggota Kongres, tapi hampir tidak ada yang berani menggugat. Akibatnya, demokrasi Amerika tidak melayani masyarakatnya sebagaimana mestinya. Namun Bush tetap berpeluang besar untuk menang dalam pemilu 2004.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo