KABAR baik bagi kita: jumlah penderita kurang gizi di Indonesia makin berkurang. Dari berbagai penelitian, penderita KKP (Kurang Kalori Protein) berat di Indonesia, kini telah menciut dari 35% (sepuluh tahun lalu), menjadi hanya 2%. "Bahkan di beberapa daerah seperti Yogya dan Bili, KKP berat, jumlahnya di bawah satu persen dari semua KKP," kata Prof.dr. Darwin Karyadi, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (izin Depkes, yang juga guru besar IPB itu. Lebih jauh, Prof. Darwin juga mengungkapkan bahwa jumlah KKP, baik yang ringan, sedang, maupun berat, secara menyeluruh juga menurun. Menurut dr. Soekirman, Ph.D., Kepala Biro Kesehatan dan Nutrisi Bappenas, "Prevalensi anak KKP turun dari 16 persen di tahun 1980 menjadi 13 persen di tahun 1986." Semuanya ini bukan hasil sulapan, melainkan hasil kerja berat yang dilakukan para ahli kita, dan - di lapangan - merupakan kerja nyata tenaga puskesmas lewat posyandu. Faktor yang berperan dalam soal ini memang tidak sedikit - itulah sebabnya angka penurunan secara keseluruhan tidak terlalu tinggi. Faktor ekonomi (termasuk daya beli), misalnya, bisa menerangkan, mengapa keluarga miskin lebih sering diterkam KKP ketimbang mereka yang mampu. Sementara itu, ketidaktahuan juga ikut menentukan. Masalah itulah yang antara lain jadi topik dalam lokakarya para ahli gizi dan ahli kesehatan anak dari 22 negara yang diselenggarakan di Bali dan Jakarta, 21 hingga 24 Maret lalu. Diselenggarakan oleh Pergizi Pangan dan Nestle Nutrition, pertemuan ilmiah itu menjadi forum pertukaran informasi yang penting artinya bagi para dokter. Hasil lokakarya itu kelak akan menjadi referensi pada pembicaraan topik yang sama di Muangthai, 10 tahun mendatang. Bahkan para ahli di workshop itu juga megemukakan saran-saran yang penting artinya bagi badan-badan di bawah organisasi kesehatan dunia: WHO. Yang juga menarik adalah hasil penelitian dr. Fernando Monckeberg, guru besar ilmu kesehatan anak, Universitas Cili. Menurut Monckeberg, anak yang kurang gizi tidak hanya butuh makanan fisik tapi juga 'makanan jiwa". Jelasnya, setelah meneliti 70 anak KKP berat selama 4 bulan, Monckeberg menemukan, anak yang diobati dengan makanan bergizi plus pendekatan psikologis akan lebih cepat tumbuh ketimbang yang hanya mendapat makanan melulu. "Bayangkan, jika selama berbulan-bulan seorang anak hanya disuapi makan. Badannya terbaring terus, matanya melihat ke atas tanpa pernah digendong dan ditimang. Dokter pun hanya sekali-sekali menempelkan stetoskop di badan mereka," ujar Monckeberg tentang anak-anak yang ditelitinya. Kebanyakan anak-anak itu dari kawasan perkotaan - 87% dari penduduk Cili. "Mereka itu telantar tidak hanya karena sedikitnya uang. Tapi lebih besar karena faktor sosial, seperti ibu yang tidak kawin kecanduan alkohol atau obat," katanya. Inilah yang jadi problema penduduk kota di banyak negara berkembang kebanyakan menimpa bayi usia 0-6 bulan. Sedangkan di daerah pedesaan, masalah kurang gizi muncul setelah anak berumur satu tahun lebih. Sesuai terapi, membuat pusat-pusat "penitipan" anak, dan mempekerjakan dokter, perawat, dan sukarelawan. "Biayanya sekitar 800 dolar untuk setiap anak," ujarnya. Mahal memang. Tapi itu tetap lebih murah, ketimbang biaya subsidi yang diberikan pemerintah bagi perawatan anak di rumah sakit. Dan Monckeberg mengumpulkan uang itu dari sumbangan para dermawan, yang kemudian diputarkannya dalam bisnis kelompok mereka. Sebuah upaya yang boleh ditiru. Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini