TRANS Sulawesi pada jalur Paluparigi-Poso yang berjarak
sekitar 200 km itu memang sedang dalam tahap penyelesaian. Tubuh
jalan sudah terbentuk, namun duiker-duiker maupun jembatan
hampir belum tergarap sama sekali. Untuk menunjang proyek
transmigrasi di wilayah Kecamatan Parigi, pihak PU Sulawesi
Tengah membuka jalur jalan itu untuk lalu-lintas. kendaraan
umum.
Dengan segera lalu-lintas pun ramai. Jalur yang sebelumnya
hanya dihubungkan dengan kendaraan laut atau bahkan dengan kuda
selama berhari-hari, kini dipenuhi mobil umum maupun pribadi.
Beberapa sungai, besar atau kecil, yang tanpa jembatan, bukan
halangan. Dengan tarif tertentu, rakit-rakit milik perseorangan,
adalah alat penyeberangan yang ampuh.
Sepanjang jalan 200 km itu paling sedikit melintas 4 buah sungai
yang harus diperhitungkan oleh tiap penyeberang Sungai Dolago,
Sungai Tindaki, Sungai Torue dan Sungai Sausu. Dasar
sungai-sungai ini adalah pasir yang dapat membenamkan roda
kendaraan. Lebar sungai-sungai itu rata-rata 40-60 meter.
Selebihnya adalah sungai-sungai kecil yang hanya berair di musim
penghujan.
Pada 1978 atas usul Camat Parigi, Asmuji Slamet, PU Sul-Teng
memberikan 2 perahu untuk masing-masing sungai. Dikelola oleh
kepala desa setempat, kedua perahu itu digandengkan dengan
diberi papan di atasnya sehingga menjadi rakit yang dapat
menyeberangkan kendaraan maupun manusia -- yaitu dengan cara
mendorongnya. Tiap kendaraan yang mau lewat di pungut bayaran
-- uangnya masuk ke kas desa.
Tapi tak lama. Perahu-perahu itu pun hanyut dibawa banjir atau
rusak. Tapi penduduk sekitar sungai yang pernah menyaksikan
uang dapat diperoleh dari perahu rakit itu, mulai mencontoh.
Bisnis baru pun muncul. Penduduk secara sendiri-sendiri atau
berkongsi, membuat perahu dan mengoperasikannya sebagai rakit
penyeberangan. Hasilnya cukup menguntungkan, karena setiap yang
akan menyeberang, mobil, sepeda motor, sepeda, bahkan orang,
dikenai pembayaran dengan tarif tertentu.
Tarif
Bahkan seorang penduduk Desa Tindaki, Hanafi Lajiji, sempat
mengantungi surat izin dari Dinas Lalu-lintas & Angkutan Sungai,
Danau dan Penyeberangan (DLLASDP) Sul-Teng yang berkedudukan di
Poso, untuk mengoperasikan rakit-rakit penyeberangan di keempat
sungai itu. Dalam izin itu tak dicantumkan tarif penyeberangan.
Walaupun tanpa izin, penduduk segera mengikuti jejak Hanafi.
(Lihat juga box). Persaingan tiba-tiba meramaikan
pinggir-pinggir sungai. Memperebutkan muatan kerap berakibat
pertengkaran. Camat Parigi segera turun tangan. Penyelesaian
tercapai dengan membentuk kelompok-kelompok dalam satu kongsi di
antara mereka yang memiliki perahu. Dua puluh hingga tiga puluh
perahu milik para pemegang saham dihubungkan dengan papan dan
balok kayu, diikat sana sini, jadilah jembatan yang melintasi
sungai. Pembagian keuntungan bukan berbentuk uang, tapi dari
pendapatan masing-masing pemegang saham pada waktu giliran jaga.
Tiap orang mendapat ksempatan jaga 24 jam -- bergantian.
Menurut ketentuan Penghubung embantu Bupati Donggala di Parigi,
tarif penyeberangan adalah Rp 500 untuk kendaraan roda empat
dalam keadaan kosong, Rp 1.000 untuk truk bermuatan 2 ton,
bis/pik-ap Rp 750, sepeda motor Rp 100, sepeda Rp 50, dan
pejalan kaki Rp 25. Masing-masing untuk sekali menyeberang.
Mobil berplat merah, anak-anak sekolah dan petugas-petugas
pemerintahan (seperti guru, camat, kepala kampung) gratis.
Tapi pelaksanaan tarif itu tentu berbeda di lapangan.
Macam-macam alasan. Karena air sedang banjir, karena perahu
sudah tua atau macam-macam lagi. Bahkan beberapa bulan lalu truk
Dolog yang sedang sarat mengangkut beras dari Parigi dikenakan
biaya Rp 4.750 pulang-balik. Dan ketika para pemilik rakit mau
menaikkannya menjadi Rp 9.000, Bupati Donggala segera bertindak.
Sebab tarif itu dengan sendirinya akan berpengaruh pada harga
beras. Tarif pun ditertibkan.
Meskipun setiap hari sekitar 100 buah mobil lalu-lalang di
rakit-rakit penyeberangan itu, ditambah sepeda motor dan pejalan
kaki, para pemilik perahu mengaku pendapatan mereka tidaklah
besar. Nyonya Lince pemilik rakit penyeberangan di Sungai
Dolago, mengaku rata-rata hanya memperoleh pendapatan bersih Rp
20.000 sehari. Begitu juga Ahmad Yahya, pemilik salah satu rakit
di Sungai Tindaki. Malahan Mohammad Lacolo, pemilik rakit di
Sungai Torue, mengaku hanya mengumpulkan Rp 2.000 sehari.
"Ah, itu tidak mungkin," bantah sopir PU Seksi Parigi,
Arifin, yang hampir tiap hari bolak-balik melintasi
sungai-sungai itu. Sebab, katanya, jika mereka rata-rata
memungut Rp 750 dari tiap mobil yang sekitar seratus jumlahnya,
tak masuk akal mereka hanya memperoleh pendapatan sekian --
meskipun sudah dipotong gaji karyawan.
Arifin menduga, jumlah pendapatan itu sengaja mereka perkecil
untuk menghindari sumbangan sukarela. Sebab sejak beberapa bulan
lalu Muspida Parigi meminta sumbangan sukarela kepada para
pemilik rakit itu untuk menambah biaya pembangunan gedung
serba guna yang dibantu Mendagri. "Mereka sulit ditagih," tutur
Camat Parigi. Alasan mereka, karena pendapatan yang masuk
sedikit.
Kepala PU Sul-Teng, Ir. Sunardi Hadisupadmo, pernah mengajak
Menteri PU meninjau pelaksanaan Trans Sulawesi di wilayah
Sul-Teng. Melihat bisnis jembatan rakit itu, Menteri
Poernomosidi menyarankan agar PU mengambil-alih
jembatan-jembatan rakit itu. Maka sekarang, menurut Ir. Sunardi,
PU Sul-Teng sedang menjajaki pengambilalihan itu.
Tapi mendengar rencana itu, tampaknya para pemilik jembatan
rakit tak keberatan. "Itu memang hak pemerintah asal kami tidak
dirugikan," kata Ahmad Yahya. Artinya, jembatan boleh diambil,
asal pemerintah mengganti biaya pembuatannya. Bahkan Nyonya
Lince menyarankan agar PU membuat jembatan rakit sendiri. "Dan
perahu-perahu akan saya simpan," katanya.
Membuat jembatan permanen tentu menjadi gagasan PU. Tapi rupanya
sekarang perhatian sedang dikerahkan untuk membenahi induk
jalan. "Di samping juga karena membuat jembatan perlu biaya
sangat besar," tambah Sunardi.
Tapi jika jembatan-jembatan rakit sudah diambil-alih PU, sudah
barang tentu tarif kendaraan umum Palu-Parigi yang Rp 6.000 tiap
penumpang seperti selama ini, akan turun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini