KARENA persaingan makin memuncak di antara para pemilik jmbatan
rakit, Camat Parigi menganjurkan agar Hanafi dan A.M. Pandake
berkongsi. Keduanya setuju. Maka 20 buah perahu milik mereka
menghubungkan kedua tepi Sungai Dolago selebar hampir 60 meter
itu. Pembagian keuntungan diatur dengan cara giliran beroperasi,
sehari sekali, lengkap dengan anak buah masing-masing.
Tapi kongsi itu segera pecah. Dengan berbagai cara, Pandake
berhasil menyingkirkan Hanafi. Jadilah Pandake pemilik rakit
penyeberangan satu-satunya di Dolago.
Hanafi tak mau kalah. Melalui izin dari Penghubung Pembantu
Bupati Donggala di Parigi, ia akhirnya mendapat hak membuat
rakit penyeberangan pula, hanya berjarak sekitar 100 meter dari
milik Pandake. Nyonya Lince, istri Pandake yang sehari-hari
menunggui jembatan itu, tak senang. Ia mengurus izin pula.
DLILASP memberinya izin, sekaligus mencabut izin yang pernah
diterima Hanafi.
Hanafi terus melawan. Meski tanpa izin, ia tetap mengoperasikan
jembatannya. Lokasi jembatannya memang kurang menguntungkan,
karena harus membelok lagi dari jalan lurus yang sudah ada.
Namun rupanya para penyeberang lebih suka memakai jembatan
Hanafi. Kabarnya karena para sopir tak senang melihat sikap Ny.
Lince yang dianggap tidak ramah, bahkan garang terhadap para
penyeberang.
Lince tak kehabisan akal. Suatu malam ia menyuruh anak-anak
buahnya menutup jalan ke rakit Hanafi dengan timbunan batang
kelapa. Perkelahian tak terhindarkan antara anak buah
masing-masing. Berulang-ulang ini terjadi, paling sedikit dalam
bentuk saling lempar batu atau saling maki. Polisi turun tangan.
Perdamaian berlangsung di hadapan camat. Timbunan batang kelapa
yang menutupi jalan ke jembatan Hanafi dibuka. Pengoperasian
jembatan diatur: seminggu kendaraan yang akan ke Palu melewati
jembatan Hanafi dan yang akan ke Poso lewat jembatan Lince --
seminggu berikutnya sebaliknya. Dan seterusnya. Mula-mula
berjalan lancar. Namun rupanya pertengkaran-pertengkaran kecil
masih sering terjadi hingga sekarang, karena para penyeberang
lebih senang melewati jembatan Hanafi.
Untung Lince kini mulai menyabarkan diri. Lebih-lebih setelah ia
sadar, para penyeberang di sana sejak lama menamainya "Singa
Betina dari Dolago." Karena memang ia tak segan-segan membentak
siapa pun yang menyeberang dengan menawar tarif yang
ditentukannya. Ketika Titiek Sudiharjo dari TEMPO menemuinya di
tepi Sungai Dolagu si Singa Betina itu memang sedang bertengkar
dengan seorang pengendara sepeda motor.
Gigi Emas
Si pengemudi sepeda motor bertahan hanya mau membayar Rp 150
sekali menyeberang. Karena memang tarif itu sudah lazim dan
kebetulan uangnya hanya sekian. "Tidak bisa, Rp 200," bentak
Lince dengan suara lantang sehingga tampak jelas susunan gigi
emas yang menutup seluruh gigi serinya. Pertengkaran tak
berlanjut karena seseorang mengulurkan uang Rp 50 kepada si
pengendara sepeda motor. Uang itupun langsung diserahkan ke
tangan Lince.
Nyonya Lince adalah istri ke-empat A.M. Pandake, bekas Kepala
Kampung Boyan Tongo, Parigi. Wanita dengan 9 orang anak ini
menunggui jembatan penyeberangannya dan pagi sampai pukul 9
malam. Meskipun begitu, ia mengaku jembatan penyeberangan ini
hanya sebagai usaha sampingan. "Saya punya 5 hektar sawah, 60
ekor sapi, dan 1.000 batang pohon kelapa," katanya dengan
bangga.
Sehari-hari ia dibantu oleh 5 orang anak buah. Mereka ini
dibayar harian. Yaitu 20% dari pendapatan bersih setiap hari.
Menurut beberapa orang sopir, karena jengkel pada sikap Singa
Betina ini, tak jarang sopir menancap gas keras-keras begitu
hendak melewati kubu penjagaan -- lari tak membayar sewa
penyeberangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini