Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Dokter Tamu Untuk Swasta

Penempatan tenaga dokter spesialis di RS Swasta masih semrawut. Tenaga tetap sedikit, sedangkan jumlah RS Swasta lebih banyak dari RS Pemerintah. Akibatnya biaya tinggi karena memakai tenaga tamu. (ksh)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH sakit swasta pernah mendapat julukan "hotel". Betapa tidak, rumah sakit jenis itu kebanyakan hanya menyediakan fasilitas perawatan - kamar dan tempat tidur. Sementara, tenaga ahli, khususnya tenaga dokter spesialis yang harusnya menjadi penanggung jawab, sebagian besar adalah dokter tamu - tenaga tidak tetap, atau bukan pegawai. Padahal, beban rumah sakit swasta dalam pelayanan kesehatan di Indonesia tak bisa diabaikan. Pada catatan terakhir, dari 1.246 rumah sakit di Indonesia, 628 - separuh lebih - adalah rumah sakit swasta. Rumah sakit pemerintah, atau yang ada kaitannya dengan badan pemerintah, berjumlah 618. Mereka dikelola Depkes, Pemda, Hankam, atau perusahaan negara. Karena itu, penempatan tenaga-tenaga dokter spesialis di rumah-rumah sakit selama ini tetap jadi masalah. Pada loka karya mini yang diselenggarakan 1-11 Mei lalu, untuk mempersiapkan Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, penempatan tenaga dokter spesialis ini masuk dalam agenda untuk dibicarakan. Kongres yang dibuka Presiden Soeharto 13 Mei di Bina Graha, dengan tema "Pendayagunaan dan Penepatgunaan Pelayanan Rumah Sakit Menyongsong Tahun 2000", tidak tanggung-tanggung membahas sedikitnya 80 makalah . Menurut direktur rumah sakit Husada Jakarta, dr. Samsi Jacobalis, di rumah sakit yang dipimpinnya itu, tenaga dokter spesiahS yang terbanyak memang tenaga udak tetap. Di rumah sakit swasta yang sudah berusia 60 tahun itu ada 36 spesialis tidak tetap dan cuma 13 spesialis tetap yang umumnya pensiunan. "Problemnya yang part time itu tidak tentu waktu masuknya karena tidak terikat peraturan rumah sakit," kata Jacobalis. Di rumah sakit swasta lainnya, St. Carolus, perbandingan lebih mencolok. Di rumah sakit dengan 640 tempat tidur itu -- 54% untuk pasien golongan tidak mampu - cuma ada delapan spesialis tetap. Selebihnya, 72 orang, adalah dokter spesialis tamu. Dirjen Pelayanan Medis Depkes, dr. Mohamad Isa, mengakui, penempatan tenaga dokter spesialis maslh belum sepenuhnya teratur. Namun, Dirjen berdalih, kelak penempatan dokter spesialis di rumah sakit swasta akan dituangkan ke dalam peraturan pemerintah. "Kalau tidak diatur, lama-lama bisa semrawut," katanya, "Kalau memang sudah banyak tenaganya, kita tempatkan saja di swasta." Pemerataan spesialis ini, menurut Dirjen, sebenarnya bisa menurunkan biaya spesialis di rumah-rumah sakit, khususnya swasta. Sementara ini, di tengah terbatasnya dokter spesialls, penempatan tenaga bantuan ke rumah sakit swasta sebenarnya sudah ada walaupun sangat kecil. Misalnya di Rumah Sakit Islam Jakarta. Di rumah sakit ini ada lima spesialis bantuan Depkes - di samping 90 dokter tamu, baik dokter umum maupun spesialis. Kepala Biro Kepegawaian Depkes, dr. S.L. Leimena, M.P.H., tak mau menjawab masalah penempatan tenaga spesialis ini. Tapi ia menjelaskan, penempatan itu digariskan melalui SKB 3 menteri, Menteri P & K, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Dan yang sudah diatur sementara ini baru distribusi di kalangan rumah sakit pemerintah. Itu pun baru meliputi empat cabang spesialisasi: bedah, kebidanan, anak, dan penyakit dalam. Artinya, rumah sakit swasta sama sekali belum disinggung. Karena belum ada peraturan, maka pemerintah, menurut Dirjen dr. Mohamad Isa, memperbolehkan para spesialis rumah sakit pemerintah bekerja di rumah sakit swasta, di luar jam kerja. Prosedurnya sementara: mendapat rekomendasi dari kanwil Depkes setempat, dan juga izin dari kepala bagian rumah sakit pemerintah tempat dokter itu bertugas. Prosedur perizinan ini kemudian membuahkan masalah lain. Peranan kepala bagiandi rumah sakit pemerintah - yang menjadi seperti "bos" - sangat besar, sementara kanwil hanya berfungsi memberikan rekomendasi saja. Penempatan jadi sangat bergantung kepada selera boss, baik dalam menentukan rumah sakit swastanya maupun ketika menentukan dokter yang akan ditempatkan. Mohamad Isa mengakui besarnya peran kepala bagian itu. "Padahal, aturannya sebetulnya belum ada," katanya menegaskan. Isa lebih jauh bahkan mengakui, banyak terjadi ekses dalam prosedur itu. Penempatan dan pemberian izin kemudian berlatar belakang suka tidak suka, atau malah pembagian keuntungan. Namun, dalam hal ini Isa mendorong kesalahan itu pada para spesialisnya sendiri. "Sekarang ini, dokter yang mau praktek pribadi saja, masih harus pakai rekomendasi kepala bagiannya," katanya. Prof. Dr. Basoeki Wirjowidjojo, kepala Bagian Bedah RSU Dr. Soetomo, Surabaya, mengakui banyaknya ekses dalam penempatan tenaga spesialis di rumah sakit swasta itu. Tapi ia menolak, ekses itu terjadi di bagian yang dipimpinnya. "Dari dulu saya Daling tidak setuju pada hal seperti ini. Itu tidak adil, kita harus memberi kesempatan pada sesama kita," katanya. Di lingkungannya, ia menjalankan semacam "praktek bersama", semua pasien adalah tanggung jawab semua dokter. "Di sinilah perbedaannya dengan apa yang terjadi di Jakarta," katanya lagi. Mengenai hal ini, hampir semua rumah sakit swasta tidak memberi komentar. Tapi sebuah rumah sakit swasta yang terkenal di Jakarta, yang tak mau disebutkan namanya. mengutarakan pengalamannya. Seorang kepala bagian, yang diperkuat organisasi perhimpunan suatu keahlian, minta agar 50% penghasilan para anggota perhimpunan itu - yang otomatis merupakan "anak buah" diserahkan ke perhimpunan. Rumah sakit swasta itu mulanya menolak. Tapi karena risikonya, tak ada seorang pun spesialis dari perhimpunan itu akan bekerja, tawar-menawar pun dilakukan. Diputuskan, akhirnya pemotongan disetujui 30%. Untuk menjaga keseimbangan, biaya rumah sakit dinaikkan. Akhirnya, pasien juga yang menanggung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus