Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Empat manusia langka berbicara

Persatuan manajemen indonesia (permanin) berseminar di hotel mandarin, membahas kisah sukses wiraswasta, dengan menampilkan soedarpo, kartini mulyadi, bob sadino, dan abdul latief. (eb)

18 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK salah bila Persatuan Manajemen Indonesia (Permanin) menyebutkan se- minar sehari yang mereka selenggarakan di Hotel Mandarin, Jakarta, akhir pekan lalu sebagai "unik". Dengan moderator Abdul Gani, dirut Bank Duta, Sabam Siagian, pemimpin redaksi Jakarta Post, dan Fikri Jufri, wakil pemimpin redaksi majalah TEMPO, empat manusia langka, dari generasi yang berbeda. mencekam sekitar 200 hadirin yang sarat dengan pertanyaan dari pagi sampai sore. Soedarpo Sastrosatomo, 67, Kartini Mulyadi, 58, Bob Sadino, 52, dan Abdul Latief, 45, dengan gaya masing-masing mengisahkan bagaimana mereka dalam hidupnya memutuskan untuk berhenti sebagai birokrat, dan mulai dari bawah mengadu nasibnya sebagai manusia mandiri, sehingga berhasil sebagai wiraswasta yang sukses. Soedarpo mengenang ucapan almarhum ibunya, "Wong sudah jadi priayi kok mau jadi saudagar." Pada zamannya, di tahun 1951, dengan persetujuan istrinya, Minarsih, putri bupati Cianjur Wiranatakusumah, Soedarpo berani mengucapkan selamat tinggal sebagai diplomat. "Padahal, waktu itu saya sudah diangkat menjadi konsul Rl di New York," katanya. NV PD Soedarpo Corporation, perusahaan pertama yang didirikannya dengan modal Rp 100.000, pada 1952, semula bergerak dalam impor kertas dan perkakas kantor. "Karena bidang itu yang saya ketahui," katanya. Waktu itu ia mempunyai hubungan dekat dengan harian Pedoman dan majalah Siasat. Kini memimpin dan memiliki belasan perusahaan, lelaki itu punya resep agar tidak terombang-ambmg dalam duma blsms: "Kembangkan bi(lang yang paling Anda kuasai, dan jangan terlalu serakah." Kunci suksesnya adalah di sektor jasajasa, "Dan saya akan terus bergerak di situ, tidak mau masuk ke industri, sekalipun banyak tawaran," katanya. Pegangan itu pula yang tampaknya ditekuni ketiga pembicara lain. Bob Sadino, pengusaha supermarket Kemchick yang semakin mekar itu, yakin betul bahwa urusan makanan tak ada batasnya, "Selama pantat orang masih bolong," katanya. Urakan, suka berpakaian nyentrik, Bob, bersama istrinya, memulai usahanya dengan berdagang telur ayam negeri dari rumah ke rumah di daerah elite Kemang. Pernah hidup sembilan tahun di luar negeri, antara New York dan Hamburg, sebagai karyawan keagenan PT Djakarta Lloyd, Bob kembali ke tanah air pada 1967, dan memutuskan berhenti menjadi pegawai negeri. "Dalam keadaan miskin, waktu itu saya malah jatuh sakit di perut, yang cukup parah," katanya. Nasib mempertemukan Bob Sadino dengan peternak ayam Marsekal (pur) Sri Mulyono Herlambang, tetangganya, yang meminjaminya 50 ekor anak ayam, dan memberinya sebuah buku tentang beternak ayam, bidang yang kemudian ditekuninya. Tak kalah menarik adalah kisah Kartini Mulyadi, notaris terkemuka, yang sejak duduk di bangku sekolah dasar mulai berjualan kuaci, dan kini memiliki sejumlah perusahaan, di antaranya perusahaan kosmetik dan alat-alat kecantikan PT Revlon, distributor obat-obatan terkenal PT Tempo, dan menguasai sebagian besar saham biro iklan PT Bates Indonesia, dan industri farmasi PT Roche. Dialah wanita pengusaha yang percaya pada profesionalisme, bukan sekadar koneksi dan nasib baik. Maka setelah berhenti sebagai hakim selama 14 tahun, pada tahun 1973, sepeninggal suaminya, ia memilih menjadi notaris, "Dengan bekal keberanian serta pengalaman di bidang hukum perdata dan dagang." Rahasia suksesnya adalah melihat ke depan dan menguasai betul bidang usaha yang ingin dimasukinya. Pada tahun 1970-an, ketika modal asing berdatangan ke Indonesia, ia sudah siap menarik mereka sebagai klien, karena ia memang menonjol sebagai konsultan hukum bisnis dan perseroan. "Ketika orang ramai bicara soal leasing, saya pelajari bidang usaha itu di Universitas New York selama tiga bulan," katanya. Waktu "cuti"-nya selalu digunakan untuk mendalami ilmu yang berhubungan dengan usahanya di beberapa universitas terkenal di AS, Inggris, dan Belanda. "Tak ada waktu santai. Kita harus satu langkah di muka," katanya. Kejelian untuk memilih kesempatan itu pula yang dilakukan Abdul Latief. Dengan bekal pengalaman sebagai manajer pemasaran Toserba Sarinah, keberanian, dan sedikit modal, Latief terjun ke usaha penjualan barang kerajinan dan pakaian jadi, sehingga berkembang menjadi Pasaraya Sarinah Jaya, lengkap dengan pabrik tekstilnya, dan cabang usaha sampai di Singapura dan Hong Kong. F.J.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus