Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Epedemi & konperensi AIDS, mbludak

7.000 ilmuwan medis dari berbagai bidang studi dan pejabat kesehatan 50 negara hadir di konperensi internasional aids ke-3 di washington, dc. lebih dari 1000 makalah aids dibahas.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HOTEL Hilton di Washington, D.C., AS, sepanjang pekan lalu, mendadak sibuk luar biasa. Lebih dari 7.000 ilmuwan medis dari berbagai bidang studi dan pejabat kesehatan 50 negara berkumpul selama lima hari di sini khusus untuk Konperensi Internasional AIDS ke-3. Mereka terutama membahas epidemi AIDS, penyakit yang bagaikan momok dan telah mencekam dunia sepanjang tahun 80-an ini. Tidak kurang dari 940 wartawan meliput konperensi, sementara auditorium tempat berlangsungnya sidang pleno penuh sesak. "Mbludak". Ruang sidang di hotel bintang lima itu hanya mampu menampung 4.200 orang. Melimpahnya peserta sungguh di luar dugaan. Padahal, Konperensi Internasional masalah AIDS ke-2 di Paris, tahun lalu, hanya diikuti tiga ribuan peserta. "Ini pertemuan internasional paling besar yang pernah saya hadiri," tutur Dr. Zubairi Djoerban, salah seorang dari empat utusan Indonesia yang hadir di Washington, kepada TEMPO lewat telepon internasional. Dan ia satu-satunya wakil Indonesia yang tidak pernah absen sejak konperensi AIDS pertama di Atlanta, AS, 1985. Secara resmi dibuka oleh Wapres AS George Bush itu, konperensi sejak hari pertama sudah mesti menampung lebih dari 1.000 makalah. Sebagian besar isinya merupakan laporan mutakhir tentang penelitian terhadap virus, penyebaran, pengobatan, dan pencegahan AIDS. Ikut menyemarakkan konperensi AIDS ke-3 ini, Presiden Ronald Reagan. Ia untuk pertama kali mengeluarkan pernyataan resmi yang mencerminkan sikap pemerintah AS terhadap wabah AIDS. Sehari menjelang konperensi, Reagan mengajukan gagasan kontroversial, yang intinya memberlakukan wajib tes (lihat Jurus Reagan Menghadapi AIDS). Setiap emigran yang akan masuk ke AS, narapidana, dan pasangan yang akan menikah diwajibkan melakukan tes darah khusus untuk pemeriksaan virus AIDS. Gagasan itu dilontarkan Reagan pada jamuan makan malam yang dikoordinasikan Elizabeth Taylor untuk pengumpulan dana AIDS. Bintang film berusia lebih dari setengah abad - tapi masih cantik dan sintal - itu memang di dikenal sebagai aktivis yang banyak membantu penanggulangan epidemi AIDS. "Hanya sebuah crash program dalam skala besar yang mampu membasmi AIDS," kata Elizabeth yang juga memimpin American Foundation for AIDS. AIDS tak pelak lagi sudah merupakan masalah epidemi paling gawat di akhir abad ke20 ini. Berdasarkan laporan yang masuk ke Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, awal Juni ini, sudah 113 negara termasuk Indonesia - dijangkiti virus yang meruntuhkan sistem kekebalan tubuh manusia itu. Korban AIDS yang dilaporkan sudah lebih dari 51 ribu kasus. Tetapi para pejabat WHO percaya bahwa ada sekitar 100 ribu penderita yang menanti ajal dan 10 juta penduduk dunia yang sudah terinfeksi virus menakutkan itu. Ini diungkapkan Dr. Jonathan Mann, kepala program AIDS WHO, di mimbar konperensi. Bahkan WHO berani membuat perkiraan, dalam satu dekade mendatang, penderita AIDS di dunia akan membengkak hingga 100 juta orang. Sangat disayangkan, pembahasan yang ada selama konperensi tidak memunculkan suatu terobosan spektakuler dalam upaya menundukan wabah AIDS. Kalau toh ada kemajuan, "tidak terlalu istimewa sifatnya," komentar ubairi, yang sehari-hari bekerja di Subbagian Hematologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam. RS Cipto. Jakarta. Kapsul AZT (azidothymidine), misalnya. Kini merupakan satu-satunya obat AIDS yang direstui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS, FDA, dan diizinkan beredar di pasaran bebas di bawah label Retrovir. Dalam konperensi, AZT, yang diproduksi perusahaan farmasi Inggris Burroughs Welcome, dikritik habis-habisan. Obat itu diakui efektif dalam menahan perkembangan virus "tapi tetap dianggap tidak menyembuhkan," tutur Zubairi. Obat itu memiliki zat toksin dan mengakibatkan dampak samping yang cukup fatal. Padahal, supaya AZT bisa bekerja efektif, pasien harus dijejali obat itu hampir setiap empat jam sekali. Celakanya, kebanyakan penderita AIDS yang menenggak kapsul AZT menderita kerusakan tulang sumsum dan mengalami anemia berat Ini berarti, transfusi darah terus-menerus setiap seminggu atau dua minggu sekali. Obat lainnya yang masih dalam taraf uji laboratorium, seperti Ribavirin yang diproduksi oleh Eastman Kodak, semula memberikan harapan di kalangan dunia medis. Belakangan diketahui, "masih belum jelas tingkat keberhasilannya," ujar Zubairi lebih lanjut. Tampaknya, obat AIDS yang nantinya bakal mengikuti jejak AZT untuk dijual di pasaran bebas adalah DDC (dideoxycytidine). Formula dan cara kerja obat baru ini tak berbeda dengan AZT, yaitu mampu menahan reproduksi virus AIDS dalam darah. Keistimewaannya, DDC tidak mengakibatkan dampak samping yang fatal seperti pada AZT. Presentasi tentang pengembangan obat ini disampaikan oleh Dr. Samuel Broder dari lembaga National Cancer Institute (NCI), AS. Obat itu kini sedang menjalani tahap akhir uji-coba klinis. Pabrik pembuatnya, Hoffmann-La Roche, kini menunggu izin peredaran dari FDA. Dalam upaya pembuatan vaksin juga tidak ada penemuan penting. Malah beberapa pcrcobaan mengalami jalan buntu. Yang dilakukan Dr. Robert C. Gallo, juga dari lembaga NCI, misalnya, mengalami kegagalan. Hal itu terungkap ketika Gallo tokoh yang pertama kah menemukan virus AIDS di tahun 1980 -- melaporkannya kepada konperensi bahwa percobaannya membuat vaksin lewat enam ekor simpanse tidak menggembirakan. Bahkan hewan percobaan itu kini terinfeksi virus AIDS. Sekalipun begitu, tak berarti upaya pembuatan vaksin sia-sia. Dr. Daniel Zagury dari Universitas Pierre dan Marie Curie di Paris menyampaikan laporan percobaannya yang agak nekat. Ia langsung menyuntikkan vaksin hasil eksperimennya kepada sukarelawan termasuk dirinya sendiri. Hasilnya, "Cukup memberi harapan, karena pada darah Zagury kini dijumpai antibodi yang mampu melindunginya dari serangan virus AIDS," cerita Zubairi. Namun, Zagury tetap hati-hati. "Saya tak ingin memberikan harapan palsu," kata Zagury merendah. AIDS sudah masuk di Indonesia sejak awal tahun lalu, ditandai tewasnya seorang nyonya muda 25 tahun, penderita penyakit kelainan darah (autoimmune hemolytic anaemia), September 1985. Dua bulan lalu, jumlah korban AIDS yang tewas di Indonesia bertambah. Edward Hop, seorang turis Belanda, meninggal secara mengenaskan akibat AIDS di Bali. Tidak seperti di negara lain, merambatnya AIDS di Indonesia kemungkinan besar tidak melalui peri laku homoseksual dan heteroseksual, tetapi lewat pelayanan medis yang menyimpang. Disinyalir oleh Zubairi penggunaan jarum suntik di banyak puskesmas tidak lagi disteril, tapi terkadang hanya dibakar atau sekadar dicuci dengan alkohol Demikian pula pada praktek vaksinasi masal, prinsip satu jarum untuk satu orang tak lagi dipegang. Nah, "selagi kasus AIDS di Indonesia masih relatif sedikit, sebaiknya dari sekarang diberikan pendidikan kesehatan yang menyeluruh kepada masyarakat," ajak Zubairi, tidak terkecuali tenaga medis dan paramedis itu sendiri. Ahmed K. Soeriawidjaja, Laporan Reuters

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus