KOMPUTERISASI hasil Ebtanas SMA se-Jawa Timur bikin panik. Berbagai keanehan mendorong banyak kepala SMA dari berbagai kota memerlukan datang di Surabaya, pekan lalu. Mereka ke Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, lalu ke kantor PT AEF Electronic tempat hasil Ebtanas diolah. Puluhan utusan dari berbagai SMA, dengan wajah yang tidak puas dan tidak sabar, tampak bergerombol dan bahkan lesehan berjam-jam di situ, menunggu revisi nilai untuk siswa-siswanya. Dari Malang, seorang kepala sekolah mendatangi perusahaan jasa komputer tersebut setelah tahu dua siswanya mendapatkan nilai 3,00 dan 3,60 untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. "Tiga 'kan angka kiamat," cetusnya. Dan itu berarti tidak lulus. Setelah ia sendiri ikut menongkrongi pengulangan pengolahan data, ternyata angka tersebut membaik menjadi 7,20 dan 7,90. Dari Rayon Jember, ada nilai dari sebuah SMA yang keseluruhannya terpaksa diproses ulang dua kali lagi, setelah diketahui adanya kekeliruan. Kendati begitu, masih ada perbedaan nilai 1-1,5 antarpemeriksaan ulang tersebut. Akhirnya yang diumumkan nilai tertinggi. Ada juga kelucuan, masih dari Rayon Jember misalnya, ada siswa yang untuk satu mata pelajaran mendapat nilai 16. Padahal, angka mlal maksimal - kalau Jawaban betul semua - 10. Sedangkan di Tulungagung, Adi Suprapto juga memperoleh nilal Ebtanas, kendati dinyatakan tidak lulus. Padahal, siswa SMA itu mengalami musibah: ia tewas disambar petirsebulan sebelum Ebtanas. Semua itu menurut Kepala Kanwil P & K Waluyo hanya "persoalan teknis". Ia bahkan memuji sistem yang dipakai untuk mengolah nilai Ebtanas ini, yang menurut dia lebih baik dibandingkan komputerisasi untuk Sipenmaru. Chris Budhisetiawan, 29 tahun, Direktur PF AEF Electronic, tidak menyangka kekacauan itu akan terjadi. Untuk melayani 118.000 siswa dari 297 SMA, ia mengerahkan 90 tenaga baru - bergilir selama 24 jam -- pada 5--31 Mei, dengan memakai 25 terminal komputer IBM dan Apple. Sumber kekacauan, ia menuding pengisian lembar RKM (rekapitulasi pemeriksaan manual) oleh petugas atau guru di rayon masing-masing. "Ada faktor kelelahan dari petugas ketika mengisi lembar RPM," ujarnya. Selain itu, menurut Chris, ada juga siswa yang berupaya mengelabui komputer dengan mengoleskan lilin. Banyak guru yang bersikap sinis pada komputerisasi ini, dan menganggap usaha ini berlatar belakang bisnis. Bila selama ini anggaran Ebtanas dibagi rata untuk uang saku guru - dan hanya itu satu-satunya tambahan pendapatan buat guru - sekarang ini lebih banyak yang jatuh ke kantung perusahaan jasa komputer. Terlepas dari hal tersebut, mereka pun mempertanyakan: Bila cara manual masih lebih efektif, sedangkan manajemen masih centang-perenang, apa perlunya komputerisasi? Belum ada komentar dari Menteri P & K sendiri, yang masih menunggu laporan dari Jawa Timur. Yang jelas, hal ini menjadikan banyak siswa tak mempercayai nilai yang mereka peroleh. Dan bila nilai ini dijadikan salah satu patokan masuk perguruan tinggi negeri, keakuratan seleksi bisa sangat diragukan jadinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini